Tak Ada Habisnya Dengan Influencer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Hidup adalah lakon ajaib dan menyimpan misteri. Paling tidak, itulah yang dirasakan para penggemar artis pop Korea Selatan, Jungkook BTS . Pasalnya, produk susu UHT Indomilk rasa pisang yang biasa dibanderol produsen seharga Rp3.800 – Rp4.800 di berbagai gerai, setelah ditampilkan di twitter pesohor ini, harganya melonjak drastis jadi Rp100.000. Sebuah lonjakan irasional yang ternyata tak surutkan minat calon pembelinya.
Melihat peluang ini, tak heran ada yang nekad adu peruntungan, pasang harga sampai Rp10 Juta di lapak online. Harga Rp10 juta untuk sekotak susu UHT, yang bahkan hitungan isinyapun tak sampai 1 liter. Tentu suatu rangkaian anomali yang mengundang decak kagum dan keheranan. Jagad digital menjadikan topik Indomilk rasa pisang ini viral beberapa saat (SINDOnews, 30 Juli 2020). (Baca: Viral Harga Susu Indomilk Rasa Pisang Melangit Hingga Rp10 Juta, Cek Faktanya! )
Jika memang kolaborasi strategis yang terjadi antara Sang Pesohor dengan perusahaan susu UHT produsennya, entah berapa bagian yang bakal diterima Jungkook dan BTS. Sihir dunia digital bekerja penuh. Ia beroperasi dengan memadukan reputasi pesohor, yang menjalar lewat gulungan emosi army, julukan untuk penggemar BTS.
Munculnya minat irasional yang tak selalu bisa dijelaskan lewat bahasa ini, jadi barang lumrah di jagad digital. Gampangnya memperoleh rejeki berlimpah dengan andalkan reputasi, bukan lagi barang langka. Jungkook dan Indomilk bukan fenomena yang pertama, dan nampak belum bakal jadi yang terakhir.
Terhadap kenyataan ini, selain beberapa bahasan sejenis yang pernah saya urai pada tulisan sebelumnya, misalnya yang membahas soal fenomena kolaborasi strategis pada brand Supreme, Harikrishna Kundariya, 2020, dalam uraiannya How to Leverage Influencer Marketing for Boosting Ecommerce Sales in 2020? menyebut, media sosial tidak lagi hanya cara untuk terhubung dengan orang-orang tetapi juga cara untuk memasarkan bisnis dan menawarkannya ke seluruh dunia. (Baca juga: Mengapa Harga Oreo Supreme Mahal dan Bagaimana Rasanya? )
Ketika sejumlah besar orang bergabung dengan saluran media sosial seperti Facebook, Instagram, LinkedIn, dll, beberapa dari mereka mulai memengaruhi orang lain dengan membuat, menyusun, serta berbagi cerita, foto, dan video mereka sendiri. Memanfaatkan influencer sebagai upaya mendongkrak kinerja penjualan, bukan tindakan tabu. Hanya catatannya, memanfaatkan influencer untuk mendorong kinerja penjualan di jagad digital, sama sekali bukan kerja ajaib seajaib hasilnya.
Ada strategi dan taktik yang harus diperhatikan. Itu terurai dalam pernyataan Kundariya berikutnya. Ketika terlibat dengan influencer dan lazimnya produsen mengkompensasi dengan sejumlah pembayaran tertentu, justru yang sering diperoleh pernyataan yang bias dari influencer. Padahal yang diharapkan calon pembeli, ulasan yang jujur.
Maka melakukan dengan cara yang benar, meminta influencer menandai keunggulan dan kelemahan suatu produk, justru menghadirkan nuansa kejujuran di benak calon pembeli, yang juga para penggemar influencer. Dengan cara ini, keterusterangan tanpa jarak terlihat jelas. Ulasan yang mengetengahkan kelemahan produk justru dimaknai sebagai, “memang tak ada brand yang sempurna”.
Nampaknya mekanisme itulah yang senyatanya terjadi antara Indomilk UHT dengan Jungkook. Manajemen PT Indolakto, anak usaha PT Indofood CPB yang memproduksi Indomilk, menampik adanya kolaborasi. Menampilkan dan mengulas produk, sepenuhnya kemauan Jungkook. Maka tak heran jika nuansa ketulusannya benar-benar tampil dan menjalar di tengah jejaring army. Harga terdongkrak hingga ribuan kali lipat, benar-benar representasi kekaguman para penggemar. Indomilk UHT tinggal menikmati berkahnya. (Baca juga: V BTS Pilih Tingkatkan Kemampuan Intelektual ketika Senggang )
Walaupun demikian, produsen menepis jika bakal terjadi perebutan produk di pasaran. Jalaran emosi yang inginkan produk terantisipasi oleh kecukupan persediaan. Kelangkaan produk tak bakal terjadi.
