Begini Sepak Terjang Jonan yang Tolak Kereta Cepat, Pernah Berseteru dengan Ahok dan Rusdi Kirana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ignasius Jonan saat ini jadi perbincangan seiring santernya utang China untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dianggap membebani Indonesia. Pasalnya, sikap dan pandangan Jonan yang ketika itu masih menjadi Menteri Perhubungan mengenai kereta cepat dianggap tepat.
Waktu itu Jonan konsisten menolak proyek kereta cepat dengan banyak pertimbangan. Salah satunya adalah kereta cepat dinilai tak akan maksimal lantaran jarak Jakarta-Bandung yang sekitar 150 km masih terlalu dekat untuk kereta dengan kecepatan 300 km per jam.
Sikap penolakan itu masih tetap dipertahankannya ketika Jokowi pada Januari 2016 melakukan groundbreaking proyek presitius itu. Jonan sebagai Menteri Perhubungan yang notabene menjadi penanggung jawab utama sektor perkeretaapian malah tak menghadiri seremonial tersebut.
Sikap itulah yang kemudian disebut-sebut membuat Jonan terpental dari kursi Menteri Perhubungan pada Juli 2016, atau enam bulan usai dirinya melakukan "pembangkangan" terhadap nafsu pemerintah memiliki kereta cepat. Jonan kemudian dilantik menjadi Menteri ESDM pada Oktober 2016.
Mentalnya, Jonan dari posisi Menhub juga dikaitkan dengan peristiwa Brexit (pintol tol keluar Brebes Timur) yang terjadi pada awal Juli 2016 atau saat musim mudik Lebaran. Kemacetan yang terjadi selama beberapa hari itu menelan korbang hingga 17 orang. Mereka yang meninggal bukan karena kecelakaan, tapi lantaran kelelahan akibat macet.
Atas peristiwa itu, Jonan diminta mundur sebagai Menteri Perhubungan. Lantas apa reaksi Jonan soal itu? Jonan geram karena menimpakan kesalahan atas peristiwa itu kepada dirinya semata. Padahal, menurut Jonan, soal peristiwa Brexit juga harus ditanyakan ke Menteri PUPR.
Selama menjabat sebagai Menteri Perhubungan, sikap tegas Jonan tak semata untuk urusan kereta cepat. Pada Januari 2015, Jonan membekukan izin terbang AirAsia rute Surabaya-Singapura. Pembekuan dilakukan karena AirAsia dinilai tidak memiliki izin untuk rute tersebut, termasuk saat pesawat maskapai ini mengalami kecelakaan pada 28 Desember 2014.
Tak cuma AirAsia yang kena. Jonan juga menyetop sementara izin rute baru yang diajukan maskapai Lion Air pada Februari 2015. Keputusan itu setelah mengetahui fakta bahwa selama tiga hari terjadinya keterlambatan sejumlah penerbangan Lion Air tidak memiliki standard operational procedure (SOP) dalam menangani kondisi darurat.
Urusan denagan kedua maskapai itu kembali berlanjut. Pada Mei 2016, Jonan membekukan sementara izin ground handling PT Lion Group dan PT Indonesia AirAsia di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Gara-garanya kedua maskapai itu salah menurunkan penumpang.
Sikap tegas Jonan kepada Lion Air seolah menunjukkan bahwa dirinya tak gentar dengan maskapai itu. Padahal, Lion Air adalah maskapai milik Rusdi Kirana yang pada Januari 2015 dilantik sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Perseteruannya dengan Rusdi Kirana yang paling menghebohkan adalah masalah Bandara Curug dan Bandara Lebak sekitar November 2015. Waktu itu Jonan tegas menolak proposal Grup Lion untuk membangun bandara baru di Lebak, Banten.
Jonan menilai pembangunan bandara baru itu akan mengganggu ruang udara Bandara Budiarto yang sudah beroperasi lama di Curug, Tangerang, Banten. Bandara Budiarto merupakan fasilitas pendidikan dan pelatihan atau laboratorium terbuka yang dikelola oleh STPI-Curug. STPI adalah salah satu perguruan tinggi kedinasan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Selain itu, Jonan juga tegas menolak rekomendasi yang disebut-sebut dari Lion agar Bandara Budiarto ditutup. Menurut Jonan, penutupan Bandara Budiarto baru bisa dilakukan jika Rusdi Kirana menjabat sebagai Menhub.
"Kalau Pak Rusdi Kirana menggantikan saya silakan menutup Bandara Curug. Saya tidak mau suatu hari dianggap sebagai Menteri Perhubungan yang menutup Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI)," katanya waktu itu.
Kontan saja, Rusdi Kirana berang dengan pernyataan itu. Rusdi menganggap Jonan melakukan pencemaran nama baik terkait usulan penutupan Bandara Budiarto. Rusdi Kirana akhirnya men-somasi Jonan. Akhirnya Jonan menyerah. Dia menarik pernyataannya dan sekaligus meminta maaf.
