Keputusan Tidak Turunkan Harga BBM Tepat Saat Pertumbuhan Ekonomi Negatif
Rabu, 10 Juni 2020 - 23:13 WIB
JAKARTA - Keputusan Pemerintah untuk tidak menurunkan bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu, dianggap tepat. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi berbagai sektor di Indonesia saat ini negatif. Demikian disampaikan guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Mudrajad Kuncoro.
“Minyak dan gas, misalnya, kalau secara kuartal to kuartal, negatif 0,75 persen. Kalau dilihat year to year memang naik, tetapi sangat kecil, hanya 0,43 persen. Itu yang menyebabkan pemerintah tidak berani menurunkan harga. Karena pelaku usaha sektor migas pada berjatuhan, nombok, Termasuk Pertamina dan PGN,” kata Mudrajad ketika dihubungi dari Jakarta hari ini.
Pertumbuhan yang negatif tersebut, menurut Mudrajad, karena demand memang tidak ada atau juga ikut turun. Dengan demikian, turut berpengaruh juga terhadap pertumbuhan sektor minyak dan gas (migas). “Sektor lain juga banyak yang negatif. Paling parah adalah pendidikan, yang minus 10,39 persen,” imbuhnya.
Secara keseluruhan lanjutnya, pertumbuhan ekonomi saat ini anjlok menjadi 2,97% year to year, dari sebelumnya yang berada pada angka 5%. “Saat ini pertumbuhan yang terjelek. Pada triwulan pertama 2020, menjadi hanya 2,97 persen. Sementara kalau dilihat kuartal to kuartal, pertumbuhan bahkan sudah negatif, menjadi minus 2,41 persen. Itu bukan tumbuh tetapi kontraksi,” urai Mudrajad.
Selain itu, keputusan tidak menurunkan harga BBM, juga karena harga minyak mentah dunia masih sangat berfluktuasi. Terbukti, ketika April harga minyak Brent anjlok pada pada level sekitar USD20/barel, saat ini kembali melesat sekitar 100%. Minyak Brent sekarang sudah menyentuh harga USD42,30/barel. “Harga minyak masih bisa naik dan bisa turun,” lanjutnya.
Harga minyak dunia menurut Mudrajad, memang sangat berfluktuasi. Hal ini terjadi, karena naik-turunnya harga minyak dunia, sangat dipengaruhi faktor geopolitik internasional. “Termasuk perang harga Arab Saudi dan Rusia. Belum lagi Amerika,” kata dia.
Bahkan saat ini, ketika harga kembali naik, juga dominan disebabkan faktor suplai, bukan demand. Dalam hal ini, karena OPEC sepakat memangkas produksi 9,7 juta barel/hari. “Karena suplai dikurangi, otomatis harga naik. Ini teori permintaan yang biasa,” pungkasnya.
“Minyak dan gas, misalnya, kalau secara kuartal to kuartal, negatif 0,75 persen. Kalau dilihat year to year memang naik, tetapi sangat kecil, hanya 0,43 persen. Itu yang menyebabkan pemerintah tidak berani menurunkan harga. Karena pelaku usaha sektor migas pada berjatuhan, nombok, Termasuk Pertamina dan PGN,” kata Mudrajad ketika dihubungi dari Jakarta hari ini.
Pertumbuhan yang negatif tersebut, menurut Mudrajad, karena demand memang tidak ada atau juga ikut turun. Dengan demikian, turut berpengaruh juga terhadap pertumbuhan sektor minyak dan gas (migas). “Sektor lain juga banyak yang negatif. Paling parah adalah pendidikan, yang minus 10,39 persen,” imbuhnya.
Secara keseluruhan lanjutnya, pertumbuhan ekonomi saat ini anjlok menjadi 2,97% year to year, dari sebelumnya yang berada pada angka 5%. “Saat ini pertumbuhan yang terjelek. Pada triwulan pertama 2020, menjadi hanya 2,97 persen. Sementara kalau dilihat kuartal to kuartal, pertumbuhan bahkan sudah negatif, menjadi minus 2,41 persen. Itu bukan tumbuh tetapi kontraksi,” urai Mudrajad.
Selain itu, keputusan tidak menurunkan harga BBM, juga karena harga minyak mentah dunia masih sangat berfluktuasi. Terbukti, ketika April harga minyak Brent anjlok pada pada level sekitar USD20/barel, saat ini kembali melesat sekitar 100%. Minyak Brent sekarang sudah menyentuh harga USD42,30/barel. “Harga minyak masih bisa naik dan bisa turun,” lanjutnya.
Harga minyak dunia menurut Mudrajad, memang sangat berfluktuasi. Hal ini terjadi, karena naik-turunnya harga minyak dunia, sangat dipengaruhi faktor geopolitik internasional. “Termasuk perang harga Arab Saudi dan Rusia. Belum lagi Amerika,” kata dia.
Bahkan saat ini, ketika harga kembali naik, juga dominan disebabkan faktor suplai, bukan demand. Dalam hal ini, karena OPEC sepakat memangkas produksi 9,7 juta barel/hari. “Karena suplai dikurangi, otomatis harga naik. Ini teori permintaan yang biasa,” pungkasnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda