Rupiah Masih Loyo Lawan Dolar AS, Hari Ini Parkir ke Level Rp15.370
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) kembali ditutup melemah pada perdagangan Rabu (13/9/2023). Kurs rupiah mengalami penurunan sebesar 28 poin ke level Rp15.370 dari penutupan sebelumnya di Rp15.342.
Pelemahan rupiah juga terlihat pada data JISDOR BI (Bank Indonesia), dimana hari ini bertengger di posisi Rp15.367/USD. Raihan tersebut lebih rendah dari kemarin Rp15.344 per USD.
Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, volume transaksi cenderung tipis pada hari Rabu menjelang rilis indeks harga konsumen AS di sesi ini, karena hal ini dapat menentukan arah pertemuan Federal Reserve alias The Fed minggu depan.
“CPI inti, yang tidak memperhitungkan harga pangan dan energi yang fluktuatif, diperkirakan akan turun menjadi 4,3% tahun-ke-tahun di bulan Agustus dari 4,7%, namun melonjaknya harga minyak menyebabkan angka utama tahunan naik menjadi 3,6%, dari 3,2%,” tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (13/9/2023).
Para pejabat The Fed telah memberi isyarat bahwa mereka dapat berhenti sejenak ketika pertemuan mereka minggu depan, setelah menaikkan suku bunga pada 11 dari 12 pertemuan terakhir mereka, sambil menilai kemajuan mereka sejauh ini. Namun inflasi yang masih bertahan dapat menunjukkan kemungkinan kenaikan lebih lanjut sebelum tahun ini berakhir.
Bank Sentral Eropa (ECB) akan bertemu pada hari Kamis, dan para pedagang telah mulai menilai kembali posisi mereka setelah laporan Reuters mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan ECB memperkirakan inflasi di 20 negara zona euro akan tetap di atas 3% tahun depan, memperkuat kemungkinan kenaikan suku bunga kesepuluh berturut-turut.
Bank of England diperkirakan masih akan menambah 14 kenaikan suku bunga sejak akhir tahun 2021 ketika para pengambil kebijakan bertemu minggu depan, menaikkan suku bunga menjadi 5,5% dari 5,25%.
Perekonomian belum memasuki resesi seperti yang dikhawatirkan, pertumbuhan upah menunjukkan sedikit tanda-tanda perlambatan, dan para ahli statistik resmi telah meningkatkan data secara tajam untuk menunjukkan bahwa Inggris pulih lebih awal dari COVID-19 dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Dari sentimen internal, para ekonom memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan mulai menurunkan suku bunga acuannya di tahun 2024 tepatnya kuartal kedua.
Salah satu penyebabnya adalah stabilnya perekonomian AS dan inflasi yang terkendali dan mendekati 2%. Selain itu, pergeseran proyeksi ini dikarenakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kembali melemah.
“Pasalnya, ini akan berdampak pada Imported inflation (inflasi impor). Sehingga, suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,75 persen harus dipertahankan,” ujar Ibrahim.
Meskipun, inflasi sudah berada di kisaran target sasaran BI sebesar 3,0±1% yaitu di level 3,27% secara tahunan (yoy) pada Agustus 2023.
Di sisi lain, BI juga menunggu sinyal dari The Fed untuk berhenti menaikkan dan mulai menurunkan suku bunga acuannya, yang mana hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat inflasi di AS, apakah terkendali atau malah terjadi resesi.
Semakin memburuknya ekonomi di AS, tentu akan mempercepat sinyal turunnya suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR).
Adapun berdasarkan histori, bila The Fed menaikkan suku bunga secara agresif, maka ada kemungkinan terjadi resesi. Dampak kebijakan suku bunga yang ketat itu bisa 1 sampai 2 tahun ke depan.
Sehingga para ekonom bisa memperkirakan apabila ekonomi AS mengalami resesi, hal tersebut akan berdampak pada tren hyper inflasi menurun.