Pada Desember 2015, Jonan juga menerbitkan aturan yang melarang transportasi berbasis online. Jonan berpandangan bahwa transportasi online berbenturan dengan aturan yang ada, salah satunya penggunaan kendaraan pribadi sebagai transportasi umum. Aturan pelarangan itu kemudian dibatalkan oleh Jokowi.
Jonan juga pernah tegas menolak permintaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok soal pengelolaan terminal tipe A di DKI Jakarta sekitar tahun 2016. Penolakan Jonan malah diungkapkan di depan publik, mengenai jawaban atas surat yang dikirimkan Ahok.
"Kemarin Pak Gubernur Jakarta, saya baru baca suratnya, bilang minta semua terminal tipe A di DKI itu, boleh tidak dikelola DKI? Saya langsung perintahkan bikin surat jawaban. Jawabannya enggak boleh," kata Jonan.
"Perseteruan" dengan Ahok tak berhenti sampai di situ. Jonan juga berbeda pandangan dengan Ahok soal proyek LRT. Jonan ingin menggunakan rel dengan lebar 1.067 milimeter (mm). Namun, Ahok menentang keinginan tersebut, dan ingin memakai rel dengan ukuran 1.435 mm yang berstandar internasional. Atas perbedaan itu, Jonan tak meneruskan proyek LRT. Proyek akhir tetap berlanjut setelah Jokowi turun tangan.
Kontroversi Jonan yang juga mencuat adalah sikap militerismenya. Jonan menciptakan seragam Kemenhub yang dinilai seperti tentara, selain karena warna juga tanda pangkat yang menyertai masing-masing jabatan. Jonan sendiri sebagai menteri memiliki pangkat bintang empat, alias setara dengan jenderal yang juga pernah "dipuji" Ahok.
Menempati pos baru sebagai Menteri ESDM, Jonan juga kerap melakukan langkah kontroversial yang membuat publik termehek-mehek. Salah satunya adalah soal kenaikan harga bahan bakar subsidi, saat itu masih Premium.
Awalnya, Jonan menyampaikan bahwa Premium akan naik pada pukul 18.00 WIB, pada Rabu tanggal 10 Oktober 2018. Harga Premium naik menjadi Rp7.000 per liter untuk di daerah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan Rp 6.900 per liter untuk di luar Jamali. Jonan sendiri menyebut bahwa kenaikan itu atas arahan Presiden.
Namun, belum sejam pengumuman kenaikan itu dilakukan, pernyataan Jonan langsung dikoreksi oleh anak buahnya. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyatakan harga premium batal naik berdasarkan arahan Presiden Jokowi.
Waktu itu Jonan konsisten menolak proyek kereta cepat dengan banyak pertimbangan. Salah satunya adalah kereta cepat dinilai tak akan maksimal lantaran jarak Jakarta-Bandung yang sekitar 150 km masih terlalu dekat untuk kereta dengan kecepatan 300 km per jam.
Sikap penolakan itu masih tetap dipertahankannya ketika Jokowi pada Januari 2016 melakukan groundbreaking proyek presitius itu. Jonan sebagai Menteri Perhubungan yang notabene menjadi penanggung jawab utama sektor perkeretaapian malah tak menghadiri seremonial tersebut.
Sikap itulah yang kemudian disebut-sebut membuat Jonan terpental dari kursi Menteri Perhubungan pada Juli 2016, atau enam bulan usai dirinya melakukan "pembangkangan" terhadap nafsu pemerintah memiliki kereta cepat. Jonan kemudian dilantik menjadi Menteri ESDM pada Oktober 2016.
Mentalnya, Jonan dari posisi Menhub juga dikaitkan dengan peristiwa Brexit (pintol tol keluar Brebes Timur) yang terjadi pada awal Juli 2016 atau saat musim mudik Lebaran. Kemacetan yang terjadi selama beberapa hari itu menelan korbang hingga 17 orang. Mereka yang meninggal bukan karena kecelakaan, tapi lantaran kelelahan akibat macet.
Atas peristiwa itu, Jonan diminta mundur sebagai Menteri Perhubungan. Lantas apa reaksi Jonan soal itu? Jonan geram karena menimpakan kesalahan atas peristiwa itu kepada dirinya semata. Padahal, menurut Jonan, soal peristiwa Brexit juga harus ditanyakan ke Menteri PUPR.
Selama menjabat sebagai Menteri Perhubungan, sikap tegas Jonan tak semata untuk urusan kereta cepat. Pada Januari 2015, Jonan membekukan izin terbang AirAsia rute Surabaya-Singapura. Pembekuan dilakukan karena AirAsia dinilai tidak memiliki izin untuk rute tersebut, termasuk saat pesawat maskapai ini mengalami kecelakaan pada 28 Desember 2014.
