Sri Mulyani Curhat Soal Sulitnya Jadi Perempuan Pemimpin
Senin, 07 Maret 2022 - 17:04 WIB
JAKARTA - Menjadi pemimpin bukan tugas yang mudah, terutama bagi perempuan. Kaum hawa menghadapi kondisi yang lebih kompleks dalam membangun karier kepemimpinannya dibandingkan laki-laki.
Sosok pemimpin perempuan yang kita kenal seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani juga harus menjalani kondisi tersebut. Awalnya, Sri Mulyani sempat bingung menentukan cita-cita kariernya saat masih SMA.
"Kalau dulu Bu Retno (Menlu) sudah punya cita-cita fix jadi diplomat, saya belum punya cita-cita. Saya cari-cari kepengen jadi guru, ambil eksakta, tapi akhirnya saya ambil ekonomi," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (7/3/2022).
Dirinya bercerita pernah menjadi minoritas saat studi dulu karena hampir seluruh koleganya adalah pria. Kondisi itu menjadi tantangan tersendiri baginya.
"Karena ternyata orang mikir ekonomi, akuntansi, manajemen banyak perempuan itu enggak juga. Apalagi saya ambil studi pembangunan, mayoritas laki-laki," katanya.
Lanjutnya, setelah menjalani studi doktoral, dirinya kembali ke Indonesia. Kala itu, Indonesia sedang mengalami krisis moneter pada tahun 1997-1998.
"Di situ jadi tempat pertempuran bagaimana mengendalikan suatu krisis, dan sebagai ekonom muda saya mendapat kesempatan untuk menangani krisis, dan itulah cara saya berbakti ke Indonesia," ungkapnya.
Hingga dirinya menjadi menteri seperti saat ini, menurutnya, kondisi perempuan dalam memimpin tidak sesederhana laki-laki. Perempuan dihadapkan pertanyaan dan dimintai keputusan yang lebih sulit ketimbang laki-laki.
"Perempuan kalau dibilang lebih abot (berat) karena di dalam titik hidupnya menghadapi pertanyaan yang tidak mudah sehingga dalam leadership dia harus overcome, bagaimana menyeimbangkan familiy life kalau dia punya putra putri tapi harus continue karier. Oleh karena itu, ini harus dikompensasi dengan afirmasi," ujarnya.
Sosok pemimpin perempuan yang kita kenal seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani juga harus menjalani kondisi tersebut. Awalnya, Sri Mulyani sempat bingung menentukan cita-cita kariernya saat masih SMA.
Baca Juga
"Kalau dulu Bu Retno (Menlu) sudah punya cita-cita fix jadi diplomat, saya belum punya cita-cita. Saya cari-cari kepengen jadi guru, ambil eksakta, tapi akhirnya saya ambil ekonomi," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (7/3/2022).
Dirinya bercerita pernah menjadi minoritas saat studi dulu karena hampir seluruh koleganya adalah pria. Kondisi itu menjadi tantangan tersendiri baginya.
"Karena ternyata orang mikir ekonomi, akuntansi, manajemen banyak perempuan itu enggak juga. Apalagi saya ambil studi pembangunan, mayoritas laki-laki," katanya.
Lanjutnya, setelah menjalani studi doktoral, dirinya kembali ke Indonesia. Kala itu, Indonesia sedang mengalami krisis moneter pada tahun 1997-1998.
"Di situ jadi tempat pertempuran bagaimana mengendalikan suatu krisis, dan sebagai ekonom muda saya mendapat kesempatan untuk menangani krisis, dan itulah cara saya berbakti ke Indonesia," ungkapnya.
Hingga dirinya menjadi menteri seperti saat ini, menurutnya, kondisi perempuan dalam memimpin tidak sesederhana laki-laki. Perempuan dihadapkan pertanyaan dan dimintai keputusan yang lebih sulit ketimbang laki-laki.
"Perempuan kalau dibilang lebih abot (berat) karena di dalam titik hidupnya menghadapi pertanyaan yang tidak mudah sehingga dalam leadership dia harus overcome, bagaimana menyeimbangkan familiy life kalau dia punya putra putri tapi harus continue karier. Oleh karena itu, ini harus dikompensasi dengan afirmasi," ujarnya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda