AS Masuk Jurang Resesi Pertama dalam Satu Dekade, Semua Negara Tunggu Giliran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amerika Serikat (AS) masuk ke jurang resesi dengan perekonomian terkontraksi 32,9% pada kuartal II 2020, menyusul pertumbuhan minus 5% pada kuartal I 2020. Kondisi ini menempatkan AS ke ekonomi terburuk sejak 1947. Pandemik Covid-19 membuat AS mengalami resesi perdananya dalam 11 tahun terakhir. Terpuruknya pertumbuhan ekonomi AS diakibatkan karena kebijakan lockdown yang melumpuhkan kegiatan ekonomi mereka.
(Baca Juga: Perhatian, Resesi AS Bisa Menyeret Ekonomi Nasional )
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai, sekarang ini semua negara tinggal menunggu waktunya saja untuk menyatakan secara resmi sudah mengalami resesi. Proses resesinya sendiri sudah berlangsung sejak awal tahun yang diakibatkan dari wabah covid-19 dan semua terseret gelombang wabah yang sama.
"Memang negara-negara tertentu yang sangat bergantung kepada ekspor akan terseret lebih dalam karena selain terjadi wabah di domestik, ekspornya juga turun karena penurunan ekonomi global. Tapi Indonesia bukan negara seperti itu. Kita tidak bergantung Ekspor," ujar Piter saat dihubungi di Jakarta Minggu.
Jadi resesi di AS dan di banyak negara lainnya tidak akan menambah buruk perekonomian Indonesia. Dampak resesi di berbagai negara termasuk AS sudah kita rasakan dimana ekspor Indonesia sudah menurun dan ini tidak akan berdampak lebih besar lagi.
Menurut dia, perekonomian Indonesia sudah terkontraksi, khususnya oleh karena wabah yang menyebabkan konsumsi dan investasi Indonesia menurun. "Kabar baiknya, meskipun kita dipastikan akan ikut mengalami resesi, tetapi kontraksi ekonomi yang kita alami diyakini tidak akan sedalam negara-negara maju," papar dia.
(Baca Juga: Badai Resesi Menyerang Negara Adidaya, Awas Mengancam Industri Nasional )
Dia menekankan, sekali lagi karakteristik negara Indonesia yang lebih bergantung kepada konsumsi ketimbang ekspor menyebabkan kontraksi ekonomi menjadi lebih 'mild'. Alasannya karena konsumsi walaupun mengalami kontraksi tidak akan sampai terlalu dalam.
"Masyarakat bagaimanapun tetap akan melakukan konsumsi, terutama lagi dengan adanya berbagai bantuan dari pemerintah," ungkap dia.
Lebih lanjut Piter menuturkan, kondisi perekonomian global khususnya AS yang terpuruk hingga masuk ke jurang resesi mengundang response kebijakan fiskal dan moneter yang longgar. Kebijakan the fed misalnya adalah mempertahankan suku bunga acuan 0 - 0,25%, dengan komitmen melanjutkan pembelian Surat utang pemerintah Dan juga korporasi (quantitative easing/QE) selama diperlukan guna membangkitkan perekonomian AS.
"Kebijakan pelonggaran likuiditas ini memunculkan sentimen positif di pasar keuangan negara berkembang, serta membuka peluang terus berlanjutnya aliran modal masuk yang akan memperkuat nilai tukar, termasuk Rupiah," beber dia.
Sentimen positif didukung juga oleh berita positif terkait perkembangan penemuan vaksin covid-19. "Saya memperkirakan satu minggu kedepan Rupiah akan cenderung menguat," katanya.
(Baca Juga: Perhatian, Resesi AS Bisa Menyeret Ekonomi Nasional )
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai, sekarang ini semua negara tinggal menunggu waktunya saja untuk menyatakan secara resmi sudah mengalami resesi. Proses resesinya sendiri sudah berlangsung sejak awal tahun yang diakibatkan dari wabah covid-19 dan semua terseret gelombang wabah yang sama.
"Memang negara-negara tertentu yang sangat bergantung kepada ekspor akan terseret lebih dalam karena selain terjadi wabah di domestik, ekspornya juga turun karena penurunan ekonomi global. Tapi Indonesia bukan negara seperti itu. Kita tidak bergantung Ekspor," ujar Piter saat dihubungi di Jakarta Minggu.
Jadi resesi di AS dan di banyak negara lainnya tidak akan menambah buruk perekonomian Indonesia. Dampak resesi di berbagai negara termasuk AS sudah kita rasakan dimana ekspor Indonesia sudah menurun dan ini tidak akan berdampak lebih besar lagi.
Menurut dia, perekonomian Indonesia sudah terkontraksi, khususnya oleh karena wabah yang menyebabkan konsumsi dan investasi Indonesia menurun. "Kabar baiknya, meskipun kita dipastikan akan ikut mengalami resesi, tetapi kontraksi ekonomi yang kita alami diyakini tidak akan sedalam negara-negara maju," papar dia.
(Baca Juga: Badai Resesi Menyerang Negara Adidaya, Awas Mengancam Industri Nasional )
Dia menekankan, sekali lagi karakteristik negara Indonesia yang lebih bergantung kepada konsumsi ketimbang ekspor menyebabkan kontraksi ekonomi menjadi lebih 'mild'. Alasannya karena konsumsi walaupun mengalami kontraksi tidak akan sampai terlalu dalam.
"Masyarakat bagaimanapun tetap akan melakukan konsumsi, terutama lagi dengan adanya berbagai bantuan dari pemerintah," ungkap dia.
Lebih lanjut Piter menuturkan, kondisi perekonomian global khususnya AS yang terpuruk hingga masuk ke jurang resesi mengundang response kebijakan fiskal dan moneter yang longgar. Kebijakan the fed misalnya adalah mempertahankan suku bunga acuan 0 - 0,25%, dengan komitmen melanjutkan pembelian Surat utang pemerintah Dan juga korporasi (quantitative easing/QE) selama diperlukan guna membangkitkan perekonomian AS.
"Kebijakan pelonggaran likuiditas ini memunculkan sentimen positif di pasar keuangan negara berkembang, serta membuka peluang terus berlanjutnya aliran modal masuk yang akan memperkuat nilai tukar, termasuk Rupiah," beber dia.
Sentimen positif didukung juga oleh berita positif terkait perkembangan penemuan vaksin covid-19. "Saya memperkirakan satu minggu kedepan Rupiah akan cenderung menguat," katanya.
(akr)