Dalam penjelasan yang lain, dan sering dibahas dalam kajian Ilmu Komunikasi, influencer punya posisi mendekatkan jarak antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, berkurangnya jarak terjadi oleh fungsi katalisator influencer. Ia berposisi tepat, antara komunikator dengan influencer dan influencer dengan khalayak.
Katalisator bekerja meminimalkan perbedaan perilaku komunikasi, pengalaman maupun pengetahuan yang sangat beda antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Influencer ada di tengahnya, meniadakan jarak. Akibat posisinya yang istimewa ini, influencer kemudian sering dimanfaatkan untuk hal-hal di luar tujuan komunikasi belaka.
Keistimewaan posisi influencer sering digunakan untuk membangun trust. Ini terjadi misalnya pada transaksi tanpa tatap muka, berbasis online. Fenomena yang cukup sering terjadi, termasuk tujuan pemanfaatan influencer, untuk mempengaruhi penjualan barang yang tak jelas status legalitasnya. Kata kunci menghadirkan trust antara penjual dengan calon pembeli, benar-benar bermanfaat untuk konteks ini. (Baca juga: Dua Influencer Cantik Asal Mesir Divonis Penjara 2 Tahun )
Benar jadi masalah ketika yang ditransaksikan dengan memanfaatkan influencer, status barangnya illegal. Ada tanggung jawab etis bahkan hukum yang mengintai Sang Pesohor. Saat relasi saling percaya yang jadi dasar pembelian tercederai, setidaknya persoalan etis terlanggar.
Dalam uraian Kundariya di atas, bahkan memberikan ulasan yang berlebihan pada suatu produk sudah merupakan tindakan bias influencer. Maka bagaimana posisinya dengan influencer yang mempromosikan produk illegal? Influencer harus menolak mempromosikannya. Saat terima tawaran promosikan barang, influencer punya kewajiban moral tahu status legalitas barang. Reputasi yang bakal tergerus di hadapan penggemar, jadi taruhannya.
Di sisi lain pula, calon pembeli tetap harus waspada. Sedekat apapun hubungannya dengan influencer, sekagum apapun terhadap tersohornya influencer, adanya tawaran yang tak wajar baik jenis maupun harganya, harus rasional proporsional. Tak serta merta percaya dan membeli, alih-alih dituduh terlibat jaringan jual beli barang illegal.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Hidup adalah lakon ajaib dan menyimpan misteri. Paling tidak, itulah yang dirasakan para penggemar artis pop Korea Selatan, Jungkook BTS . Pasalnya, produk susu UHT Indomilk rasa pisang yang biasa dibanderol produsen seharga Rp3.800 – Rp4.800 di berbagai gerai, setelah ditampilkan di twitter pesohor ini, harganya melonjak drastis jadi Rp100.000. Sebuah lonjakan irasional yang ternyata tak surutkan minat calon pembelinya.
Melihat peluang ini, tak heran ada yang nekad adu peruntungan, pasang harga sampai Rp10 Juta di lapak online. Harga Rp10 juta untuk sekotak susu UHT, yang bahkan hitungan isinyapun tak sampai 1 liter. Tentu suatu rangkaian anomali yang mengundang decak kagum dan keheranan. Jagad digital menjadikan topik Indomilk rasa pisang ini viral beberapa saat (SINDOnews, 30 Juli 2020). (Baca: Viral Harga Susu Indomilk Rasa Pisang Melangit Hingga Rp10 Juta, Cek Faktanya! )
Jika memang kolaborasi strategis yang terjadi antara Sang Pesohor dengan perusahaan susu UHT produsennya, entah berapa bagian yang bakal diterima Jungkook dan BTS. Sihir dunia digital bekerja penuh. Ia beroperasi dengan memadukan reputasi pesohor, yang menjalar lewat gulungan emosi army, julukan untuk penggemar BTS.
Munculnya minat irasional yang tak selalu bisa dijelaskan lewat bahasa ini, jadi barang lumrah di jagad digital. Gampangnya memperoleh rejeki berlimpah dengan andalkan reputasi, bukan lagi barang langka. Jungkook dan Indomilk bukan fenomena yang pertama, dan nampak belum bakal jadi yang terakhir.
