Kereta Cepat Shinkansen dan KCJB Sama-sama Dibangun dengan Utang, Ini Bedanya

Selasa, 17 Oktober 2023 - 12:24 WIB
loading...
Kereta Cepat Shinkansen...
Utang menjadi salah satu instrumen pembangunan, tidak terkecuali dengan pembuatan kereta cepat Whoosh di Indonesia serta Shinkansen Jepang. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Pembangunan nasional membutuhkan dana yang besar, seperti halnya kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dinamakan Whoosh. Maka utang menjadi salah satu instrumen pembangunan, tidak terkecuali dengan pembuatan kereta cepat Whoosh di Indonesia serta Shinkansen Jepang.



Kedua kereta ini ternyata memiliki kesamaan dalam pembangunannyya, dimana ada dukungan dari utang. Namun ada yang membedakan dari mana sumber utang kedua kereta cepat tersebut, berikut penjelasannya.

Bank Dunia tidak bisa dilepaskan dari upaya Jepang mewujudkan kereta Shinkansen pada 1961, lewat kucuran pinjaman senilai USD80 juta. Pinjaman Bank Dunia itu membantu 15% dari total biaya proyek sebesar USD548 juta.



Pinjaman pada 1961 tersebut diberikan tepat 9 tahun sejak Jepang bergabung menjadi anggota Bank Dunia. Jepang bergabung dengan Bank Dunia, tepatnya pada Agustus 1952, setahun setelah penandatanganan Perjanjian Perdamaian San Francisco. Mulai tahun 1953, sejumlah proyek dibangun di Jepang dengan pinjaman Bank Dunia untuk pengembangan fondasi ekonomi negara.

Pada tahun 1961, jaringan kereta cepat yang dibangun Jepang untuk mendukung penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 1964, kemudian diberi nama Shinkansen yang berarti Jalur Utama Baru.

Pinjaman dari Bank Dunia kepada Kereta Api Nasional Jepang (Japanese National Railways) membantu membiayai salah satu proyek kereta api paling maju secara teknis di dunia — Jalur Tokaido Baru (Proyek Shinkansen) antara Tokyo dan Osaka yang membawa kereta cepat mendunia.

Pinjaman sebesar USD80 juta disetujui pada tanggal 1 Mei 1961. Tujuan dari pinjaman ini adalah untuk membantu pembiayaan Jalur Tokaido Baru baru senilai USD548 juta, yakni kereta api ekspres sepanjang 311 mil yang melayani beberapa kota seperti Tokyo, Yokohama, Nagoya, Kyoto dan Osaka, menyediakan apa yang pada saat itu merupakan layanan kereta tercepat di dunia.

Proyek ini merupakan tambahan dari pengembangan kereta api berkelanjutan yang jauh lebih besar yang direncanakan oleh Jepang. Wakil Presiden SAR, Mieko Nishimizu merefleksikan, pentingnya pinjaman ini dalam wawancara dengan World Bank pada Agustus 1994.

"Tentu saja, secara teknik kami tahu segalanya dan kami tidak harus belajar dari insinyur Bank Dunia. Tapi mereka
mengajari kami cara berpikir tentang proyek, soal analisis proyek yang rasional, mereka mengajari kami analisis biaya-manfaat, mereka mengajari kami cara berpikir tentang penetapan harga tiket kereta api dalam konteks Proyek Shinkansen, dan mereka mengajari kami cara berpikir, yang terpenting, tentang proyek jalur kereta api, tidak hanya dalam konteks sistem kereta api negara kita, tetapi dalam konteks seluruh sistem transportasi Jepang," ungkapnya.

Pinjaman Bank Dunia ke Jepang berakhir pada tahun 1966. Ada total 31 pinjaman dari tahun 1953 hingga 1966, dengan nilainya mencapai sebesar USD862 juta.

Kereta Cepat Whoosh

Berbeda dengan Jepang, Indonesia memilih bersama China membangun kereta cepat Jakarta-Bandung yang diberi nama Whoosh. China menawarkan nilai investasi lebih murah dari Jepang sebesar USD5,5 miliar atau setara Rp81 triliun.

Skema investasinya 40% kepemilikan China dan 60% konsorsium BUMN, sedangkan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.

Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25% akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun. China juga menjamin pembangunan proyek ini tidak akan menguras dana APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Indonesia.

Namun kenyataannya proyek kereta Jakarta-Bandung yang digarap konsorsium perusahaan Indonesia-China mengalami pembengkakan biaya. Proyek yang awalnya ditargetkan rampung pada 2019, namun baru akan diresmikan 2 Oktober 2023.

Biaya pembangunan mega proyek kereta cepat di Indonesia itu mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun menjadi USD8 miliar atau setara Rp114,2 triliun. Angka tersebut membengkak USD1,9 miliar dari rencana awal sebesar USD6 miliar.

Sejumlah faktor penyebab pembengkakan biaya antara lain perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor, pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan, pencurian besi, hingga hambatan geologi dalam pembangunan terowongan serta ditambah adanya Pandemi Covid-19.

Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah Indonesia menambal sebagian kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.

Untuk diketahui, komposisi pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah 75% berasal dari pinjaman melalui China Development Bank (CDB) dan sisanya merupakan setoran modal dari konsorsium dua negara yaitu Indonesia-China.

Pembagiannya, konsorsium BUMN Indonesia menyumbang 60% dan 40% berasal dari konsorsium China. Total pinjaman Indonesia ke China Development Bank (CDB) mencapai Rp8,3 triliun.

Utang itu akan dipakai untuk pembiayaan pembengkakan biaya kereta cepat. Hanya saja, bunga yang ditawarkan oleh China adalah 3,4% per tahun dengan tenor selama 30 tahun yang dinilai oleh Indonesia terlalu tinggi.

Indonesia masih negosiasi penurunan suku bunga pinjaman Kereta Cepat Jakarta-Bandung . Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pihak CDB konsisten dengan angka interest rate atas rencana pinjaman tersebut.

Sementara, pemerintah menginginkan tingkat suku bunga berada di kisaran 2%. "Terakhir di bawah 4 persen, kisarannya di kisar 3 persen lah, saya lupa ya, tapi antara 3-3,5 persen lah," ujar Kartika saat ditemui di kawasan DPR/MPR, ditulis Kamis (21/9/2023).

Pemerintah memang mengajukan pinjaman Rp8,3 triliun untuk menambal pembengkakan anggaran (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Total nilai pembengkakan Kereta Cepat mencapai Rp18,2 triliun.

Namun hingga sekarang, CDB belum memenuhi komitmen untuk memberikan pinjamannya kepada Indonesia. Perkaranya belum ada kesepakatan nilai interest rate atas pinjaman sebesar Rp8,3 triliun itu. Selain bersumber dari utang, bengkaknya biaya KCJB juga ditambal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) Tahun Anggaran 2022 yang diperoleh PT KAI (Persero) sebesar Rp3,2 triliun.

Dari skema yang ditetapkan, 75% cost overrun ditutupi dengan pinjaman. Sementara 25% dari total cost overrun berasal dari anggaran konsorsium Indonesia, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium China Railway International Co. Ltd.

"Untuk cost overrun itu kan memang KAI yang akan memberikan penambahan modal, jadi kan KAI itu memang wajib memberikan tambahan pinjaman pemegang saham kepada KCIC. Nah, KAI-nya yang kemudian melakukan pinjaman kepada CDB, jadi itu dua step," ucap dia.

(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1193 seconds (0.1#10.140)