Meneropong Ancaman Perlambatan Ekonomi China Terhadap Indonesia

Senin, 02 Oktober 2023 - 15:14 WIB
loading...
A A A
Melemahnya perekonomian China juga menjadi perhatian serius oleh Menteri Keuangan atau Menkeu, Sri Mulyani. Dimana penurunan 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 0,3%-0,6%.

Meski begitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyakini kinerja ekonomi domestik masih tahan dari gejolak eksternal, termasuk perlambatan ekonomi China.

"Memang kita melihat ada risiko dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China meski sudah melakukan reopening perekonomiannya, ini juga kita lihat bagaimana PMI manufaktur China masih dalam zona kontraksi," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam konferensi pers APBN KiTA, Jumat (11/8).

Kinerja PMI manufaktur China masih dalam zona kontraksi dengan indeks di bawah 50, selama empat bulan terakhir, meski mulai ada tanda-tanda perbaikan. Meski demikian, dampak perlambatan di China itu terhadap Indonesia menurut Febrio masih 'terukur'.

Hal ini tercermin dari sisi volume ekspor Indonesia ke China sepanjang semester pertama 2023 naik 45,4%, pembalikan kuat setelah semester pertama tahun lalu yang turun 25,4%. "Kita masih melihat ada peluang untuk mendapatkan dampak positif dari pembukaan kembali ekonomi China," kata Febrio.

Seperti diketahui kondisi ekonomi China sedang mengalami banyak tekanan, dimana salah satunya imbas adanya krisis pada sektor properti. Sejak 2021, beberapa perusahaan real estate besar di China bangkrut, seperti Country Garden dan Evergrande. Padahal, sektor tersebut menjadi salah satu sumber lapangan kerja bagi masyarakat di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Dilansir The New York Times pada Selasa (5/9/2023), ada beberapa penyebab krisis properti di China. Di antaranya, selama beberapa puluh tahun terakhir, pemerintah China gencar memberi izin properti meminjam dalam jumlah besar untuk membiayai proyeknya.

Hanya saja pada 2020, pemerintah menghentikan gelembung pada sektor perumahan dengan menghentikan aliran dana ke perusahaan real estate. Penghentian itu lewat kebijakan utang tidak boleh lebih dari 70% aset, lalu utang bersih tidak lewat dari 100% ekuitas, dan cadangan uang minimal 100% dari utang jangka pendek.

Akibat kebijakan itu, perusahaan properti besar di China mengalami gagal bayar. Lembaga pemeringkat Standard & Poor's melaporkan, sebanyak 50 perusahaan properti di negara tersebut tidak bisa membayar utang dalam tiga tahun terakhir.

Tekanan terhadap ekonomi China tidak berhenti sampai di situ, selanjutnya efek dari lesunya konsumsi masyarakat, inflasi yang rendah atau mengalami deflasi, sektor manufaktur yang melambat, hingga krisis yang menimpa beberapa sektor serta melonjaknya tingkat pengangguran muda di China.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1583 seconds (0.1#10.140)