Terungkap, Perusahaan Barat yang Kabur dari Rusia Hanya 8,5 Persen
loading...
A
A
A
MOSKOW - Sebuah studi menemukan bahwa meskipun ada tekanan kuat dari investor dan konsumen kepada perusahaan untuk melakukan divestasi dari Rusia , namun ternyata hanya sebagian kecil yang keluar dari Moskow. Proses yang lambat untuk kabur dari Rusia, menimbulkan keraguan tentang seberapa serius beberapa perusahaan untuk pergi.
Menyusul pecahnya perang Rusia Ukraina pada Februari 2022 tahun lalu, banyak perusahaan multinasional terpaksa memikirkan kembali hubungan mereka dengan Moskow. Sembilan bulan kemudian, hanya 8,5% perusahaan yang berkantor pusat di Uni Eropa atau G-7 -yang anggotanya adalah Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan A.S- telah mendivestasi setidaknya satu anak perusahaan Rusia mereka.
Hal itu disampaikan oleh Simon Evenett, seorang profesor di Universitas St. Gallen, dan Niccolò Pisani, seorang profesor di IMD Business School.
Dalam studi tersebut diakui bahwa keluar dari Rusia menjadi sesuatu yang rumit serta memakan waktu cukup lama. Kemungkinan persentasenya bakal meningkat, mengingat perusahaan telah mengumumkan niat mereka untuk menindaklanjuti keinginanan meninggalkan Moskow.
Tetapi mereka memperingatkan bahwa jika perusahaan-perusahaan Barat yang keluar tidak meningkat secara signifikan dalam satu atau dua tahun mendatang. "Hal itu akan mempertanyakan kesediaan atau kemampuan banyak perusahaan Barat untuk memisahkan diri dari yurisdiksi yang oleh pemerintah mereka dianggap sebagai saingan geopolitik," bebernya.
Para peneliti di University of St. Gallen dan institut IMD di Lausanne telah menyelidiki berapa banyak perusahaan yang berbasis di Uni Eropa dan negara-negara G7 yang benar-benar telah melepaskan diri dari Rusia sejak invasi skala penuhnya ke Ukraina dimulai Februari lalu.
"Perusahaan UE dan G7 yang mundur dari Rusia sangat terbatas, (dan) menantang narasi bahwa ada eksodus besar-besaran perusahaan Barat yang meninggalkan pasar," kata Universitas St. Gallen dalam sebuah pernyataan.
Studi yang diterbitkan bulan lalu oleh Social Science Research Network (SSRN) online — penerbit studi "pra-cetak"- menunjukkan bahwa hanya kurang dari 10% perusahaan UE dan G7 dengan anak perusahaan Rusia yang telah hengkang.
Ketika Moskow meluncurkan invasinya ke Ukraina, studi tersebut mendata ada 1.404 perusahaan yang berbasis di UE dan G7 dengan total ada 2.405 anak perusahaan yang aktif di Rusia.
Pada akhir November, hanya 120 atau sekitar 8,5% dari perusahaan-perusahaan itu yang telah mendivestasi (keluar dari Rusia) dengan setidaknya satu anak perusahaan di Rusia.
Namun ada lebih banyak yang keluar seperti dikonfirmasi oleh perusahaan yang berkantor pusat di Amerika Serikat daripada yang berbasis di Eropa dan Jepang.
Tetapi bahkan dengan Amerika Serikat, penelitian menunjukkan hasilnya kurang dari 18% anak perusahaan AS yang beroperasi di Rusia telah sepenuhnya divestasi sejak invasi dimulai. Sebaliknya, 15% perusahaan Jepang dan hanya 8,3% perusahaan UE telah melakukan divestasi dari Rusia.
Dari mereka yang telah meninggalkan anak perusahaan di Rusia yakni 19,5% adalah Jerman dan 12,4% adalah milik AS, menurut penelitian tersebut.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Barat yang keluar hanya menyumbang 6,5% dari total laba sebelum pajak perusahaan UE dan G7 dengan operasi komersial aktif di Rusia.
Selain itu mereka menyumbang 15,3% dari total jumlah karyawan yang bekerja untuk perusahaan tersebut di Rusia.
