Banyak Jadi korban, Awas Jebakan Pinjaman Online Ilegal
Kamis, 09 Juli 2020 - 09:20 WIB
Dalam kasus pinjaman online, dirinya tidak akan pernah memberikan saran itu kepada orang yang awam. Terlebih bagi klien yang punya hobi belanja. Kerap kali orang akan menjadi candu setelah pertama merasakan. Bagi yang sudah terjebak, dia akan menyarankan untuk menyelesaikan secepatnya.
“Bila sudah sangat besar jumlahnya, sebaiknya cari penyelesaian dengan sumber dana dari pihak keluarga. Itu salah satu opsi terbaik. Bila belum pernah, jangan sekalipun mencoba,” ujarnya. (Baca juga: Satgas Waspada Investasi temukan Lagi 132 Fintech Ilegal)
Penasihat keuangan, Eko Endarto, juga menilai ada beberapa tipe masyarakat yang meminjam pada pinjaman online bodong. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena tidak mengetahui dan kurang informasi. Kedua, sangat butuh dan aksesnya terbatas selain pada pinjaman online. Tapi, ada juga untuk beberapa orang yang menganggap ini sebagai hal tidak masalah. Karena baginya, teror hanya via online dan tidak akan sampai ke ranah hukum.
“Buat yang seperti ini, tipe orang yang suka spekulasi dan memang sudah biasa. Mungkin sebelumnya sudah pernah bermasalah dengan kartu kredit atau leasing. Jadi, kalau dengan fintech pun tidak ada masalah bai mereka,” ujar Eko.
Pengamat IT, Heru Sutadi menilai, sebenarnya pada satu sisi pinjaman online membantu masyarakat yang membutuhkan dana segar. Aksesnya lebih mudah dan mengikuti perkembangan digitalisasi keuangan. Namun, kendalanya pengaturan dan pengawasan OJK serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum optimal sehingga banyak terjadi masalah. (Baca juga: Gerindra Sebut Indonesia Darurat Rentenir Online)
“Hendaknya masyarakat menggunakan layanan fintech yang resmi terdaftar di OJK. Lalu sebelum meminjam, perlu tahu syarat dan ketentuan berlaku agar tidak dirugikan di kemudian hari,” ujar Heru.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dalam masalah pinjaman online sangat sulit mengandalkan kesadaran masyarakat akan tumbuh dengan cepat. Menurutnya, literasi digital masyarakat masih sangat lemah sehingga belum sadar untuk melakukan klarifikasi produk-produk digital.
“Seharusnya lebih fokus pada penegakan hukum. Selama ini penegakan hukum secara preventif masih lemah. Sulit mengandalkan masyarakat karena kurangnya literasi digital. Jadi yang lebih efektif adalah penegakan hukum secara masif,” ujar Tulus.
Sebelumnya, Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan, sejak 2018 terdapat 2.591 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal (P2P) atau pinjaman online bodong yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Angka itu jauh lebih besar dibandingkan fintech legal yang tercatat di OJK, yaitu 159 entitas. (Baca juga: Fintech Ilegal Masih Marak)
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan, keberadaan pinjaman online bodong ini tak hanya merugikan masyarakat, tapi juga merugikan negara. “Keberadaan fintech peer to peer lending ilegal ini merugikan pemerintah, sebab potensi pajak yang diterima negara tidak ada,” katanya dalam diskusi secara virtual, Jumat (3/7/2020).
“Bila sudah sangat besar jumlahnya, sebaiknya cari penyelesaian dengan sumber dana dari pihak keluarga. Itu salah satu opsi terbaik. Bila belum pernah, jangan sekalipun mencoba,” ujarnya. (Baca juga: Satgas Waspada Investasi temukan Lagi 132 Fintech Ilegal)
Penasihat keuangan, Eko Endarto, juga menilai ada beberapa tipe masyarakat yang meminjam pada pinjaman online bodong. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena tidak mengetahui dan kurang informasi. Kedua, sangat butuh dan aksesnya terbatas selain pada pinjaman online. Tapi, ada juga untuk beberapa orang yang menganggap ini sebagai hal tidak masalah. Karena baginya, teror hanya via online dan tidak akan sampai ke ranah hukum.
“Buat yang seperti ini, tipe orang yang suka spekulasi dan memang sudah biasa. Mungkin sebelumnya sudah pernah bermasalah dengan kartu kredit atau leasing. Jadi, kalau dengan fintech pun tidak ada masalah bai mereka,” ujar Eko.
Pengamat IT, Heru Sutadi menilai, sebenarnya pada satu sisi pinjaman online membantu masyarakat yang membutuhkan dana segar. Aksesnya lebih mudah dan mengikuti perkembangan digitalisasi keuangan. Namun, kendalanya pengaturan dan pengawasan OJK serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum optimal sehingga banyak terjadi masalah. (Baca juga: Gerindra Sebut Indonesia Darurat Rentenir Online)
“Hendaknya masyarakat menggunakan layanan fintech yang resmi terdaftar di OJK. Lalu sebelum meminjam, perlu tahu syarat dan ketentuan berlaku agar tidak dirugikan di kemudian hari,” ujar Heru.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dalam masalah pinjaman online sangat sulit mengandalkan kesadaran masyarakat akan tumbuh dengan cepat. Menurutnya, literasi digital masyarakat masih sangat lemah sehingga belum sadar untuk melakukan klarifikasi produk-produk digital.
“Seharusnya lebih fokus pada penegakan hukum. Selama ini penegakan hukum secara preventif masih lemah. Sulit mengandalkan masyarakat karena kurangnya literasi digital. Jadi yang lebih efektif adalah penegakan hukum secara masif,” ujar Tulus.
Sebelumnya, Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan, sejak 2018 terdapat 2.591 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal (P2P) atau pinjaman online bodong yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Angka itu jauh lebih besar dibandingkan fintech legal yang tercatat di OJK, yaitu 159 entitas. (Baca juga: Fintech Ilegal Masih Marak)
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan, keberadaan pinjaman online bodong ini tak hanya merugikan masyarakat, tapi juga merugikan negara. “Keberadaan fintech peer to peer lending ilegal ini merugikan pemerintah, sebab potensi pajak yang diterima negara tidak ada,” katanya dalam diskusi secara virtual, Jumat (3/7/2020).
tulis komentar anda