Transformasi Bisnis Tidak Mudah, Simak Resep dari Bos Great Giant Foods
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banyaknya disrupsi membuat perusahaan harus bertransformasi agar tetap berdaya saing dan berkelanjutan. Pemimpin memegang peran kunci dalam sukses atau tidaknya transformasi di sebuah perusahaan.
Seiring dinamika lingkungan bisnis, fokus pada cara kerja baru, kemampuan baru, dan teknologi baru adalah suatu keharusan bagi perusahaan untuk bisa melangkah ke depan. Namun, disadari transformasi tidak mudah dilakukan dengan benar.
Penelitian McKinsey menyebutkan bahwa transformasi di seluruh perusahaan itu sulit, di mana kurang dari sepertiga transformasi mencapai tujuannya untuk meningkatkan kinerja organisasi dan mempertahankan peningkatan ini dari waktu ke waktu.
Temuan lainnya adalah bahwasanya dari sekian banyaknya perusahaan yang melakukan transformasi, hanya sekitar 20% yang berhasil.
Sulitnya melakukan transformasi diakui oleh Tommy Wattimena, President Director Great Giant Foods (GGF) yang bergerak di bidang produksi dan distribusi bahan pangan, utamanya buah hingga ternak.
Menurut Tommy, banyak perusahaan yang menjalankan transformasi namun pada kenyataannya hanya sekadar jargon.
“Transformasi sangat sulit karena harus melakukan lima elemen,” ujarnya dalam paparannya bertajuk “Transformational Leadership” pada CEO Speaks Binus Business School, yang digelar secara hybrid, Rabu (21/6/2023).
Tommy yang telah memiliki jam terbang cukup lama di sejumlah perusahaan ternama itu lantas menjabarkan lima hal tersebut. Pertama, kejelasan visi dan strategi.
“Jadi, mau dibawa ke mana perusahaan ini? Kita sering melihat perusahaan yang visi misinya hanya ingin jadi nomor satu, the best, tapi nggak jelas (arahnya). Purpose-nya apa?” tukas praktisi big data marketing itu.
Menyoal purpose atau tujuan, Tommy juga menyinggung ihwal Gen Z yang punya karakter tersendiri dibanding generasi-generasi sebelumnya. Mereka cenderung lebih demanding alias banyak permintaannya dan lebih kritis.
Sebagaimana ramai diperbincangkan, Gen Z dalam mencari pekerjaan tak semata melihat besaran gaji tapi juga yang membuat mereka bisa hidup seimbang atau worklife balance. Terkait hal ini, isu mental health pun sempat mengemuka.
Berdasarkan pengalaman dalam merekrut pekerja, Tommy bilang, Gen Z juga menaruh perhatian pada perusahaan yang punya purpose, tidak sekadar cari cuan.
“Anak-anak sekarang demand (penuntut), mereka pasti nanya ini perusahaan apa? bisnis kalian buat apa? kalau cari duit saja, nggga tertarik. Talent-talent yang pintar sudah pasti nggak mau uang, anak muda ingin kontribusi yang positif,” tuturnya.
“Makanya setelah kami mengubah misi menjadi lebih purposeful, jumlah pelamar (anak muda) membludak. Tiba-tiba menjadi green itu keren,” tambah Tommy.
Dia pun menekankan bahwa bisnis hari ini dan di kemudian hari harus punya produk yang bagus, pembeda atau keunikan yang bagus, pengalaman offline dan online yang bagus serta harus punya purpose.
Tommy melanjutkan, elemen kedua yang jadi kunci dari transformasi adalah kepemimpinan (leadership). Dalam hal ini, harus ada kekompakan dan keselarasan antara pemimpin dengan tim dalam mencapai tujuan ataupun strategi yang telah ditetapkan.
“Seluruh direksi dan tim harus sepakat mau ke sana (tujuan/visi misi), harus bersatu,” tandasnya. Selain itu, sambung dia, harus ada engagement atau interaksi dan diskusi antara atasan dan bawahan.
“Kalau nggak, ibaratnya kita dalam satu kapal tapi mau ke mana nih? Bingung. Akan terjadi banyak proyek yang nggak jelas, buang-buang energi, nggak fokus, purposenya juga nggak jelas,” bebernya.
Kunci ketiga, sambung Tommy, adalah adanya faktor pembeda atau keunikan yang menjadikan bisnis atau produk lebih unggul dari pesaing.
“Ini paling susah dijawab: apa bedanya kita dengan tetangga sebelah? Secara esensi produknya sama, lalu bedanya apa?” tukasnya.
