Kisruh Minyak Goreng, Pengusaha Sebut Kebijakan HET Malah Picu Pasar Gelap
Jum'at, 11 Maret 2022 - 23:06 WIB
JAKARTA - Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang bertujuan menjaga stabilitas dan keterjangkauan harga minyak goreng direspons beragam.
Pihak yang kontra menilai kebijakan HET minyak goreng tidak tepat, malah bisa menimbulkan pasar gelap atau black market di tengah masyarakat.
Direktur Utama PT Sumi Asih Alexius Darmadi mengatakan, kebijakan tersebut akan memicu perbedaan signifikan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan yang ada di lapangan.
"Sistem DMO (Domestic Market Obligation), DPO (Domestic Price Obligation), dan HET ini akan membuat adanya black market. Ini pasti semua orang tahu ada pedagang dadakan, ini ada gap dan saya heran yang dikeluarkan pengusaha sawit kok nggak ada di pasaran. Ini pasti ada black market," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3/2022).
Darmadi juga menilai bahwa kebijakan HET yang ditetapkan pemerintah guna menyejahterakan rakyat ini malah akan membuat kericuhan antara Satgas Pangan dengan produsen minyak goreng yang tidak melakukan ekspor.
"Kalau dengan sistem DMO, DPO, dan HET apakah itu bisa jalan? Ini akan ada kericuhan antara Satgas Pangan dengan produsen. Tetapi apa Satgas Pangan itu tahu, bukan meremehkan tapi ya sosialisasinya kan butuh waktu," tukasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga juga mengatakan bahwa adanya kebijakan baru mengenai Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang dinaikkan menjadi 30% dari sebelumnya hanya 20% akan memberatkan pelaku industri sawit.
Pasalnya, pemerintah sendiri sudah mengklaim berhasil mengumpulkan 415 juta liter minyak goreng dari kebijakan DMO sebelumnya. Sedangkan di Indonesia sendiri, masyarakat hanya membutuhkan 330 juta liter minyak goreng.
"Tidak perlu DMO 30%, cukup 20% dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," tukasnya. "Kebijakan itu akan mempersulit eksportir, bahkan bisa membuat aktivitas ekspor jadi macet," cetus Sahat.
Sebagaimana diketahui, gonjang-ganjing minyak goreng telah terjadi sejak akhir tahun lalu di mana harga minyak goreng melambung hingga Rp20.000 per liter. Sejumlah kebijakan pun digulirkan untuk meredamnya, mulai dari minyak goreng satu harga, DMO, DPO hingga HET baru minyak goreng yang berlaku mulai 1 Februari 2022.
Pihak yang kontra menilai kebijakan HET minyak goreng tidak tepat, malah bisa menimbulkan pasar gelap atau black market di tengah masyarakat.
Direktur Utama PT Sumi Asih Alexius Darmadi mengatakan, kebijakan tersebut akan memicu perbedaan signifikan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan yang ada di lapangan.
"Sistem DMO (Domestic Market Obligation), DPO (Domestic Price Obligation), dan HET ini akan membuat adanya black market. Ini pasti semua orang tahu ada pedagang dadakan, ini ada gap dan saya heran yang dikeluarkan pengusaha sawit kok nggak ada di pasaran. Ini pasti ada black market," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3/2022).
Darmadi juga menilai bahwa kebijakan HET yang ditetapkan pemerintah guna menyejahterakan rakyat ini malah akan membuat kericuhan antara Satgas Pangan dengan produsen minyak goreng yang tidak melakukan ekspor.
"Kalau dengan sistem DMO, DPO, dan HET apakah itu bisa jalan? Ini akan ada kericuhan antara Satgas Pangan dengan produsen. Tetapi apa Satgas Pangan itu tahu, bukan meremehkan tapi ya sosialisasinya kan butuh waktu," tukasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga juga mengatakan bahwa adanya kebijakan baru mengenai Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang dinaikkan menjadi 30% dari sebelumnya hanya 20% akan memberatkan pelaku industri sawit.
Pasalnya, pemerintah sendiri sudah mengklaim berhasil mengumpulkan 415 juta liter minyak goreng dari kebijakan DMO sebelumnya. Sedangkan di Indonesia sendiri, masyarakat hanya membutuhkan 330 juta liter minyak goreng.
"Tidak perlu DMO 30%, cukup 20% dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," tukasnya. "Kebijakan itu akan mempersulit eksportir, bahkan bisa membuat aktivitas ekspor jadi macet," cetus Sahat.
Sebagaimana diketahui, gonjang-ganjing minyak goreng telah terjadi sejak akhir tahun lalu di mana harga minyak goreng melambung hingga Rp20.000 per liter. Sejumlah kebijakan pun digulirkan untuk meredamnya, mulai dari minyak goreng satu harga, DMO, DPO hingga HET baru minyak goreng yang berlaku mulai 1 Februari 2022.
(ind)
Lihat Juga :
tulis komentar anda