Mumpung Harga Minyak Rendah, Premium Disarankan Dihapus

Kamis, 30 Juli 2020 - 13:31 WIB
loading...
Mumpung Harga Minyak...
BBM jenis premium yang beroktan rendah dan kurang ramah lingkungan dinilai sudah saatnya dikurangi atau bahkan dihapus penggunaannya. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Indonesia menjadi salah satu negara yang sudah berkomitmen untuk menekan emisi karbon dalam Perjanjian Paris Tahun 2015. Namun, faktanya di dalam negeri, bahan bakar minyak (BBM) dengan bilangan oktan (RON) rendah, seperti premium, saat ini masih digunakan oleh masyarakat sehari-hari.

BBM dengan RON rendah seperti premium diketahui kurang ramah lingkungan karena pembakarannya di mesin kendaraan tidak sempurna, sehingga emisi yang dihasilkan lebih tinggi. Selain tak ramah lingkungan , BBM ini juga buruk bagi mesin kendaraan. Karena itu, di negara-negara maju BBM beroktan rendah sudah tak lagi digunakan.

Berdasarkan fakta tersebut, Guru Besar Universitas Indonesia (UI) yang juga Rektor IT PLN Iwa Garniwa mendorong pemerintah untuk menghapus BBM RON rendah di dalam negeri. Dia menilai, saat ini adalah momen yang tepat dengan relatif rendahnya harga minyak mentah.

"Menurut saya sekarang inilah saatnya, tapi digantikan dengan nama, misalnya premium ramah lingkungan, dengan harga yang tidak berubah mengingat harga minyak dunia juga sedang turun. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk mengubah konsumsi BBM-nya ke BBM yang lebih ramah lingkungan," ujar Iwa kepada media, Kamis (30/7/2020).

(Baca Juga: Tak Ikuti Tren Global, RI Harusnya Tinggalkan BBM Oktan Rendah)

Iwa mengingatkan, dampak buruk penggunaan BBM RON rendah selama ini diasumsikan tidak terlalu terlihat pada kendaraan dengan teknologi lama yang masih banyak beredar di Indonesia. Namun, imbuh dia, hal ini akan menambah polusi udara, khususnya di perkotaan. Persoalan polusi akibat gas buang kendaraan ini akan menjadi bom waktu di masa depan, sehingga perlu diambil kebijakan radikal.

Adanya Permen LHK No 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, yang mensyaratkan standar emisi EURO 4, kata dia, menjadi peluang untuk memaksa diterapkannya penggunaan BBM RON tinggi, meski tidak di semua daerah mengingat adanya persoalan daya beli yang berbeda.

"Kita tahu di Indonesia lebih dari 400 kota/kabupaten yang sangat beragam kondisinya. Ada daerah yang memiliki daya beli tinggi, ada yang rendah, juga intensitas masing-masing wilayah berbeda untuk penggunaan bahan bakar. Sehingga, kalaupun diterapkan kebijakan RON tinggi, tetap diperlukan klasterisasi daerah, terutama di kota-kota besar," ujar Iwa.

Ia mengatakan, Indonesia memang termasuk salah satu negara yang masih menggunakan BBM RON rendah yang sejak lama sudah ditinggalkan sejumlah negara lain. Di sisi lain, kata dia, persoalan BBM ini juga harus dipahami sebagai bagian dari perkembangan taraf hidup masyarakat.

Menurutnya, jika taraf hidup masyarakat makin tinggi, pendidikan makin tinggi, maka kesadaran untuk menggunakan BBM beroktan tinggi juga akan tumbuh dengan sendirinya. Namun, imbuh dia, masyarakat Indonesia juga perlu terus diarahkan dan diedukasi terkait persoalan ini.

(Baca Juga: Pejabat Pertamina Sebut Penggunaan BBM Premium Banyak Ruginya)

"Sehingga dorongan pemerintah agar masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan juga terus dilakukan. Dorongan ini tidak cukup hanya dengan imbauan sesaat, tapi harus terus-menerus, menggunakan jaringan medsos yang ada dan pemerintah mempunyai perangkatnya," papar Iwa.

Terpisah, Ekonom Piter Abdullah mengatakan, untuk mengurangi emisi karbon, kebijakan penghapusan BBM RON rendah seperti premium bisa ditempuh dan akan berujung pada berkurangnya beban subsidi di APBN. Pilihan ini, kata dia, secara finansial amat bagus karena mengurangi beban APBN. Namun di sisi lain, hal ini diakuinya rawan secara politik, karena akan memunculkan gelombang penolakan.

Pilihan kedua, kata dia, adalah mengurangi atau menghilangkan premium, namun subsidi BBM kemudian diberikan untuk pertalite, produk BBM lain yang lebih ramah lingkungan. Pilihan ini menyenangkan masyarakat, tetapi akan berdampak lonjakan subsidi yang sudah pasti membebani APBN. "Dua pilihan ini tidak mudah, dan bisa dinilai sebagai status quo," cetusnya.

Terlebih Karena di tengah pandemi, Piter menegaskan diperlukan kehati-hatian dalam mengambil kebijakan terkait BBM, karena melibatkan faktor daya beli. "Apalagi fokus pemerintah mengatasi wabah Covid-19 menyelamatkan masyarakat dan dunia usaha yang terdampak. Mengurangi subsidi tak produktif memang tetap harus dipertimbangkan, namun perlu perencanaan jangka panjang dan tidak mendadak, terutama di saat pandemi masih ada," tandasnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1853 seconds (0.1#10.140)