Dari Balai Senat UGM, Menko Airlangga Serukan Pentingnya Transisi Energi
Kamis, 17 Maret 2022 - 16:18 WIB
YOGYAKARTA - Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah Indonesia terus mendorong transisi energi dan demokratisasi energi menuju energi yang berkelanjutan. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara utama pada Seminar Publik "Recover Together, Recover Stronger: G20 dan Agenda Strategis Indonesia", Kamis (17/3/2022) siang di Balai Senat, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Indonesia, menurut Airlangga, memiliki potensi luar biasa besar di luar batubara, yakni potensi renewable energy. Misalnya, dalam pengembangan solar energy atau tenaga surya. "Tenaga surya ini dianggap sebagai demokrasi energi, karena tenaga surya tidak tergantung economics of skill, bisa dilakukan di rumah tangga, bisa dilakukan di pabrik, dan bisa juga di skala besar," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Untuk mengembangkan demokratisasi energi ini, pemerintah juga terus menyiapkannya agar masyarakat mampu mandiri dalam hal penyediaan energi. "Ini mekanisme yang kami siapkan dengan PLN, bahwa demokratisasi energi menjadi sangat penting, sehingga di setiap rumah bisa tersedia electricity (kelistrikan) berbasis energi surya,” paparnya.
Menurut Airlangga, energi surya saat ini sudah sangat kompetitif. Bahkan Indonesia sendiri sedang berpikir untuk mengekspor energi surya, salah satunya dari Batam ke Singapura. Potensi besarannya bisa menjadi 4 Giga Watt. Bahkan, yang diekspor dari potensi energi surya ini ada dua hal. "Satu electricity-nya, yang kedua carbon credit-nya. Ada dua market untuk pengembangan tenaga surya," kata Airlangga.
Berikutnya adalah hydro power atau sumber energi air yang berbasis pada potensi sungai. Airlangga mencontohkan Kayan River atau Sungai Kayan di Kalimantan Utara misalnya potesinya bisa mencapai 12 Giga Watt. Bahkan, Sungai Kayan ini bisa menumbuhkan potensi ekonomi baru, yakni ekonomi berbasis hidrogen.
Ekonomi berbasis hidrogen ini menurut Airlangga akan sangat berkelanjutan, karena jika dimasukkan untuk menjadi pengganti bahan bakar minyak, maka buangannya dalam bentuk air. "Inilah yang disebut sebagai blue hydrogen," tambah Ketua KPCPEN itu.
Pemerintah saat ini juga mendorong energi yang sifatnya geothermal, yang ada di Pulau Jawa dengan potensi 29 Giga Watt. "Inilah program-program yang ditawarkan Indonesia ke dunia, agar Indonesia bisa mencapai net zero emission di pertengahan abad ini, atau di tahun 2060. Bahkan, bisa lebih cepat tergantung dengan ketersediaan pendanaan baik dari dalam mau pun luar negeri," tutur Airlangga.
Airlangga berharap dalam seminar itu pemerintah mendapat masukan dari para peneliti, guna menyusun riset space policy yang dapat mendukung agenda prioritas Indonesia dalam G20. Airlangga juga menyatakan Indonesia saat ini sudah bertransfomasi dari negara eksportir komoditas menjadi negara eksportir produk manufaktur. "Indonesia saat ini memiliki nilai tambah melalui hilirisasi yang bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi baru. Salah satunya di hilirisasi di mining resources mineral," kata Airlangga.
Sebagai contoh di industri baja dan besi di mana empat tahun lalu ekspor Indonesia hanya USD4,5 miliar. Namun, pada tahun 2021 Indonesia berhasil mengekspor baja dan besi dengan hilirisasi menjadi stainless steel, lalu tembaga dan emas dan baja menjadi USD20,8 miliar.
Sementara itu, untuk ekspor CPO dan turunannya menjadi USD33 miliar. Menurut Airlangga, hal tersebut menjadi sesuatu yang penting bagi Universitas Gajah Mada untuk mendorong civitas akademiknya guna menopang sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Indonesia, menurut Airlangga, memiliki potensi luar biasa besar di luar batubara, yakni potensi renewable energy. Misalnya, dalam pengembangan solar energy atau tenaga surya. "Tenaga surya ini dianggap sebagai demokrasi energi, karena tenaga surya tidak tergantung economics of skill, bisa dilakukan di rumah tangga, bisa dilakukan di pabrik, dan bisa juga di skala besar," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Untuk mengembangkan demokratisasi energi ini, pemerintah juga terus menyiapkannya agar masyarakat mampu mandiri dalam hal penyediaan energi. "Ini mekanisme yang kami siapkan dengan PLN, bahwa demokratisasi energi menjadi sangat penting, sehingga di setiap rumah bisa tersedia electricity (kelistrikan) berbasis energi surya,” paparnya.
Menurut Airlangga, energi surya saat ini sudah sangat kompetitif. Bahkan Indonesia sendiri sedang berpikir untuk mengekspor energi surya, salah satunya dari Batam ke Singapura. Potensi besarannya bisa menjadi 4 Giga Watt. Bahkan, yang diekspor dari potensi energi surya ini ada dua hal. "Satu electricity-nya, yang kedua carbon credit-nya. Ada dua market untuk pengembangan tenaga surya," kata Airlangga.
Berikutnya adalah hydro power atau sumber energi air yang berbasis pada potensi sungai. Airlangga mencontohkan Kayan River atau Sungai Kayan di Kalimantan Utara misalnya potesinya bisa mencapai 12 Giga Watt. Bahkan, Sungai Kayan ini bisa menumbuhkan potensi ekonomi baru, yakni ekonomi berbasis hidrogen.
Ekonomi berbasis hidrogen ini menurut Airlangga akan sangat berkelanjutan, karena jika dimasukkan untuk menjadi pengganti bahan bakar minyak, maka buangannya dalam bentuk air. "Inilah yang disebut sebagai blue hydrogen," tambah Ketua KPCPEN itu.
Pemerintah saat ini juga mendorong energi yang sifatnya geothermal, yang ada di Pulau Jawa dengan potensi 29 Giga Watt. "Inilah program-program yang ditawarkan Indonesia ke dunia, agar Indonesia bisa mencapai net zero emission di pertengahan abad ini, atau di tahun 2060. Bahkan, bisa lebih cepat tergantung dengan ketersediaan pendanaan baik dari dalam mau pun luar negeri," tutur Airlangga.
Airlangga berharap dalam seminar itu pemerintah mendapat masukan dari para peneliti, guna menyusun riset space policy yang dapat mendukung agenda prioritas Indonesia dalam G20. Airlangga juga menyatakan Indonesia saat ini sudah bertransfomasi dari negara eksportir komoditas menjadi negara eksportir produk manufaktur. "Indonesia saat ini memiliki nilai tambah melalui hilirisasi yang bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi baru. Salah satunya di hilirisasi di mining resources mineral," kata Airlangga.
Sebagai contoh di industri baja dan besi di mana empat tahun lalu ekspor Indonesia hanya USD4,5 miliar. Namun, pada tahun 2021 Indonesia berhasil mengekspor baja dan besi dengan hilirisasi menjadi stainless steel, lalu tembaga dan emas dan baja menjadi USD20,8 miliar.
Sementara itu, untuk ekspor CPO dan turunannya menjadi USD33 miliar. Menurut Airlangga, hal tersebut menjadi sesuatu yang penting bagi Universitas Gajah Mada untuk mendorong civitas akademiknya guna menopang sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia.
(nng)
tulis komentar anda