Rupiah di Atas Rp15.000, BI Beberkan Sejumlah Penyebab
Rabu, 06 Juli 2022 - 14:15 WIB
JAKARTA - Rabu siang ini (6/7/2022) terpantau nilai tukar rupiah masih berada di posisi Rp15.022 per dolar AS (USD). Merespons itu, Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengatakan bahwa ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan atas pelemahan mata uang garuda.
"Pertama, kita harus pahami dulu apa trigger dari pelemahan mata uang ini. Trigger utamanya datang dari pasar keuangan global, karena pelaku pasar khawatir akan terjadinya perlambatan lebih jauh atas ekonomi global bahkan khawatir bisa masuk ke kondisi resesi, khususnya ekonomi AS karena data yang terkini sepertinya mendukung terhadap kekhawatiran tersebut," ujar Edi kepada MNC Portal di Jakarta, Rabu(6/6/2022).
Sementara di sisi lain, ancaman inflasi Amerika terus menghantui banyak negara. Kondisi itu mendorong para pelaku pasar (investor) untuk terus mencari safe haven currency dan safe haven assets. Safe haven currency condong ke USD, makanya index USD (DXY) terus menguat bahkan sudah di atas 106, tertinggi selama kurang lebih 20 tahun terakhir.
Sementara safe haven assets condong ke cash market dan ke US treasury (UST bond), sehingga yield UST 10 years terus menguat.
"Artinya apa? Artinya dari pergerakan nilai tukar, banyak mata uang non USD khususnya mata uang EM (emerging market) mengalami pelemahan, tentunya termasuk rupiah. Di wilayah Asia, selain IDR mata uang lainnya seperti bath, ringgit, peso, rupee, dan won juga mengalami pelemahan terhadap USD. Artinya ini adalah fenomena global," jelasnya.
Tentunya, sambung dia, BI dalam menghadapi hal tersebut melakukan langkah-langkah antisipatif. Pertama, memastikan ada di pasar melalui triple intervention agar supaya mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik dengan menjaga keseimbangan supply-demand valas di market.
"Kami melihat support dari perusahaan eksportir untuk turut menjaga supply-demand valas masih sangat baik, sehingga pelemahan IDR lebih managable. Kedua, menjaga kondisi likuiditas rupiah dalam level yang optimal," pungkasnya.
"Pertama, kita harus pahami dulu apa trigger dari pelemahan mata uang ini. Trigger utamanya datang dari pasar keuangan global, karena pelaku pasar khawatir akan terjadinya perlambatan lebih jauh atas ekonomi global bahkan khawatir bisa masuk ke kondisi resesi, khususnya ekonomi AS karena data yang terkini sepertinya mendukung terhadap kekhawatiran tersebut," ujar Edi kepada MNC Portal di Jakarta, Rabu(6/6/2022).
Sementara di sisi lain, ancaman inflasi Amerika terus menghantui banyak negara. Kondisi itu mendorong para pelaku pasar (investor) untuk terus mencari safe haven currency dan safe haven assets. Safe haven currency condong ke USD, makanya index USD (DXY) terus menguat bahkan sudah di atas 106, tertinggi selama kurang lebih 20 tahun terakhir.
Sementara safe haven assets condong ke cash market dan ke US treasury (UST bond), sehingga yield UST 10 years terus menguat.
"Artinya apa? Artinya dari pergerakan nilai tukar, banyak mata uang non USD khususnya mata uang EM (emerging market) mengalami pelemahan, tentunya termasuk rupiah. Di wilayah Asia, selain IDR mata uang lainnya seperti bath, ringgit, peso, rupee, dan won juga mengalami pelemahan terhadap USD. Artinya ini adalah fenomena global," jelasnya.
Tentunya, sambung dia, BI dalam menghadapi hal tersebut melakukan langkah-langkah antisipatif. Pertama, memastikan ada di pasar melalui triple intervention agar supaya mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik dengan menjaga keseimbangan supply-demand valas di market.
"Kami melihat support dari perusahaan eksportir untuk turut menjaga supply-demand valas masih sangat baik, sehingga pelemahan IDR lebih managable. Kedua, menjaga kondisi likuiditas rupiah dalam level yang optimal," pungkasnya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda