Jalan Terjal Bisnis Transportasi di Tengah Pandemi
Jum'at, 10 Juli 2020 - 10:10 WIB
JAKARTA - Pandemi Covid-19 menjadikan semua sektor angkutan mengalami tantangan besar. Jumlah penumpang semua sektor moda transportasi rata-rata mengalami penurunan lebih dari 90%.
Kebijakan pemerintah yang memberlakukan tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19 atau biasa disebut New Normal membuka harapan bagi para pengusaha yang bergerak di sektor transportasi.
Hal itu sebagaimana diakui Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan. Menurutnya, pengelola perusahaan otobus (PO) sebenarnya telah siap memasuki masa New Normal. Namun, persoalannya, demand and supply tidak seimbang sehingga tidak sedikit biaya tambahan yang harus ditanggung pengelola atau operator bus. “Mau tidak mau ya kenaikan tarif. Tapi, tarif naik juga belum tentu banyak penumpang karena masih adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal Juni 2020,” ungkapnya.
Pengusaha bus meminta berbagai relaksasi kebijakan yang meringankan, namun belum berdampak besar. “Paling yang ada penundaan pembayaran pajak-pajak. Itu pun belum signifikan,” kata Kurnia. (Baca: Merpati Sulit Kembali Terbang, Pegawai Disebut hanya Tersisa 10 Orang)
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengatakan, sejak pandemi Covid-19, pihaknya selalu menyesuaikan pengoperasian berdasarkan protokol dari Gugus Tugas Covid-19. Hasilnya diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 11/2020 transportasi darat.
Secara ringkas, SE tersebut mengatur kapasitas angkutan maksimal 50% dengan penerapan protokol kesehatan. Namun, sejak 1 Juli 2020 pelonggaran kapasitas diperlonggar dari 50% menjadi 70%.
Tapi, pelonggaran tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah sebab demand berkurang akibat pandemi Covid-19, juga masih menjadi stigma yang menakutkan bagi masyarakat menggunakan angkutan bus.
“Per Juli memang sudah dilonggarkan, tapi penumpang baru sekitar 20% sampai 40%. Masalahnya di mana? Penumpang masih punya stigma yang menakutkan naik angkutan ini. Salah satunya adalah urusan naik bus masih berbelit, mulai dari kewajiban rapid test sampai surat izin keluar masuk (SIKM) DKI Jakarta,” ucapnya.
Dibanding naik bus, masyarakat cenderung lebih memilih angkutan kendaraan pribadi jika melintasi antarkota atau provinsi. Hal ini juga menambah masalah pada banyaknya angkutan ilegal berplat hitam, namun mengangkut antarkota. Jika kondisi terus berlarut, pengelola bus makin berat sehingga bisa berdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dan berujung penutupan.
Kebijakan pemerintah yang memberlakukan tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19 atau biasa disebut New Normal membuka harapan bagi para pengusaha yang bergerak di sektor transportasi.
Hal itu sebagaimana diakui Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan. Menurutnya, pengelola perusahaan otobus (PO) sebenarnya telah siap memasuki masa New Normal. Namun, persoalannya, demand and supply tidak seimbang sehingga tidak sedikit biaya tambahan yang harus ditanggung pengelola atau operator bus. “Mau tidak mau ya kenaikan tarif. Tapi, tarif naik juga belum tentu banyak penumpang karena masih adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal Juni 2020,” ungkapnya.
Pengusaha bus meminta berbagai relaksasi kebijakan yang meringankan, namun belum berdampak besar. “Paling yang ada penundaan pembayaran pajak-pajak. Itu pun belum signifikan,” kata Kurnia. (Baca: Merpati Sulit Kembali Terbang, Pegawai Disebut hanya Tersisa 10 Orang)
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengatakan, sejak pandemi Covid-19, pihaknya selalu menyesuaikan pengoperasian berdasarkan protokol dari Gugus Tugas Covid-19. Hasilnya diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 11/2020 transportasi darat.
Secara ringkas, SE tersebut mengatur kapasitas angkutan maksimal 50% dengan penerapan protokol kesehatan. Namun, sejak 1 Juli 2020 pelonggaran kapasitas diperlonggar dari 50% menjadi 70%.
Tapi, pelonggaran tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah sebab demand berkurang akibat pandemi Covid-19, juga masih menjadi stigma yang menakutkan bagi masyarakat menggunakan angkutan bus.
“Per Juli memang sudah dilonggarkan, tapi penumpang baru sekitar 20% sampai 40%. Masalahnya di mana? Penumpang masih punya stigma yang menakutkan naik angkutan ini. Salah satunya adalah urusan naik bus masih berbelit, mulai dari kewajiban rapid test sampai surat izin keluar masuk (SIKM) DKI Jakarta,” ucapnya.
Dibanding naik bus, masyarakat cenderung lebih memilih angkutan kendaraan pribadi jika melintasi antarkota atau provinsi. Hal ini juga menambah masalah pada banyaknya angkutan ilegal berplat hitam, namun mengangkut antarkota. Jika kondisi terus berlarut, pengelola bus makin berat sehingga bisa berdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dan berujung penutupan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda