Tjio Wie Tay Pendiri Gunung Agung yang Sukses Berkat Keberanian dan Pesan Bung Karno
loading...
A
A
A
Ketika berdagangan rokok, pergaulannya menjadi bertambah luas. Wie Tay mengetahui ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Setelah membuka kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Di sinilah dia berkenalan dengan The Kie Hoat, pekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San.
Singkat cerita, ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie. Ini adalah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku.
Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Usai menikahi Hian Nio pada 13 Mei 1951, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Namun Lie Tay San keberatan, dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).
Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jl. Kwitang No 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta.
Suatu ketika, Tjio Wie Tay harus mencari nama untuk toko barunya. Nama toko baru itu muncul dari terjemahan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tetapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung.
Pelan tapi pasti, Toko Gunung Agung terus membesar. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para orang dalam tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.
Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung--yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay.
Pameran buku itu menjadi jalan Wie Tay berkenalan dengan tokoh kebangsaan yang diidolakan, Bung Karno dan Bung Hatta pada 1954. Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama.
Singkat cerita, ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie. Ini adalah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku.
Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Usai menikahi Hian Nio pada 13 Mei 1951, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Namun Lie Tay San keberatan, dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).
Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jl. Kwitang No 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta.
Suatu ketika, Tjio Wie Tay harus mencari nama untuk toko barunya. Nama toko baru itu muncul dari terjemahan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tetapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung.
Pelan tapi pasti, Toko Gunung Agung terus membesar. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para orang dalam tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.
Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung--yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay.
Pameran buku itu menjadi jalan Wie Tay berkenalan dengan tokoh kebangsaan yang diidolakan, Bung Karno dan Bung Hatta pada 1954. Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama.