Minyak Goreng Murah Tapi Engga Ada Stoknya, Pengamat: Bukti Ketidakberdayaan Hadapi Kartel?
Rabu, 09 Februari 2022 - 20:52 WIB
JAKARTA - Berbagai langkah yang telah dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag)dinilai belum mampu mengatasi kelangkaan dan mengendalikan harga minyak goreng yang telah terjadi selama dua bulan ini. Pengamat menilai, gonta ganti kebijakan dinilai kurang tepat untuk meredam polemik minyak goreng .
Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Rahma Gafni menerangkan, seharusnya dari awal adanya kenaikan, harus segera dicari celahnya ada dimana. Lalu segera buat kebijakan dan dilaksanakan untuk mengambil langkah radikal.
"Karena jika tidak, maka seperti yang kita alami sekarang ini. Harusnya sudah tahu bahwa ini semua permainan kartel . Nah ini terbukti ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi kartel," ujar Rahma.
Sejauh ini Kemendagtelah mengambil beberapa langkah dan berganti-ganti kebijakan. Langkah pertama menetapkan satu harga Rp14.000 per liter. Resep ini ternyata tak manjur meredam karena di pasaran, terutama tradisional, harganya masih berkisar Rp18.000-20.000 per liter.
Selanjutnya Kemendagmengeluarkan kebijakan baru, menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Lagi-lagi resep ini tidak mujarab.
Menurut Rahma, kebijakan yang diambil saat ini belum terasa manfaatnya sampai ke masyarakat. Seluruh eksportir yang akan mengekspor saat ini wajib memasok/mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300/kg. Namun, proses produksi dan distribusi tentunya memakan waktu sehingga supply tidak langsung ada secara merata.
Dalam menghadapi kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus sensitif. Menyiapkan langkah apa yang harus diambil, dan tindakan cepat dan agresif sehingga tidak sampai menimbulkan kepanikan.
Kemendagjuga harus secara matang merumuskan pengawasan distribusi dan retail untuk meminimalisir kecurangan di masa yang sulit ini. "Masalahnya disini yang kita hadapi adalah kartel. Penegak hukumnya juga harus gerak cepat menangani ini," ujar Rahma.
Indikasi atau sinyal adanya permainan kartel terlihat dari hasil kajian KPPU yang menunjukkan bahwa industri besar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang berbentuk oligopolistic. Maka ada indikasi kartel, dalam artian kerja sama produsen besar dalam negeri untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dengan tujuan penetapan harga.
"Sinyal tersebut tentunya masih belum pasti, karena kelangkaan minyak goreng yang sesuai HET juga disebabkan oleh masyarakat yang membeli minyak di luar kebutuhannya, atau menimbun," ujar Rahma.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Rahma Gafni menerangkan, seharusnya dari awal adanya kenaikan, harus segera dicari celahnya ada dimana. Lalu segera buat kebijakan dan dilaksanakan untuk mengambil langkah radikal.
"Karena jika tidak, maka seperti yang kita alami sekarang ini. Harusnya sudah tahu bahwa ini semua permainan kartel . Nah ini terbukti ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi kartel," ujar Rahma.
Sejauh ini Kemendagtelah mengambil beberapa langkah dan berganti-ganti kebijakan. Langkah pertama menetapkan satu harga Rp14.000 per liter. Resep ini ternyata tak manjur meredam karena di pasaran, terutama tradisional, harganya masih berkisar Rp18.000-20.000 per liter.
Selanjutnya Kemendagmengeluarkan kebijakan baru, menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Lagi-lagi resep ini tidak mujarab.
Menurut Rahma, kebijakan yang diambil saat ini belum terasa manfaatnya sampai ke masyarakat. Seluruh eksportir yang akan mengekspor saat ini wajib memasok/mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300/kg. Namun, proses produksi dan distribusi tentunya memakan waktu sehingga supply tidak langsung ada secara merata.
Dalam menghadapi kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus sensitif. Menyiapkan langkah apa yang harus diambil, dan tindakan cepat dan agresif sehingga tidak sampai menimbulkan kepanikan.
Kemendagjuga harus secara matang merumuskan pengawasan distribusi dan retail untuk meminimalisir kecurangan di masa yang sulit ini. "Masalahnya disini yang kita hadapi adalah kartel. Penegak hukumnya juga harus gerak cepat menangani ini," ujar Rahma.
Baca Juga
Indikasi atau sinyal adanya permainan kartel terlihat dari hasil kajian KPPU yang menunjukkan bahwa industri besar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang berbentuk oligopolistic. Maka ada indikasi kartel, dalam artian kerja sama produsen besar dalam negeri untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dengan tujuan penetapan harga.
"Sinyal tersebut tentunya masih belum pasti, karena kelangkaan minyak goreng yang sesuai HET juga disebabkan oleh masyarakat yang membeli minyak di luar kebutuhannya, atau menimbun," ujar Rahma.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda