Rusia Mulai Kesulitan Jual Minyak Akibat Sanksi Barat
Jum'at, 06 Januari 2023 - 20:52 WIB
MOSKOW - Beberapa pembeli minyak mentah Rusia yang berasal dari Asia Tenggara sepertinya mulai enggan mengambil barel yang terkena sanksi. Direktur eksekutif energi berjangka, Robert Yawger di Mizuho, New York mengungkapkan, hal itu membuat beberapa kapal tanker tertahan di pasar Asia Pasifik.
"Mereka ( minyak Rusia ) mencari rumah di India dan China, tetapi (negara-negara itu) memiliki semua minyak mentah yang mereka butuhkan saat ini. Mereka penuh," kata Yawger seperti dilansir The Wall Street Journal.
Meski begitu, pelaku pasar sepertinya tidak akan melewatkan barel Rusia untuk saat ini. Permintaan global untuk minyak mentah telah melunak dalam beberapa bulan terakhir, meski ada reli dalam tiga pekan setelah China dibuka kembali.
Yawger memperkirakan, harga minyak dapat goyah dalam beberapa minggu mendatang jika aktivitas ekonomi terus merana. "Sisi permintaan adalah masalah yang lebih besar saat ini. Pasokan pada dasarnya bukan masalah," kata Yawger.
Kremlin sepertinya bakal bekerja keras meredam dampak dari upaya Barat melumpuhkan sumber daya energi Rusia. Presiden Vladimir Putin sempat mengutarakan, tidak melihat potensi kerugian untuk sektor minyak dan gas Rusia dari batas harga Eropa.
Sementara itu Menteri energi Rusia, Alexander Novak mengutarakan, Moskow dapat memangkas produksi minyak sebagai respons terhadap pembatasan harga oleh Barat. Perkirakan pengurangan produksi minyak yang bisa dilakukan Rusia yakni mencapai 500.000 hingga 700.000 barel per hari — yang ia gambarkan sebagai pengurangan kapasitas 5% hingga 7% — pada awal tahun depan.
Di sisi lain egara-negara Eropa sedang mempersiapkan larangan produk minyak bumi olahan seperti diesel pada Februari 2023, yang diperkirakan beberapa analis akan berdampak lebih besar pada pasar global. Negara-negara Barat juga akan memberlakukan pembatasan harga pada produk minyak bumi Rusia pada Februari.
Konflik energi yang berjalan bersamaan dengan perang telah berkontribusi pada "ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya dari sisi penawaran dan mengakibatkan volatilitas di pasar minyak," kata Paul Sheldon, seorang analis risiko geopolitik di S&P Global Commodity Insights.
"Mereka ( minyak Rusia ) mencari rumah di India dan China, tetapi (negara-negara itu) memiliki semua minyak mentah yang mereka butuhkan saat ini. Mereka penuh," kata Yawger seperti dilansir The Wall Street Journal.
Meski begitu, pelaku pasar sepertinya tidak akan melewatkan barel Rusia untuk saat ini. Permintaan global untuk minyak mentah telah melunak dalam beberapa bulan terakhir, meski ada reli dalam tiga pekan setelah China dibuka kembali.
Yawger memperkirakan, harga minyak dapat goyah dalam beberapa minggu mendatang jika aktivitas ekonomi terus merana. "Sisi permintaan adalah masalah yang lebih besar saat ini. Pasokan pada dasarnya bukan masalah," kata Yawger.
Kremlin sepertinya bakal bekerja keras meredam dampak dari upaya Barat melumpuhkan sumber daya energi Rusia. Presiden Vladimir Putin sempat mengutarakan, tidak melihat potensi kerugian untuk sektor minyak dan gas Rusia dari batas harga Eropa.
Sementara itu Menteri energi Rusia, Alexander Novak mengutarakan, Moskow dapat memangkas produksi minyak sebagai respons terhadap pembatasan harga oleh Barat. Perkirakan pengurangan produksi minyak yang bisa dilakukan Rusia yakni mencapai 500.000 hingga 700.000 barel per hari — yang ia gambarkan sebagai pengurangan kapasitas 5% hingga 7% — pada awal tahun depan.
Di sisi lain egara-negara Eropa sedang mempersiapkan larangan produk minyak bumi olahan seperti diesel pada Februari 2023, yang diperkirakan beberapa analis akan berdampak lebih besar pada pasar global. Negara-negara Barat juga akan memberlakukan pembatasan harga pada produk minyak bumi Rusia pada Februari.
Konflik energi yang berjalan bersamaan dengan perang telah berkontribusi pada "ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya dari sisi penawaran dan mengakibatkan volatilitas di pasar minyak," kata Paul Sheldon, seorang analis risiko geopolitik di S&P Global Commodity Insights.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda