Kenapa Minyak Goreng Sawit Dilarang di Eropa? Ini Alasannya!
Senin, 27 Juni 2022 - 13:34 WIB
JAKARTA - Minyak goreng , salah satu bahan pokok yang menjadi sorotan belakangan ini. Mulai dari kelangkaan, kenaikan harga , hingga pelarangan minyak goreng pun terjadi. Seperti yang terjadi di Eropa .
Melansir dari Asia Times, Komisi Eropa pernah mengeluarkan Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/201, sehubungan dengan masalah perubahan lahan tidak langsung (ILUC). Kebijakan ini merupakan bagian dari Renewable Energy Directive II (RED II) UE mengenai bahan bakar nabati, termasuk CPO.
Baca juga : Minyak Goreng, Minyak Goreng! Langka Diburu, Melimpah Dicuekin
Dalam hal ini, delegasi Uni Eropa menjelaskan bahwa Delegated Act ini merupakan kerangka hukum untuk memastikan keberlanjutan bio-energi serta menjamin produksi bahan baku untuk biofuel tidak mengakibatkan deforestasi melalui ILUC.
Selain itu, Uni Eropa juga mengklaim bahwa Crude Palm Oil (CPO) adalah komoditas yang berisiko tinggi menyebabkan deforestasi. Hasilnya, Delegated Act ini perlahan akan mengurangi penggunaan bahan bakar nabati berbasi CPO di seluruh Uni Eropa menjadi Nol pada 2030.
Pada mekanismenya, Delegated Act ini sebenarnya bisa dikatakan bertujuan melemahkan atau mengisolasi minyak sawit dari sektor energi terbarukan. Khususnya dari minyak nabati lain yang diproduksi negara-negara anggota Uni Eropa.
Hal ini senada dengan fakta Uni Eropa yang menjadi produsen utama minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Sehingga bisa dilihat bahwa Delegated Act ini menjadi salah satu upaya mendorong pertumbuhan minyak nabati di negaranya sendiri.
Baca juga : Stabilisasi Harga Minyak Goreng
Dikutip dari The Asean Post, kebijakan tersebut secara ekonomi cukup merugikan bagi Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), CPO berkontribusi sekitar 80 persen dari total impor minyak nabati Uni Eropa.
Pada periode 2011-2016, rata-rata ekspor CPO Indonesia ke UE adalah sekitar 60 persen per tahunnya.
Melansir dari Asia Times, Komisi Eropa pernah mengeluarkan Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/201, sehubungan dengan masalah perubahan lahan tidak langsung (ILUC). Kebijakan ini merupakan bagian dari Renewable Energy Directive II (RED II) UE mengenai bahan bakar nabati, termasuk CPO.
Baca juga : Minyak Goreng, Minyak Goreng! Langka Diburu, Melimpah Dicuekin
Dalam hal ini, delegasi Uni Eropa menjelaskan bahwa Delegated Act ini merupakan kerangka hukum untuk memastikan keberlanjutan bio-energi serta menjamin produksi bahan baku untuk biofuel tidak mengakibatkan deforestasi melalui ILUC.
Selain itu, Uni Eropa juga mengklaim bahwa Crude Palm Oil (CPO) adalah komoditas yang berisiko tinggi menyebabkan deforestasi. Hasilnya, Delegated Act ini perlahan akan mengurangi penggunaan bahan bakar nabati berbasi CPO di seluruh Uni Eropa menjadi Nol pada 2030.
Pada mekanismenya, Delegated Act ini sebenarnya bisa dikatakan bertujuan melemahkan atau mengisolasi minyak sawit dari sektor energi terbarukan. Khususnya dari minyak nabati lain yang diproduksi negara-negara anggota Uni Eropa.
Hal ini senada dengan fakta Uni Eropa yang menjadi produsen utama minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Sehingga bisa dilihat bahwa Delegated Act ini menjadi salah satu upaya mendorong pertumbuhan minyak nabati di negaranya sendiri.
Baca juga : Stabilisasi Harga Minyak Goreng
Dikutip dari The Asean Post, kebijakan tersebut secara ekonomi cukup merugikan bagi Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), CPO berkontribusi sekitar 80 persen dari total impor minyak nabati Uni Eropa.
Pada periode 2011-2016, rata-rata ekspor CPO Indonesia ke UE adalah sekitar 60 persen per tahunnya.
(bim)
tulis komentar anda