Dia menegaskan, dalam membangun model bisnis, pengusaha tidak hanya menciptakan daya saing dan produk berkualitas, melainkan juga diferensiasi.
Tommy menyontohkan produk cold pressed juice ReJuve milik GGF dipastikan berbeda dan bisa menang dari para pesaing yang bermunculan karena buah nanas menjadi komponen bahan dasar yang utama, di mana GGF sendiri diketahui memiliki perkebunan nanas dan menjadi produsen serta eksportir terbesar nanas kalengan.
Kemudian, dia menyebutkan elemen kunci keempat dan kelima adalah operasional bisnis serta sumber daya manusia (SDM) dan budaya organisasi.
“Untuk elemen kunci keempat dan kelima ini kita bisa kelola bisnis kita berdasarkan poin kedua dan ketiga tadi. Sederhana tapi susah diterapkan,” ujarnya.
Meski begitu, dia harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan semua jabatan tinggi tersebut. Saat masih muda, pria asal Surabaya ini selalu kesulitan mendapatkan nilai yang bagus di sekolah, dan juga pernah dikirim ke sekolah asrama supaya lebih disiplin.
Tommy pun menyadari pentingnya rajin belajar saat duduk di bangku kelas 2 SMA, dan akhirnya dia berhasil menjadi mahasiswa Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia.
Lantaran keterbatasan finansial, dia terpaksa membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan paruh waktu sebagai janitor, pelayan restoran, dan juru masak demi memenuhi kebutuhan di luar negeri.
Namun, usaha Tommy yang dimulai dari bawah justru mengajarkannya bahwa sifat rendah hati, gigih, dan mudah bergaul adalah modal penting di dunia kerja, bahkan saat sudah menjadi pemimpin.
Contohnya, saat didapuk untuk memimpin PT Sreeya, perusahaan pangan berbasis unggas, Tommy awalnya dihadapkan pada kondisi sulit.
"Waktu saya masuk itu perusahaan dalam kondisi tidak baik, rugi sekitar Rp330 miliar. Saya diberi tahu tiga bulan lagi perusahaan sudah tidak punya duit untuk bayar gaji," ungkapnya.
Bagi Tommy yang sebelumnya tidak punya pengalaman berbisnis produk ayam, situasi yang dihadapinya ini menjadi semacam uji nyali. Di sisi lain, dia harus putar otak dan cepat melakukan transformasi.
Jurus transformasi ala "ketok magic" itu membuahkan hasil. Di bawah kepemimpinan Tommy, PT Sreeya dikenal sebagai perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang sangat signifikan pada 2020 ketika hampir semua industri terdampak oleh pembatasan kegiatan saat pandemi.
Tommy menambahkan, perusahaan harus mengutamakan tiga hal yakni pegawai, operasional, dan arus kas. Namun, pemimpin mana pun sebaiknya menerapkan prinsip “people first”, atau mengutamakan kesejahteraan pekerja terlebih dahulu.
Saat masih menjabat sebagai CEO Sreeya, dia mengizinkan semua pegawai bekerja dari rumah agar terhindar dari infeksi Covid-19 dan selalu memastikan kondisi mereka tetap prima.
Prinsip itulah yang juga menjadi salah satu pondasi leadership Tommy di GGF. Selain rutin memotivasi para pegawai agar semangat bekerja, penerapan “people first” juga berlaku dalam strategi GGF menjangkau pelanggan.
Tommy juga memahami bahwa generasi muda menginginkan perusahaan yang terbuka mengenai praktik sustainability mereka dan menawarkan opsi transaksi digital, sehingga strategi beliau berupaya memenuhi kedua kebutuhan tersebut.
Hasilnya, GGF dapat meningkatkan produktivitas per hektare lahan sebanyak 50% dan berhasil meraih penghargaan “Best Managed Companies” dari Deloitte pada tahun 2021.
Keberhasilan Tommy membalikkan keadaan sebuah perusahaan yang nyaris terpuruk dan mengembangkannya hingga sukses, tentu bisa menjadi pembelajaran berharga bagi banyak orang, termasuk kalangan mahasiswa.
Melalui ajang CEO Speaks, Binus Business School ingin para mahasiswa jurusan bisnis dapat memetik ilmu dari kisah hidup para pemimpin bisnis seperti Tommy sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk berkarier kelak.
Dengan kata lain, mencapai posisi tinggi dari nol bukanlah hal mustahil dan Tommy telah membuktikannya. Tak hanya itu, ajang tersebut diharapkan dapat menjadi sarana bagi para calon pemimpin muda untuk memperluas jejaring dan koneksi yang kelak berguna untuk mengembangkan karier.
