Tulah Presiden Sri Lanka: Dulu Dipuja, Kini Didemo Gara-gara KKN dan Krisis BBM
Minggu, 03 April 2022 - 09:00 WIB
Namun dalih sang rezim dibantah oleh para ahli. Mereka mengatakan bahwa krisis di Sri Lanka sudah lama terjadi, dan saat ini hanya sebagai puncaknya saja.
"Ini adalah ledakan, hasil akumulasi dari situasi telah dibangun selama beberapa dekade, dan seperti biasa tidak ada yang bertanggung jawab untuk itu. Tentu saja, pemerintah saat ini secara langsung bertanggung jawab atas salah urus krisis yang disengaja sejak mereka berkuasa pada 2019 karena ketidakmampuan, kesombongan, dan tentu saja korupsi," kata Jayadeva Uyangoda, seorang ilmuwan politik dan komentator, kepada BBC.
Suara senada dilontarkan mantan deputi gubernur bank sentral Sri Lanka, WA Wijewardena. Dia mengatakan bahwa Sri Lanka membuat kesalahan mendasar karena tidak berintegrasi dengan ekonomi global setelah berakhirnya perang saudara pada tahun 2009. Tak pelak, sumber devisa yang berasal dari ekspor tak terjaga dengan baik.
"Ekspor yang menyumbang 33% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2000 kini turun menjadi 12% dan tetap pada level itu," katanya.
Cadangan devisa yang mencapai USD7,6 miliar pada akhir tahun 2019 kini telah turun ke level USD2,3 miliar. Dari cadangan tersebut, devisa yang dapat digunakan telah turun menjadi sekitar USD300 juta.
Wijewardena merasa keadaan akan menjadi jauh lebih buruk sebelum menjadi lebih baik, karena tidak ada aliran devisa yang berkelanjutan untuk negara yang sangat bergantung pada impor itu. Alhasil, Sri Lanka tidak lagi memiliki cukup uang untuk membeli barang-barang penting, seperti bahan bakar untuk kendaraan ataupun listrik.
Yang paling tak bisa diterima rakyat Sri Lanka adalah polah rezim yang berkuasa. Ketika rakyat mengalami pemadam bergilir, para pejabat dan kroni presiden justru tak merasakan kegelapan sama sekali. Berita melaporkan bahwa presiden dan menterinya dibebaskan dari pemadaman listrik, bersama dengan pertunjukan kekayaan yang mewah oleh anggota keluarga sehingga memuncakan amarah rakyat.
Padahal Presiden Gotabhaya Rajapaksa pernah dipuja dan menjadi pilihan utama rakyat Sri Lanka pada pemilu 2019 lalu. Dia memenangi suara mayoritas sebanyak 52,25%.
Rakyat Sri Lanka sepertinya sudah berpaling. Pasalnya, peringkat korupsi dan nepotisme Gotabhaya Rajapaksa yang merajalela selama berkuasa.
"Ini adalah ledakan, hasil akumulasi dari situasi telah dibangun selama beberapa dekade, dan seperti biasa tidak ada yang bertanggung jawab untuk itu. Tentu saja, pemerintah saat ini secara langsung bertanggung jawab atas salah urus krisis yang disengaja sejak mereka berkuasa pada 2019 karena ketidakmampuan, kesombongan, dan tentu saja korupsi," kata Jayadeva Uyangoda, seorang ilmuwan politik dan komentator, kepada BBC.
Suara senada dilontarkan mantan deputi gubernur bank sentral Sri Lanka, WA Wijewardena. Dia mengatakan bahwa Sri Lanka membuat kesalahan mendasar karena tidak berintegrasi dengan ekonomi global setelah berakhirnya perang saudara pada tahun 2009. Tak pelak, sumber devisa yang berasal dari ekspor tak terjaga dengan baik.
"Ekspor yang menyumbang 33% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2000 kini turun menjadi 12% dan tetap pada level itu," katanya.
Cadangan devisa yang mencapai USD7,6 miliar pada akhir tahun 2019 kini telah turun ke level USD2,3 miliar. Dari cadangan tersebut, devisa yang dapat digunakan telah turun menjadi sekitar USD300 juta.
Wijewardena merasa keadaan akan menjadi jauh lebih buruk sebelum menjadi lebih baik, karena tidak ada aliran devisa yang berkelanjutan untuk negara yang sangat bergantung pada impor itu. Alhasil, Sri Lanka tidak lagi memiliki cukup uang untuk membeli barang-barang penting, seperti bahan bakar untuk kendaraan ataupun listrik.
Yang paling tak bisa diterima rakyat Sri Lanka adalah polah rezim yang berkuasa. Ketika rakyat mengalami pemadam bergilir, para pejabat dan kroni presiden justru tak merasakan kegelapan sama sekali. Berita melaporkan bahwa presiden dan menterinya dibebaskan dari pemadaman listrik, bersama dengan pertunjukan kekayaan yang mewah oleh anggota keluarga sehingga memuncakan amarah rakyat.
Padahal Presiden Gotabhaya Rajapaksa pernah dipuja dan menjadi pilihan utama rakyat Sri Lanka pada pemilu 2019 lalu. Dia memenangi suara mayoritas sebanyak 52,25%.
Rakyat Sri Lanka sepertinya sudah berpaling. Pasalnya, peringkat korupsi dan nepotisme Gotabhaya Rajapaksa yang merajalela selama berkuasa.
tulis komentar anda