Berdasarkan sentimen diatas, mata uang rupiah untuk perdagangan besok diprediksi bergerak fluktuatif kemudian cenderung ditutup melemah lagi di rentang Rp15.350 - Rp15.450 per USD.
Pelemahan rupiah juga terlihat pada data JISDOR BI (Bank Indonesia), dimana hari ini bertengger di posisi Rp15.367/USD. Raihan tersebut lebih rendah dari kemarin Rp15.344 per USD.
Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, volume transaksi cenderung tipis pada hari Rabu menjelang rilis indeks harga konsumen AS di sesi ini, karena hal ini dapat menentukan arah pertemuan Federal Reserve alias The Fed minggu depan.
“CPI inti, yang tidak memperhitungkan harga pangan dan energi yang fluktuatif, diperkirakan akan turun menjadi 4,3% tahun-ke-tahun di bulan Agustus dari 4,7%, namun melonjaknya harga minyak menyebabkan angka utama tahunan naik menjadi 3,6%, dari 3,2%,” tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (13/9/2023).
Para pejabat The Fed telah memberi isyarat bahwa mereka dapat berhenti sejenak ketika pertemuan mereka minggu depan, setelah menaikkan suku bunga pada 11 dari 12 pertemuan terakhir mereka, sambil menilai kemajuan mereka sejauh ini. Namun inflasi yang masih bertahan dapat menunjukkan kemungkinan kenaikan lebih lanjut sebelum tahun ini berakhir.
Bank Sentral Eropa (ECB) akan bertemu pada hari Kamis, dan para pedagang telah mulai menilai kembali posisi mereka setelah laporan Reuters mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan ECB memperkirakan inflasi di 20 negara zona euro akan tetap di atas 3% tahun depan, memperkuat kemungkinan kenaikan suku bunga kesepuluh berturut-turut.
Bank of England diperkirakan masih akan menambah 14 kenaikan suku bunga sejak akhir tahun 2021 ketika para pengambil kebijakan bertemu minggu depan, menaikkan suku bunga menjadi 5,5% dari 5,25%.
Perekonomian belum memasuki resesi seperti yang dikhawatirkan, pertumbuhan upah menunjukkan sedikit tanda-tanda perlambatan, dan para ahli statistik resmi telah meningkatkan data secara tajam untuk menunjukkan bahwa Inggris pulih lebih awal dari COVID-19 dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Dari sentimen internal, para ekonom memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan mulai menurunkan suku bunga acuannya di tahun 2024 tepatnya kuartal kedua.
Salah satu penyebabnya adalah stabilnya perekonomian AS dan inflasi yang terkendali dan mendekati 2%. Selain itu, pergeseran proyeksi ini dikarenakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kembali melemah.
“Pasalnya, ini akan berdampak pada Imported inflation (inflasi impor). Sehingga, suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,75 persen harus dipertahankan,” ujar Ibrahim.
Meskipun, inflasi sudah berada di kisaran target sasaran BI sebesar 3,0±1% yaitu di level 3,27% secara tahunan (yoy) pada Agustus 2023.
Di sisi lain, BI juga menunggu sinyal dari The Fed untuk berhenti menaikkan dan mulai menurunkan suku bunga acuannya, yang mana hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat inflasi di AS, apakah terkendali atau malah terjadi resesi.
Semakin memburuknya ekonomi di AS, tentu akan mempercepat sinyal turunnya suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR).
Adapun berdasarkan histori, bila The Fed menaikkan suku bunga secara agresif, maka ada kemungkinan terjadi resesi. Dampak kebijakan suku bunga yang ketat itu bisa 1 sampai 2 tahun ke depan.
Sehingga para ekonom bisa memperkirakan apabila ekonomi AS mengalami resesi, hal tersebut akan berdampak pada tren hyper inflasi menurun.
Berdasarkan sentimen diatas, mata uang rupiah untuk perdagangan besok diprediksi bergerak fluktuatif kemudian cenderung ditutup melemah lagi di rentang Rp15.350 - Rp15.450 per USD.
(akr)