Seiring dinamika lingkungan bisnis, fokus pada cara kerja baru, kemampuan baru, dan teknologi baru adalah suatu keharusan bagi perusahaan untuk bisa melangkah ke depan. Namun, disadari transformasi tidak mudah dilakukan dengan benar.
Penelitian McKinsey menyebutkan bahwa transformasi di seluruh perusahaan itu sulit, di mana kurang dari sepertiga transformasi mencapai tujuannya untuk meningkatkan kinerja organisasi dan mempertahankan peningkatan ini dari waktu ke waktu.
Temuan lainnya adalah bahwasanya dari sekian banyaknya perusahaan yang melakukan transformasi, hanya sekitar 20% yang berhasil.
Sulitnya melakukan transformasi diakui oleh Tommy Wattimena, President Director Great Giant Foods (GGF) yang bergerak di bidang produksi dan distribusi bahan pangan, utamanya buah hingga ternak.
Menurut Tommy, banyak perusahaan yang menjalankan transformasi namun pada kenyataannya hanya sekadar jargon.
“Transformasi sangat sulit karena harus melakukan lima elemen,” ujarnya dalam paparannya bertajuk “Transformational Leadership” pada CEO Speaks Binus Business School, yang digelar secara hybrid, Rabu (21/6/2023).
Tommy yang telah memiliki jam terbang cukup lama di sejumlah perusahaan ternama itu lantas menjabarkan lima hal tersebut. Pertama, kejelasan visi dan strategi.
“Jadi, mau dibawa ke mana perusahaan ini? Kita sering melihat perusahaan yang visi misinya hanya ingin jadi nomor satu, the best, tapi nggak jelas (arahnya). Purpose-nya apa?” tukas praktisi big data marketing itu.
Menyoal purpose atau tujuan, Tommy juga menyinggung ihwal Gen Z yang punya karakter tersendiri dibanding generasi-generasi sebelumnya. Mereka cenderung lebih demanding alias banyak permintaannya dan lebih kritis.
Sebagaimana ramai diperbincangkan, Gen Z dalam mencari pekerjaan tak semata melihat besaran gaji tapi juga yang membuat mereka bisa hidup seimbang atau worklife balance. Terkait hal ini, isu mental health pun sempat mengemuka.
Berdasarkan pengalaman dalam merekrut pekerja, Tommy bilang, Gen Z juga menaruh perhatian pada perusahaan yang punya purpose, tidak sekadar cari cuan.
“Anak-anak sekarang demand (penuntut), mereka pasti nanya ini perusahaan apa? bisnis kalian buat apa? kalau cari duit saja, nggga tertarik. Talent-talent yang pintar sudah pasti nggak mau uang, anak muda ingin kontribusi yang positif,” tuturnya.
“Makanya setelah kami mengubah misi menjadi lebih purposeful, jumlah pelamar (anak muda) membludak. Tiba-tiba menjadi green itu keren,” tambah Tommy.
Dia pun menekankan bahwa bisnis hari ini dan di kemudian hari harus punya produk yang bagus, pembeda atau keunikan yang bagus, pengalaman offline dan online yang bagus serta harus punya purpose.
Tommy melanjutkan, elemen kedua yang jadi kunci dari transformasi adalah kepemimpinan (leadership). Dalam hal ini, harus ada kekompakan dan keselarasan antara pemimpin dengan tim dalam mencapai tujuan ataupun strategi yang telah ditetapkan.
“Seluruh direksi dan tim harus sepakat mau ke sana (tujuan/visi misi), harus bersatu,” tandasnya. Selain itu, sambung dia, harus ada engagement atau interaksi dan diskusi antara atasan dan bawahan.
“Kalau nggak, ibaratnya kita dalam satu kapal tapi mau ke mana nih? Bingung. Akan terjadi banyak proyek yang nggak jelas, buang-buang energi, nggak fokus, purposenya juga nggak jelas,” bebernya.
Kunci ketiga, sambung Tommy, adalah adanya faktor pembeda atau keunikan yang menjadikan bisnis atau produk lebih unggul dari pesaing.
“Ini paling susah dijawab: apa bedanya kita dengan tetangga sebelah? Secara esensi produknya sama, lalu bedanya apa?” tukasnya.
Dia menegaskan, dalam membangun model bisnis, pengusaha tidak hanya menciptakan daya saing dan produk berkualitas, melainkan juga diferensiasi.
Tommy menyontohkan produk cold pressed juice ReJuve milik GGF dipastikan berbeda dan bisa menang dari para pesaing yang bermunculan karena buah nanas menjadi komponen bahan dasar yang utama, di mana GGF sendiri diketahui memiliki perkebunan nanas dan menjadi produsen serta eksportir terbesar nanas kalengan.