Terhadap kenyataan ini, selain beberapa bahasan sejenis yang pernah saya urai pada tulisan sebelumnya, misalnya yang membahas soal fenomena kolaborasi strategis pada brand Supreme, Harikrishna Kundariya, 2020, dalam uraiannya How to Leverage Influencer Marketing for Boosting Ecommerce Sales in 2020? menyebut, media sosial tidak lagi hanya cara untuk terhubung dengan orang-orang tetapi juga cara untuk memasarkan bisnis dan menawarkannya ke seluruh dunia. (Baca juga: Mengapa Harga Oreo Supreme Mahal dan Bagaimana Rasanya? )
Ketika sejumlah besar orang bergabung dengan saluran media sosial seperti Facebook, Instagram, LinkedIn, dll, beberapa dari mereka mulai memengaruhi orang lain dengan membuat, menyusun, serta berbagi cerita, foto, dan video mereka sendiri. Memanfaatkan influencer sebagai upaya mendongkrak kinerja penjualan, bukan tindakan tabu. Hanya catatannya, memanfaatkan influencer untuk mendorong kinerja penjualan di jagad digital, sama sekali bukan kerja ajaib seajaib hasilnya.
Ada strategi dan taktik yang harus diperhatikan. Itu terurai dalam pernyataan Kundariya berikutnya. Ketika terlibat dengan influencer dan lazimnya produsen mengkompensasi dengan sejumlah pembayaran tertentu, justru yang sering diperoleh pernyataan yang bias dari influencer. Padahal yang diharapkan calon pembeli, ulasan yang jujur.
Maka melakukan dengan cara yang benar, meminta influencer menandai keunggulan dan kelemahan suatu produk, justru menghadirkan nuansa kejujuran di benak calon pembeli, yang juga para penggemar influencer. Dengan cara ini, keterusterangan tanpa jarak terlihat jelas. Ulasan yang mengetengahkan kelemahan produk justru dimaknai sebagai, “memang tak ada brand yang sempurna”.
Nampaknya mekanisme itulah yang senyatanya terjadi antara Indomilk UHT dengan Jungkook. Manajemen PT Indolakto, anak usaha PT Indofood CPB yang memproduksi Indomilk, menampik adanya kolaborasi. Menampilkan dan mengulas produk, sepenuhnya kemauan Jungkook. Maka tak heran jika nuansa ketulusannya benar-benar tampil dan menjalar di tengah jejaring army. Harga terdongkrak hingga ribuan kali lipat, benar-benar representasi kekaguman para penggemar. Indomilk UHT tinggal menikmati berkahnya. (Baca juga: V BTS Pilih Tingkatkan Kemampuan Intelektual ketika Senggang )
Walaupun demikian, produsen menepis jika bakal terjadi perebutan produk di pasaran. Jalaran emosi yang inginkan produk terantisipasi oleh kecukupan persediaan. Kelangkaan produk tak bakal terjadi.
Dalam penjelasan yang lain, dan sering dibahas dalam kajian Ilmu Komunikasi, influencer punya posisi mendekatkan jarak antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, berkurangnya jarak terjadi oleh fungsi katalisator influencer. Ia berposisi tepat, antara komunikator dengan influencer dan influencer dengan khalayak.
Katalisator bekerja meminimalkan perbedaan perilaku komunikasi, pengalaman maupun pengetahuan yang sangat beda antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Influencer ada di tengahnya, meniadakan jarak. Akibat posisinya yang istimewa ini, influencer kemudian sering dimanfaatkan untuk hal-hal di luar tujuan komunikasi belaka.
Keistimewaan posisi influencer sering digunakan untuk membangun trust. Ini terjadi misalnya pada transaksi tanpa tatap muka, berbasis online. Fenomena yang cukup sering terjadi, termasuk tujuan pemanfaatan influencer, untuk mempengaruhi penjualan barang yang tak jelas status legalitasnya. Kata kunci menghadirkan trust antara penjual dengan calon pembeli, benar-benar bermanfaat untuk konteks ini. (Baca juga: Dua Influencer Cantik Asal Mesir Divonis Penjara 2 Tahun )
Benar jadi masalah ketika yang ditransaksikan dengan memanfaatkan influencer, status barangnya illegal. Ada tanggung jawab etis bahkan hukum yang mengintai Sang Pesohor. Saat relasi saling percaya yang jadi dasar pembelian tercederai, setidaknya persoalan etis terlanggar.
Dalam uraian Kundariya di atas, bahkan memberikan ulasan yang berlebihan pada suatu produk sudah merupakan tindakan bias influencer. Maka bagaimana posisinya dengan influencer yang mempromosikan produk illegal? Influencer harus menolak mempromosikannya. Saat terima tawaran promosikan barang, influencer punya kewajiban moral tahu status legalitas barang. Reputasi yang bakal tergerus di hadapan penggemar, jadi taruhannya.
Di sisi lain pula, calon pembeli tetap harus waspada. Sedekat apapun hubungannya dengan influencer, sekagum apapun terhadap tersohornya influencer, adanya tawaran yang tak wajar baik jenis maupun harganya, harus rasional proporsional. Tak serta merta percaya dan membeli, alih-alih dituduh terlibat jaringan jual beli barang illegal.
(ind)