Masa Depan Globalisasi Pascapandemi

Rabu, 12 Januari 2022 - 12:13 WIB
Bagi sejumlah pihak, komitmen negara-negara maju di COP26 ini untuk menurunkan emisi dan juga membantu negara-negara berkembang menurunkan emisi masih dinilai belum cukup. Professor Jeffrey Sachs dari Universitas Columbia dengan cukup keras menilai bahwa keputusan COP26 masih jauh dari hal yang diperlukan untuk menyelamatkan bumi dari petaka perubahan iklim (Jeffrey Sachs, Fixing the Climate Finance 2021).

Salah satu penyebabnya adalah soal mobilisasi sumber dana untuk penurunan emisi. Ini menjadi menjadi episentrum ketidaksepakatan banyak negara. Negara-negara berkembang melihat bahwa negara-negara maju, yang juga penyumbang emisi terbesar secara akumulatif, tidak menepati janji dalam memobilisasi dana sebesar US$ 100 miliar per tahun untuk menghadapi perubahan iklim pada tahun 2020 lalu.

Indonesia sendiri melalui Nationally Determined Contribution (NDC)—kontribusi pengurangan emisi—sekitar 29 persen dengan upaya nasional hingga 41 persen dari emisi yang dihasilkan pada skenario business as usual (BaU) pada 2030. Namun demikian, Indonesia membutuhkan setidaknya total pembiayaan sebesar Rp3.779 triliun dari 2020 hingga 2030, atau setara dengan Rp346 triliun per tahun (Kementerian Keuangan 2021).

Dari total pendanaan di atas, Indonesia sendiri menghadapi gap pembiayaan yang besar. Untuk itu kerja sama global yang lebih kuat untuk memobilisasi pembiayaan internasional sangat penting. Indonesia sendiri, sebagai perwakilan negara berkembang, harus menyuarakan kebutuhan ini di forum internasional.

Masa Depan Globalisasi dalam Tanda Tanya

Memasuki 2022, sejumlah outlook memberikan sejumlah harapan tentang globalisasi. DHL connected index—salah satu metrik globalisasi—memproyeksikan bahwa indeks diperkirakan akan berada di tingkat 130 pada 2022, menjadi puncak tertinggi baru sepanjang sejarah indeks ini. Selain itu, sepanjang 2020 hingga 2021, pandemi telah menjadi ujian besar bagi konektivitas, integrasi global diperkirakan akan tetap lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Hal ini merupakan berita yang menggembirakan.

Namun ketidakpastian masih sangat besar. Persaingan geopolitik, terutama antara AS dan China, masih menjadi batu sandungan besar untuk mengatasi persoalan global seperti perubahan iklim. Selain itu, pandemi juga berpotensi mengubah tatanan order internasional.

Mandiri Investment Forum (MIF) 2022 yang diadakan oleh Bank Mandiri dan Mandiri Sekuritas, bekerjasama dengan Kementerian Investasi/BKPM menjadi forum yang mengumpulkan investor, para ekonom dan juga pengambil kebijakan untuk diskusi dan meneropong lagi soal tantangan nasional dan global. Tahun ini MIF 2022 mengusung tema “Recapturing the Growth Momentum”.

Salah satu panel dalam forum ini akan diisi oleh Professor Joseph Stiglitz dan Professor Jeffrey Sachs, yang secara bersama-sama diskusi mengenai masa depan globalisasi. Hal yang juga penting adalah hal yang kritikal terkait dengan perubahan iklim adalah bagaimana mendorong kerja sama global dalam memobilisasi sumber daya untuk mengatasi perubahan iklim.

Kerja sama global dalam pemulihan ekonomi juga merupakan tema besar yang diusung Indonesia dalam Presidensi G20, yaitu Recover Together, Recover Stronger. Selain itu Indonesia juga akan mengusung green economy dan keberlanjutan (sustainability) sebagai tema spesifik dari G20 tahun ini.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More