Kemudian, dia menyebutkan elemen kunci keempat dan kelima adalah operasional bisnis serta sumber daya manusia (SDM) dan budaya organisasi.
“Untuk elemen kunci keempat dan kelima ini kita bisa kelola bisnis kita berdasarkan poin kedua dan ketiga tadi. Sederhana tapi susah diterapkan,” ujarnya.
Selamatkan Perusahaan dengan Jurus Transformasi"Ketok Magic"
Sebelum menjabat pucuk pimpinan di GGF, Tommy diketahui memiliki jam terbang cukup lama sebagai VP termuda dari Unilever Asia Pasifik, Senior Vice President divisi Brand & Consumer Acquisition PT XL Axiata, CEO divisi Consumer Group and Distribution PT Sinarmas, dan CEO dari PT Sreeya.Meski begitu, dia harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan semua jabatan tinggi tersebut. Saat masih muda, pria asal Surabaya ini selalu kesulitan mendapatkan nilai yang bagus di sekolah, dan juga pernah dikirim ke sekolah asrama supaya lebih disiplin.
Tommy pun menyadari pentingnya rajin belajar saat duduk di bangku kelas 2 SMA, dan akhirnya dia berhasil menjadi mahasiswa Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia.
Lantaran keterbatasan finansial, dia terpaksa membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan paruh waktu sebagai janitor, pelayan restoran, dan juru masak demi memenuhi kebutuhan di luar negeri.
Namun, usaha Tommy yang dimulai dari bawah justru mengajarkannya bahwa sifat rendah hati, gigih, dan mudah bergaul adalah modal penting di dunia kerja, bahkan saat sudah menjadi pemimpin.
Contohnya, saat didapuk untuk memimpin PT Sreeya, perusahaan pangan berbasis unggas, Tommy awalnya dihadapkan pada kondisi sulit.
"Waktu saya masuk itu perusahaan dalam kondisi tidak baik, rugi sekitar Rp330 miliar. Saya diberi tahu tiga bulan lagi perusahaan sudah tidak punya duit untuk bayar gaji," ungkapnya.
Bagi Tommy yang sebelumnya tidak punya pengalaman berbisnis produk ayam, situasi yang dihadapinya ini menjadi semacam uji nyali. Di sisi lain, dia harus putar otak dan cepat melakukan transformasi.
Jurus transformasi ala "ketok magic" itu membuahkan hasil. Di bawah kepemimpinan Tommy, PT Sreeya dikenal sebagai perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang sangat signifikan pada 2020 ketika hampir semua industri terdampak oleh pembatasan kegiatan saat pandemi.
Tommy menambahkan, perusahaan harus mengutamakan tiga hal yakni pegawai, operasional, dan arus kas. Namun, pemimpin mana pun sebaiknya menerapkan prinsip “people first”, atau mengutamakan kesejahteraan pekerja terlebih dahulu.
Saat masih menjabat sebagai CEO Sreeya, dia mengizinkan semua pegawai bekerja dari rumah agar terhindar dari infeksi Covid-19 dan selalu memastikan kondisi mereka tetap prima.
Prinsip itulah yang juga menjadi salah satu pondasi leadership Tommy di GGF. Selain rutin memotivasi para pegawai agar semangat bekerja, penerapan “people first” juga berlaku dalam strategi GGF menjangkau pelanggan.
Tommy juga memahami bahwa generasi muda menginginkan perusahaan yang terbuka mengenai praktik sustainability mereka dan menawarkan opsi transaksi digital, sehingga strategi beliau berupaya memenuhi kedua kebutuhan tersebut.
Hasilnya, GGF dapat meningkatkan produktivitas per hektare lahan sebanyak 50% dan berhasil meraih penghargaan “Best Managed Companies” dari Deloitte pada tahun 2021.
Keberhasilan Tommy membalikkan keadaan sebuah perusahaan yang nyaris terpuruk dan mengembangkannya hingga sukses, tentu bisa menjadi pembelajaran berharga bagi banyak orang, termasuk kalangan mahasiswa.
Melalui ajang CEO Speaks, Binus Business School ingin para mahasiswa jurusan bisnis dapat memetik ilmu dari kisah hidup para pemimpin bisnis seperti Tommy sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk berkarier kelak.
Dengan kata lain, mencapai posisi tinggi dari nol bukanlah hal mustahil dan Tommy telah membuktikannya. Tak hanya itu, ajang tersebut diharapkan dapat menjadi sarana bagi para calon pemimpin muda untuk memperluas jejaring dan koneksi yang kelak berguna untuk mengembangkan karier.
(ind)