Urusan BBM, Faisal Basri Sarankan Indonesia Belajar dari Timor Leste dan Norwegia
Rabu, 31 Agustus 2022 - 18:29 WIB
Selain Timor Leste, kata dia, banyak juga negara lain yang lebih cermat mengelola cadangan minyaknya. Misalnya salah satu negara dengan cadangan minyak yang besar, yaitu Norwegia. Negara itu punya juga memiliki oil fund yang jumlahnya setara Rp1.300 triliun.
"Walaupun kaya minyak tapi tabungan dari minyaknya itu Rp1.300 triliun, jadi dia enggak susah. Denmark juga dengan itu Anda dikasih USD10.000 per bulan untuk kuliah. Kuliah dikasih duit. Kalau kit, kan bayar mahal jalur A, B, C. Pokoknya ribet deh komersialisasi pendidikan itu," cetusnya.
Menurut dia, saat ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk betul-betul mereformasi tata kelola minyak mentah dan subsidi BBM yang sebetulnya sudah dimulai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014. Sayangnya, menurut dia, Jokowi tak lagi konsisten dengan janjinya karena nilai subsidi BBM terus dinaikkan.
"Kalau kita begini terus, ingat minyak kita itu 7-9 tahun lagi habis. Barangkali beli minyaknya harga dunia, 9 tahun lagi loh itu namanya reserve to production ratio. Kenapa turun terus ini lifting di bawah 700.000, sementara konsumsi kita kira-kira 1,4 juta totalnya," tuturnya.
Akibat minimnya produksi migas di tengah tingginya konsumsi BBM, pemerintah terpaksa impor 700.000 barel per hari dengan uang APBN. Minyak yang juga disubsidi itu, kata Faisal, dibeli dengan mata uang dolar AS sekitar USD18 miliar.
"Itu yang kita habiskan. Untuk itu saja. Makanya rupiah melemah, subsidinya naik lagi, jadi ribet gara-gara si BBM ini enggak diselesaikan," tukasnya.
"Yang saya takutkan 2040-2050 kita krisis energi karena batu bara kita enggak bisa menutupi, kita akan defisit subsdi energi USD40 miliar. Nggak ada kedaulatan energi, malah kita didikte sama negara-negara lain,” pungkas Faisal.
"Walaupun kaya minyak tapi tabungan dari minyaknya itu Rp1.300 triliun, jadi dia enggak susah. Denmark juga dengan itu Anda dikasih USD10.000 per bulan untuk kuliah. Kuliah dikasih duit. Kalau kit, kan bayar mahal jalur A, B, C. Pokoknya ribet deh komersialisasi pendidikan itu," cetusnya.
Baca Juga
Menurut dia, saat ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk betul-betul mereformasi tata kelola minyak mentah dan subsidi BBM yang sebetulnya sudah dimulai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014. Sayangnya, menurut dia, Jokowi tak lagi konsisten dengan janjinya karena nilai subsidi BBM terus dinaikkan.
"Kalau kita begini terus, ingat minyak kita itu 7-9 tahun lagi habis. Barangkali beli minyaknya harga dunia, 9 tahun lagi loh itu namanya reserve to production ratio. Kenapa turun terus ini lifting di bawah 700.000, sementara konsumsi kita kira-kira 1,4 juta totalnya," tuturnya.
Akibat minimnya produksi migas di tengah tingginya konsumsi BBM, pemerintah terpaksa impor 700.000 barel per hari dengan uang APBN. Minyak yang juga disubsidi itu, kata Faisal, dibeli dengan mata uang dolar AS sekitar USD18 miliar.
"Itu yang kita habiskan. Untuk itu saja. Makanya rupiah melemah, subsidinya naik lagi, jadi ribet gara-gara si BBM ini enggak diselesaikan," tukasnya.
"Yang saya takutkan 2040-2050 kita krisis energi karena batu bara kita enggak bisa menutupi, kita akan defisit subsdi energi USD40 miliar. Nggak ada kedaulatan energi, malah kita didikte sama negara-negara lain,” pungkas Faisal.
(ind)
Lihat Juga :
tulis komentar anda