Permen Gambut Dinilai Ganggu Investasi Industri Sawit di Riau

Senin, 17 April 2017 - 11:09 WIB
Permen Gambut Dinilai Ganggu Investasi Industri Sawit di Riau
Permen Gambut Dinilai Ganggu Investasi Industri Sawit di Riau
A A A
PEKANBARU - Pemerintah perlu mengevaluasi Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.17 tahun 2017 yang merevisi peraturan P.12 tahun 2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), karena aturan baru itu akan mengganggu ekonomi daerah yang mayoritas mempunyai lahan gambut seperti Riau.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Riau Wijatmoko Rah Trisno mengatakan, atas kebijakan ini, pihaknya tengah melakukan konsolidasi ke dalam khususnya anggota yang bergerak di bidang terdampak.

"Kami sedang lakukan konsolidasi internal anggota Apindo Riau, khususnya perusahaan kertas dan sawit yang langsung terdampak Permen ini," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Senin (17/4/2017).

Menurutnya, langkah ini perlu diambil untuk merumuskan apa tindakan selanjutnya dari asosiasi atas regulasi baru dalam tata kelola gambut di Tanah Air. Secara umum, kebijakan pemerintah ini bakal berpengaruh pada operasional perusahaan kertas dan sawit, khususnya bidang ketenagakerjaan.

Atas dasar itu, perlu rumusan solusi terbaik atas kebijakan ini, dan hasil itu akan dijelaskan Apindo Riau kepada publik.

Anggota DPR Firman Subagyo mengatakan Peraturan Menteri tersebut akan berdampak besar bagi daerah yang selama ini mengandalkan hasil sumber daya alam (SDA) dari hasil pengelolaan gambut. Riau sebagai daerah yang mempunyai lahan gambut lebih dari 4 juta hekare diperkirakan akan terkena dampak ekonomi paling besar.

"Aturan baru ini semakin memberikan ketidakpastian usaha bagi industri hutan tanaman industri dan sawit di lahan gambut," katanya saat dihubungi pers dari Pekanbaru, akhir pekan lalu.

Dia menilai, beberapa pasal dalam Permen tersebut sangat mengganggu investasi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang telah dijamin UU. Misalnya, pada pasal 8e ditetapkan perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung, yang telah terdapat tanaman pokok pada lahan yang memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK-HTI), tanaman yang sudah ada, dapat dipanen satu daur, dan tidak dapat ditanami kembali.

"Seharusnya, regulasi dalam bentuk peraturan apapun tidak boleh mendegradasi UU dan harus memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha yang telah berinvetasi sesuai perencanaan masing-masing," katanya.

Menurut Firman, jika aturan perubahan fungsi itu dipaksakan, dapat berdampak buruk terhadap iklim usaha dan investasi di Indonesia. Apalagi HTI merupakan bisnis berskala global yang memiliki kontrak-kontrak jangka panjang.

Banyak konsekuensi yang harus ditanggung. Selain berpotensi menimbulkan kredit macet yang akan mengganggu perbankan nasional, penerimaan negara bakal merosot karena produksi turun.

"Ketika tiba-tiba timbul keinginan untuk mengubah fungsi budidaya menjadi lindung, pernahkah terpikir nasib masyarakat yang menggantungkan hidupnya di industri ini. Bagaimana nasib 1,49 juta tenaga kerja baik langsung maupun tak langsung yang menghidupi lebih dari 5,96 juta jiwa. Akan dikemanakan mereka?" tuturnya.

Firman mengingatkan, HTI mempunyai kontribusi besar bagi negara. Tahun lalu, industri itu berkontribusi sebesar USD5,01 miliar dalam perolehan devisa nasional. fungsi lindung dan budidaya sama penting. Seharusnya prioritas pemerintah menjaga fungsi-fungsi lindung yang selama ini terabaikan dan tidak mengganggu investasi yang sudah berjalan.

Provinsi Riau merupakan daerah terbesar penghasil sawit di Indonesia dengan luas sekitar 4 juta hektar. Begitu juga dengan sektor HTI. Ada dua perusahaan industri pulp and paper yang merupakan perusahaan terbesar di Asia Tenggara.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3669 seconds (0.1#10.140)