Simalakama Kenaikan BBM Pertalite, Inflasi Meroket atau Subsidi Jebol
Kamis, 25 Agustus 2022 - 15:02 WIB
JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dinilai sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah, lantaran harga jualnya memang di bawah harga keekonomian. Sedangkan jika dilakukan penambahan subsidi justru akan membuat beban anggaran semakin meningkat.
“Kalau harga tidak naik sesuai keekonomian, maka Pemerintah tetap harus menambah subsidi. Sedangkan penambahan subsidi, terbentur kapasitas fiskal yang terbatas. Semakin besar subisidi, beban anggaran juga meningkat,” jelas Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta.
Dampak lainnya terang Fabby yakni, jika Pemerintah meningkatkan, maka akan membuat konsumsi BBM menjadi tidak rasional. “Subsidi harga BBM juga mendorong konsumsi BBM pengguna jadi tidak rasional. Ini akan mendorong kenaikan konsumsi BBM,” tegasnya.
Itu sebabnya, Fabby mendukung kenaikan harga Pertalite. Terlebih, saat ini praktik subsidi pada Pertalite justru banyak yang salah sasaran. Dalam hal ini, banyak masyarakat mampu yang memiliki mobil justru turut menikmati Pertalite yang notabene BBM subsidi.
Begitu pun, Fabby tetap mengingatkan agar Pemerintah juga berhati-hati. Karena kenaikan BBM subsidi, tentu berdampak terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.
“Jadi memang bagi Pemerintah, ini buah simalakama. Sama-sama pilihan yang sulit. Makanya, saya mendukung kenaikkan harga BBM dengan catatan Pemerintah menyiapkan jaring pengaman sosial,” jelas Fabby.
Selain itu, lanjutnya, Pemerintah juga harus melarang Pertalite penggunaan Pertalite oleh mobil pribadi. Jadi, hanya motor saja yang bisa menggunakan BBM subsidi tersebut. “Cara ini membuat kuota subsidi bisa tetap terjaga,” pungkasnya.
Seperti diketahui, sinyalemen kenaikan harga Pertalite memang mengemuka. Sinyal kenaikan harga BBM subsidi ini mencuat, setelah beban subsidi BBM dan kompensasi energi dalam APBN 2022 membengkak hingga Rp 502 triliun.
Tentu saja kondisi demikian bisa menjadi beban. Bahkan sebelumnya, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya juga mengatakan, seharusnya anggaran subsidi untuk energi tersebut bisa diminimalisasi.
Subsidi lanjut Berly saat itu, harus dioptimalkan untuk pembangunan di bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
“Kalau harga tidak naik sesuai keekonomian, maka Pemerintah tetap harus menambah subsidi. Sedangkan penambahan subsidi, terbentur kapasitas fiskal yang terbatas. Semakin besar subisidi, beban anggaran juga meningkat,” jelas Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta.
Dampak lainnya terang Fabby yakni, jika Pemerintah meningkatkan, maka akan membuat konsumsi BBM menjadi tidak rasional. “Subsidi harga BBM juga mendorong konsumsi BBM pengguna jadi tidak rasional. Ini akan mendorong kenaikan konsumsi BBM,” tegasnya.
Itu sebabnya, Fabby mendukung kenaikan harga Pertalite. Terlebih, saat ini praktik subsidi pada Pertalite justru banyak yang salah sasaran. Dalam hal ini, banyak masyarakat mampu yang memiliki mobil justru turut menikmati Pertalite yang notabene BBM subsidi.
Begitu pun, Fabby tetap mengingatkan agar Pemerintah juga berhati-hati. Karena kenaikan BBM subsidi, tentu berdampak terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.
“Jadi memang bagi Pemerintah, ini buah simalakama. Sama-sama pilihan yang sulit. Makanya, saya mendukung kenaikkan harga BBM dengan catatan Pemerintah menyiapkan jaring pengaman sosial,” jelas Fabby.
Selain itu, lanjutnya, Pemerintah juga harus melarang Pertalite penggunaan Pertalite oleh mobil pribadi. Jadi, hanya motor saja yang bisa menggunakan BBM subsidi tersebut. “Cara ini membuat kuota subsidi bisa tetap terjaga,” pungkasnya.
Seperti diketahui, sinyalemen kenaikan harga Pertalite memang mengemuka. Sinyal kenaikan harga BBM subsidi ini mencuat, setelah beban subsidi BBM dan kompensasi energi dalam APBN 2022 membengkak hingga Rp 502 triliun.
Tentu saja kondisi demikian bisa menjadi beban. Bahkan sebelumnya, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya juga mengatakan, seharusnya anggaran subsidi untuk energi tersebut bisa diminimalisasi.
Subsidi lanjut Berly saat itu, harus dioptimalkan untuk pembangunan di bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda