Program Peremajaan Sawit Rakyat Tak Capai Target, Pemerintah Gagas Pola Kemitraan
Jum'at, 29 April 2022 - 13:08 WIB
Senada dengan pembicara lainnya, Rino menguraikan tiga faktor yang mengakibatkan realisasi PSR turun. Faktor pertama adalah legalitas kebun petani yang diklaim berada di kawasan hutan dan juga diklaim tumpang tindih dengan HGU perusahaan. “Kita dikagetkan ternyata ada lahan-lahan walaupun dia sudah memiliki sertifikat hak milik ternyata itu masuk dalam kawasan hutan,” ujarnya.
Kedua, terkait dengan birokrasi yang rumit. Tetapi diakui Rino, Kementan menyelesaikan persoalan birokrasi melalui penyederhanaan syarat dan penerbitan regulasi yang mempermudah PSR.
Faktor ketiga adalah petani dihadapkan kepada masalah hukum. Mereka harus dipanggil aparat penegak hukum seperti kejaksaaan dan kepolisian berkaitan penggunaan dana PSR. “Bahkan, ada sejumlah oknum LSM lokal yang memanfaatkan kesempatan untuk mempermasalahkan petani PSR. Akibatnya, petani kami was-was untuk mengajukan PSR,” jelas Rino.
Rino sepakat dengat terbitnya jalur kemitraan dalam PSR diharapkan mampu meningkatkan realisasi PSR. Kuncinya adalah perjanjian kemitraan yang setara menjadi kunci sukses.
“Selain itu, BPDPKS dan Ditjen Perkebunan diharapkan lebih kreatif, dan inovatif dalam mendorong percepatan PSR melalui realisasi peraturan turunan dan meningkatkan sinergi dengan pihak khususnya dengan KLHK,” ujar Rino.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mendukung pola kemitraaan dalam program PSR agar program Presiden Jokowi ini dapat mencapai target. Pelaksanaan pola kemitraan ini dapat terlaksana asalkan posisi petani dan perusahaan saling setara. Kedua belah pihak diuntungkan bukan atas dasar belas kasihan.
Karena itu, ia menegaskan bahwa kemitraan harus yang saling menguntungkan. Agar saling menguntungkan, maka di dalam pola kemitraan harus didiskusikan secara utuh antara petani dengan mitra kerjanya.
Terkait kawasan hutan, ia berjanji Komisi IV DPR akan memanggil Menteri LHK untuk meminta kejelasan legalitas kebun petani sawit. “Semua pihak baik Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Pertanian diharapkan duduk satu meja. Percepatan PSR harus menjadi prioritas karena berkaitan dengan nasib petani rakyat,” tegasnya.
Kedua, terkait dengan birokrasi yang rumit. Tetapi diakui Rino, Kementan menyelesaikan persoalan birokrasi melalui penyederhanaan syarat dan penerbitan regulasi yang mempermudah PSR.
Faktor ketiga adalah petani dihadapkan kepada masalah hukum. Mereka harus dipanggil aparat penegak hukum seperti kejaksaaan dan kepolisian berkaitan penggunaan dana PSR. “Bahkan, ada sejumlah oknum LSM lokal yang memanfaatkan kesempatan untuk mempermasalahkan petani PSR. Akibatnya, petani kami was-was untuk mengajukan PSR,” jelas Rino.
Rino sepakat dengat terbitnya jalur kemitraan dalam PSR diharapkan mampu meningkatkan realisasi PSR. Kuncinya adalah perjanjian kemitraan yang setara menjadi kunci sukses.
“Selain itu, BPDPKS dan Ditjen Perkebunan diharapkan lebih kreatif, dan inovatif dalam mendorong percepatan PSR melalui realisasi peraturan turunan dan meningkatkan sinergi dengan pihak khususnya dengan KLHK,” ujar Rino.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mendukung pola kemitraaan dalam program PSR agar program Presiden Jokowi ini dapat mencapai target. Pelaksanaan pola kemitraan ini dapat terlaksana asalkan posisi petani dan perusahaan saling setara. Kedua belah pihak diuntungkan bukan atas dasar belas kasihan.
Karena itu, ia menegaskan bahwa kemitraan harus yang saling menguntungkan. Agar saling menguntungkan, maka di dalam pola kemitraan harus didiskusikan secara utuh antara petani dengan mitra kerjanya.
Terkait kawasan hutan, ia berjanji Komisi IV DPR akan memanggil Menteri LHK untuk meminta kejelasan legalitas kebun petani sawit. “Semua pihak baik Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Pertanian diharapkan duduk satu meja. Percepatan PSR harus menjadi prioritas karena berkaitan dengan nasib petani rakyat,” tegasnya.
(dar)
tulis komentar anda