Pergerakan Indeks Pada Bulan Agustus Diproyeksikan Menguat Terbatas
Kamis, 04 Agustus 2022 - 11:46 WIB
“Kami melihat potensi kenaikan suku bunga yang lebih rendah ini tidak terlalu mempengaruhi pasar saham, hal ini tercermin dari suku bunga yang telah dinaikkan sebesar 75 basis poin dan pergerakan semua bursa saham justru mengalami kenaikan. Investor dan pelaku pasar sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sentimen ini,” jelas Maxi.
Perlu diketahui, peningkatan suku bunga The Fed dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan inflasi, dimana inflasi global saat ini dalam posisi tinggi. Sementara inflasi Indonesia posisi terakhir berada di 4,94% (Juli 2022). Angka ini lebih tinggi dari target awal Bank Indonesia (BI) yang berada di posisi 3% - 4%.
Adapun BNI Sekuritas memperkirakan inflasi Indonesia berada di 4,1% - 4,7% sampai akhir tahun. Perkiraan ini masih mungkin dicapai seiring mulai menurunnya harga komoditas pangan dan energi di pasar global.
Dari dalam negeri, investor saat ini tengah menunggu pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Sebagaimana diketahui, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,3% pada 2022 dan 5,2% pada 2023, dibandingkan dengan tahun 2021 yang berada di posisi 3,7%.
Untuk data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang akan dirilis tanggal 5 Agustus tampaknya masih mencatat pertumbuhan yang relatif bagus. Hal ini sejalan dengan pandemi covid-19 yang tetap terkendali sepanjang kuartal- II sehingga kegiatan usaha dan aktivitas masyarakat diluar rumah meningkat signifikan.
Selain itu harga komoditas yang tetap menarik di pasar global, membuat ekspor Indonesia tetap tumbuh bagus dan memberikan sumbangan yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II yang lalu.
Namun untuk kuartal III-2022 sampai akhir tahun, Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan kondisinya agak beresiko. Perkiraan ini didasarkan pada tingginya tekanan inflasi global, khususnya di negara- negara maju, yang direspon oleh bank sentral-nya dengan menaikkan suku bunga secara agresif dan pengetatan likuiditas.
Di sisi lain sumber inflasi itu sendiri sebagian berasal dari cost-push factors yang berada diluar kendali bank sentral. Misalnya gangguan rantai pasok akibat pandemi covid-19 yang kondisinya semakin memburuk dengan adanya perang Rusia – Ukraina serta sikap proteksionis beberapa negara yang mengurangi ekspor pangan dan energi untuk mengamankan pasokan dalam negerinya.
Ini berarti kenaikan suku bunga tersebut belum tentu mampu menurunkan laju inflasi secara signifikan. Sebaliknya kenaikan suku bunga yang agresif tersebut berpotensi membawa ekonomi dunia jatuh ke jurang resesi.
Perlu diketahui, peningkatan suku bunga The Fed dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan inflasi, dimana inflasi global saat ini dalam posisi tinggi. Sementara inflasi Indonesia posisi terakhir berada di 4,94% (Juli 2022). Angka ini lebih tinggi dari target awal Bank Indonesia (BI) yang berada di posisi 3% - 4%.
Adapun BNI Sekuritas memperkirakan inflasi Indonesia berada di 4,1% - 4,7% sampai akhir tahun. Perkiraan ini masih mungkin dicapai seiring mulai menurunnya harga komoditas pangan dan energi di pasar global.
Dari dalam negeri, investor saat ini tengah menunggu pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Sebagaimana diketahui, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,3% pada 2022 dan 5,2% pada 2023, dibandingkan dengan tahun 2021 yang berada di posisi 3,7%.
Untuk data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang akan dirilis tanggal 5 Agustus tampaknya masih mencatat pertumbuhan yang relatif bagus. Hal ini sejalan dengan pandemi covid-19 yang tetap terkendali sepanjang kuartal- II sehingga kegiatan usaha dan aktivitas masyarakat diluar rumah meningkat signifikan.
Selain itu harga komoditas yang tetap menarik di pasar global, membuat ekspor Indonesia tetap tumbuh bagus dan memberikan sumbangan yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II yang lalu.
Namun untuk kuartal III-2022 sampai akhir tahun, Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan kondisinya agak beresiko. Perkiraan ini didasarkan pada tingginya tekanan inflasi global, khususnya di negara- negara maju, yang direspon oleh bank sentral-nya dengan menaikkan suku bunga secara agresif dan pengetatan likuiditas.
Di sisi lain sumber inflasi itu sendiri sebagian berasal dari cost-push factors yang berada diluar kendali bank sentral. Misalnya gangguan rantai pasok akibat pandemi covid-19 yang kondisinya semakin memburuk dengan adanya perang Rusia – Ukraina serta sikap proteksionis beberapa negara yang mengurangi ekspor pangan dan energi untuk mengamankan pasokan dalam negerinya.
Ini berarti kenaikan suku bunga tersebut belum tentu mampu menurunkan laju inflasi secara signifikan. Sebaliknya kenaikan suku bunga yang agresif tersebut berpotensi membawa ekonomi dunia jatuh ke jurang resesi.
(akr)
tulis komentar anda