Kebijakan HET Beras Bakal Timbulkan Kelangkaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah resmi memberlakukan harga eceran tertinggi ( HET ) beras. Pemberlakuan itu menyusul terbitnya Peraturan Badan Pangan Nasional No. 7 Tahun 2023 tentang Harga Eceran Tertinggi Beras .
Pengaturan HET beras berdasarkan zonasi. Untuk zona 1 meliputi Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi, HET beras medium Rp10.900/kg sedangkan beras premium Rp13.900/kg.
Sementara itu, untuk zona 2 meliputi Sumatra selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan, HET beras medium Rp11.500/kg dan beras premium Rp14.400/kg. Adapun zona 3 meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium Rp11.800/kg, dan untuk beras premium sebesar Rp14.800/kg.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir menilai, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) belum tentu efektif dalam mengatasi fluktuasi harga beras di tingkat konsumen. Belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi turut berkontribusi terhadap harga beras di pasar, yang biasanya lebih tinggi dari HET.
“Kalau pelaku usaha dipaksa mengikuti HET dengan menekan margin, maka yang akan terjadi adalah tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras," ujar Faisol di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Menurutnya, kondisi itu akan berdampak pula di sektor hulu dengan berkurangnya pendapatan petani gabah. Dampak selanjutnya adalah bukan tidak mungkin penggilingan menengah juga akan berhenti berproduksi.
"Masalah-masalah ini akhirnya akan merusak perdagangan beras di tanah air,” jelasnya.
Faisol melanjutkan, kebijakan ini berpeluang memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Peluang terjadinya percampuran beras kualitas medium dengan beras dengan kualitas lebih rendah pun dapat terjadi sehingga akan merugikan konsumen.
Penetapan harga untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dan GKP di tingkat penggilingan yang sebelumnya sudah dilakukan juga tidak menjamin kestabilan harga karena harga pasar selalu lebih tinggi daripada harga yang diatur oleh pemerintah.
"Adanya kesenjangan harga ini pada akhirnya membuat petani lebih memilih untuk menjual beras kepada pihak swasta yang mau membayar lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan. Penetapan HET di tingkat penjual juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi dari HET," pungkas Faisol.
Kebijakan HET beras bisa jadi akan sama dengan minyak goreng. Ketika HET diberlakukan untuk minyak goreng, kelangkaan pun langsung terjadi.
Pengaturan HET beras berdasarkan zonasi. Untuk zona 1 meliputi Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi, HET beras medium Rp10.900/kg sedangkan beras premium Rp13.900/kg.
Sementara itu, untuk zona 2 meliputi Sumatra selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan, HET beras medium Rp11.500/kg dan beras premium Rp14.400/kg. Adapun zona 3 meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium Rp11.800/kg, dan untuk beras premium sebesar Rp14.800/kg.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir menilai, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) belum tentu efektif dalam mengatasi fluktuasi harga beras di tingkat konsumen. Belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi turut berkontribusi terhadap harga beras di pasar, yang biasanya lebih tinggi dari HET.
“Kalau pelaku usaha dipaksa mengikuti HET dengan menekan margin, maka yang akan terjadi adalah tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras," ujar Faisol di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Menurutnya, kondisi itu akan berdampak pula di sektor hulu dengan berkurangnya pendapatan petani gabah. Dampak selanjutnya adalah bukan tidak mungkin penggilingan menengah juga akan berhenti berproduksi.
"Masalah-masalah ini akhirnya akan merusak perdagangan beras di tanah air,” jelasnya.
Faisol melanjutkan, kebijakan ini berpeluang memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Peluang terjadinya percampuran beras kualitas medium dengan beras dengan kualitas lebih rendah pun dapat terjadi sehingga akan merugikan konsumen.
Penetapan harga untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dan GKP di tingkat penggilingan yang sebelumnya sudah dilakukan juga tidak menjamin kestabilan harga karena harga pasar selalu lebih tinggi daripada harga yang diatur oleh pemerintah.
"Adanya kesenjangan harga ini pada akhirnya membuat petani lebih memilih untuk menjual beras kepada pihak swasta yang mau membayar lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan. Penetapan HET di tingkat penjual juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi dari HET," pungkas Faisol.
Kebijakan HET beras bisa jadi akan sama dengan minyak goreng. Ketika HET diberlakukan untuk minyak goreng, kelangkaan pun langsung terjadi.
(uka)