Tak cuma AirAsia yang kena. Jonan juga menyetop sementara izin rute baru yang diajukan maskapai Lion Air pada Februari 2015. Keputusan itu setelah mengetahui fakta bahwa selama tiga hari terjadinya keterlambatan sejumlah penerbangan Lion Air tidak memiliki standard operational procedure (SOP) dalam menangani kondisi darurat.
Urusan denagan kedua maskapai itu kembali berlanjut. Pada Mei 2016, Jonan membekukan sementara izin ground handling PT Lion Group dan PT Indonesia AirAsia di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Gara-garanya kedua maskapai itu salah menurunkan penumpang.
Sikap tegas Jonan kepada Lion Air seolah menunjukkan bahwa dirinya tak gentar dengan maskapai itu. Padahal, Lion Air adalah maskapai milik Rusdi Kirana yang pada Januari 2015 dilantik sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Perseteruannya dengan Rusdi Kirana yang paling menghebohkan adalah masalah Bandara Curug dan Bandara Lebak sekitar November 2015. Waktu itu Jonan tegas menolak proposal Grup Lion untuk membangun bandara baru di Lebak, Banten.
Jonan menilai pembangunan bandara baru itu akan mengganggu ruang udara Bandara Budiarto yang sudah beroperasi lama di Curug, Tangerang, Banten. Bandara Budiarto merupakan fasilitas pendidikan dan pelatihan atau laboratorium terbuka yang dikelola oleh STPI-Curug. STPI adalah salah satu perguruan tinggi kedinasan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Selain itu, Jonan juga tegas menolak rekomendasi yang disebut-sebut dari Lion agar Bandara Budiarto ditutup. Menurut Jonan, penutupan Bandara Budiarto baru bisa dilakukan jika Rusdi Kirana menjabat sebagai Menhub.
"Kalau Pak Rusdi Kirana menggantikan saya silakan menutup Bandara Curug. Saya tidak mau suatu hari dianggap sebagai Menteri Perhubungan yang menutup Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI)," katanya waktu itu.
Kontan saja, Rusdi Kirana berang dengan pernyataan itu. Rusdi menganggap Jonan melakukan pencemaran nama baik terkait usulan penutupan Bandara Budiarto. Rusdi Kirana akhirnya men-somasi Jonan. Akhirnya Jonan menyerah. Dia menarik pernyataannya dan sekaligus meminta maaf.
Pada Desember 2015, Jonan juga menerbitkan aturan yang melarang transportasi berbasis online. Jonan berpandangan bahwa transportasi online berbenturan dengan aturan yang ada, salah satunya penggunaan kendaraan pribadi sebagai transportasi umum. Aturan pelarangan itu kemudian dibatalkan oleh Jokowi.
Jonan juga pernah tegas menolak permintaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok soal pengelolaan terminal tipe A di DKI Jakarta sekitar tahun 2016. Penolakan Jonan malah diungkapkan di depan publik, mengenai jawaban atas surat yang dikirimkan Ahok.
"Kemarin Pak Gubernur Jakarta, saya baru baca suratnya, bilang minta semua terminal tipe A di DKI itu, boleh tidak dikelola DKI? Saya langsung perintahkan bikin surat jawaban. Jawabannya enggak boleh," kata Jonan.
"Perseteruan" dengan Ahok tak berhenti sampai di situ. Jonan juga berbeda pandangan dengan Ahok soal proyek LRT. Jonan ingin menggunakan rel dengan lebar 1.067 milimeter (mm). Namun, Ahok menentang keinginan tersebut, dan ingin memakai rel dengan ukuran 1.435 mm yang berstandar internasional. Atas perbedaan itu, Jonan tak meneruskan proyek LRT. Proyek akhir tetap berlanjut setelah Jokowi turun tangan.
Kontroversi Jonan yang juga mencuat adalah sikap militerismenya. Jonan menciptakan seragam Kemenhub yang dinilai seperti tentara, selain karena warna juga tanda pangkat yang menyertai masing-masing jabatan. Jonan sendiri sebagai menteri memiliki pangkat bintang empat, alias setara dengan jenderal yang juga pernah "dipuji" Ahok.
Menempati pos baru sebagai Menteri ESDM, Jonan juga kerap melakukan langkah kontroversial yang membuat publik termehek-mehek. Salah satunya adalah soal kenaikan harga bahan bakar subsidi, saat itu masih Premium.
Awalnya, Jonan menyampaikan bahwa Premium akan naik pada pukul 18.00 WIB, pada Rabu tanggal 10 Oktober 2018. Harga Premium naik menjadi Rp7.000 per liter untuk di daerah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan Rp 6.900 per liter untuk di luar Jamali. Jonan sendiri menyebut bahwa kenaikan itu atas arahan Presiden.
Namun, belum sejam pengumuman kenaikan itu dilakukan, pernyataan Jonan langsung dikoreksi oleh anak buahnya. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyatakan harga premium batal naik berdasarkan arahan Presiden Jokowi.
(uka)