Ini menunjukkan bahwa, rata-rata perusahaan yang keluar cenderung memiliki profitabilitas yang lebih rendah daripada perusahaan yang tetap berada di Rusia, kata penelitian itu.
Menyusul pecahnya perang Rusia Ukraina pada Februari 2022 tahun lalu, banyak perusahaan multinasional terpaksa memikirkan kembali hubungan mereka dengan Moskow. Sembilan bulan kemudian, hanya 8,5% perusahaan yang berkantor pusat di Uni Eropa atau G-7 -yang anggotanya adalah Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan A.S- telah mendivestasi setidaknya satu anak perusahaan Rusia mereka.
Hal itu disampaikan oleh Simon Evenett, seorang profesor di Universitas St. Gallen, dan Niccolò Pisani, seorang profesor di IMD Business School.
Dalam studi tersebut diakui bahwa keluar dari Rusia menjadi sesuatu yang rumit serta memakan waktu cukup lama. Kemungkinan persentasenya bakal meningkat, mengingat perusahaan telah mengumumkan niat mereka untuk menindaklanjuti keinginanan meninggalkan Moskow.
Tetapi mereka memperingatkan bahwa jika perusahaan-perusahaan Barat yang keluar tidak meningkat secara signifikan dalam satu atau dua tahun mendatang. "Hal itu akan mempertanyakan kesediaan atau kemampuan banyak perusahaan Barat untuk memisahkan diri dari yurisdiksi yang oleh pemerintah mereka dianggap sebagai saingan geopolitik," bebernya.
Para peneliti di University of St. Gallen dan institut IMD di Lausanne telah menyelidiki berapa banyak perusahaan yang berbasis di Uni Eropa dan negara-negara G7 yang benar-benar telah melepaskan diri dari Rusia sejak invasi skala penuhnya ke Ukraina dimulai Februari lalu.
"Perusahaan UE dan G7 yang mundur dari Rusia sangat terbatas, (dan) menantang narasi bahwa ada eksodus besar-besaran perusahaan Barat yang meninggalkan pasar," kata Universitas St. Gallen dalam sebuah pernyataan.
Studi yang diterbitkan bulan lalu oleh Social Science Research Network (SSRN) online — penerbit studi "pra-cetak"- menunjukkan bahwa hanya kurang dari 10% perusahaan UE dan G7 dengan anak perusahaan Rusia yang telah hengkang.
Ketika Moskow meluncurkan invasinya ke Ukraina, studi tersebut mendata ada 1.404 perusahaan yang berbasis di UE dan G7 dengan total ada 2.405 anak perusahaan yang aktif di Rusia.
Pada akhir November, hanya 120 atau sekitar 8,5% dari perusahaan-perusahaan itu yang telah mendivestasi (keluar dari Rusia) dengan setidaknya satu anak perusahaan di Rusia.
Namun ada lebih banyak yang keluar seperti dikonfirmasi oleh perusahaan yang berkantor pusat di Amerika Serikat daripada yang berbasis di Eropa dan Jepang.
Tetapi bahkan dengan Amerika Serikat, penelitian menunjukkan hasilnya kurang dari 18% anak perusahaan AS yang beroperasi di Rusia telah sepenuhnya divestasi sejak invasi dimulai. Sebaliknya, 15% perusahaan Jepang dan hanya 8,3% perusahaan UE telah melakukan divestasi dari Rusia.
Dari mereka yang telah meninggalkan anak perusahaan di Rusia yakni 19,5% adalah Jerman dan 12,4% adalah milik AS, menurut penelitian tersebut.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Barat yang keluar hanya menyumbang 6,5% dari total laba sebelum pajak perusahaan UE dan G7 dengan operasi komersial aktif di Rusia.
Selain itu mereka menyumbang 15,3% dari total jumlah karyawan yang bekerja untuk perusahaan tersebut di Rusia.
Ini menunjukkan bahwa, rata-rata perusahaan yang keluar cenderung memiliki profitabilitas yang lebih rendah daripada perusahaan yang tetap berada di Rusia, kata penelitian itu.
(akr)