Menkeu Rusia: Sanksi Ekonomi Jadi Pertanda Kelemahan Barat
loading...
A
A
A
MOSKOW - Menteri Keuangan Rusia , Anton Siluanov mengatakan, negara- negara Barat telah kehilangan keuntungan ekonomi dari Timur, lantaran itu sanksi ekonomi dipakai untuk menghentikan pembangunan dari rival mereka. Hal ini disampaikan saat Pameran dan Forum Internasional Rusia di Moskow akhir pekan lalu.
Menurut Siluanov, proses redistribusi kekuasaan global sudah berlangsung. "Sistem lama menjadi usang, kekuatan baru datang, ekonomi baru muncul – China, Rusia, India. Timur secara aktif berkembang, dan ekonomi lama yang sebelumnya mendominasi, baik secara ekonomi maupun politik, secara bertahap mengempis," katanya.
Ia juga memberikan, catatan bahwa "perubahan seperti itu selalu terjadi dengan menyakitkan."
Menkeu Rusia itu juga berpendapat bahwa Barat "berpegang teguh pada metode, seperti menggunakan mata uang mereka sebagai senjata untuk menahan ekonomi lain," terangnya.
Akibatnya untuk melestarikan tatanan lama, negara Barat menggunakan sanksi yang justru membahayakan ekonomi mereka sendiri. "Sementara ekonomi baru tumbuh lebih cepat, kekuatan dan otot baru negara-negara meningkat dan secara politik mereka menjadi lebih kuat," ungkap Siluanov.
Menurut Siluanov, negara-negara berkembang diprediksi ingin mempengaruhi proses ekonomi global tanpa harus mematuhi negara-negara Barat, atau 'miliaran emas'. BRICS, diungkapkan juga olehnya adalah alternatif yang layak untuk sistem ekonomi Barat yang ada.
Blok tersebut saat ini mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Akan tetapi BRICS bakal makin luas mulai tahun depan, dimana ada 6 negara baru yang akan bergabung yakni Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan UEA pada Januari. BRICS yang diperbesar akan mewakili 37% dari PDB global, lebih dari G7 yang hanya mencapai 29,9%.
Rusia telah berulang kali menyerukan tatanan dunia multilateral, dimana Presiden Vladimir Putin menuduh Barat mengejar "pendekatan kolonial" dan membengkokkan aturan internasional sesuai keinginannya.
Pernyataannya mulai terdengar lebih keras selama beberapa bulan terakhir, karena Rusia menghadapi sanksi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Barat atas konfliknya dengan Ukraina.
Karena pembatasan ini, Rusia secara efektif telah kehilangan kemampuan untuk melakukan transaksi internasional dalam dolar dan euro, dan telah kehilangan akses ke sistem perbankan Barat.
Namun terlepas dari penurunan ekonomi Rusia karena pembatasan tahun lalu, sekarang sebagian besar diklaim telah pulih berkat pengalihan perdagangan ke Timur dan meningkatkan pangsa mata uang nasional secara lintas batas.
Sementara itu negara-negara Eropa terus berjuang dengan lonjakan inflasi, krisis biaya hidup, dan penurunan produksi industri - masalah ini semakin berat dengan adanya sanksi terhadap Moskow yang merampas pasokan energi Rusia. Banyak politisi Barat telah menyerukan diakhirinya sanksi, dengan alasan bahwa telah menjadi bumerang.
Menurut Siluanov, proses redistribusi kekuasaan global sudah berlangsung. "Sistem lama menjadi usang, kekuatan baru datang, ekonomi baru muncul – China, Rusia, India. Timur secara aktif berkembang, dan ekonomi lama yang sebelumnya mendominasi, baik secara ekonomi maupun politik, secara bertahap mengempis," katanya.
Ia juga memberikan, catatan bahwa "perubahan seperti itu selalu terjadi dengan menyakitkan."
Menkeu Rusia itu juga berpendapat bahwa Barat "berpegang teguh pada metode, seperti menggunakan mata uang mereka sebagai senjata untuk menahan ekonomi lain," terangnya.
Akibatnya untuk melestarikan tatanan lama, negara Barat menggunakan sanksi yang justru membahayakan ekonomi mereka sendiri. "Sementara ekonomi baru tumbuh lebih cepat, kekuatan dan otot baru negara-negara meningkat dan secara politik mereka menjadi lebih kuat," ungkap Siluanov.
Menurut Siluanov, negara-negara berkembang diprediksi ingin mempengaruhi proses ekonomi global tanpa harus mematuhi negara-negara Barat, atau 'miliaran emas'. BRICS, diungkapkan juga olehnya adalah alternatif yang layak untuk sistem ekonomi Barat yang ada.
Blok tersebut saat ini mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Akan tetapi BRICS bakal makin luas mulai tahun depan, dimana ada 6 negara baru yang akan bergabung yakni Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan UEA pada Januari. BRICS yang diperbesar akan mewakili 37% dari PDB global, lebih dari G7 yang hanya mencapai 29,9%.
Rusia telah berulang kali menyerukan tatanan dunia multilateral, dimana Presiden Vladimir Putin menuduh Barat mengejar "pendekatan kolonial" dan membengkokkan aturan internasional sesuai keinginannya.
Pernyataannya mulai terdengar lebih keras selama beberapa bulan terakhir, karena Rusia menghadapi sanksi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Barat atas konfliknya dengan Ukraina.
Karena pembatasan ini, Rusia secara efektif telah kehilangan kemampuan untuk melakukan transaksi internasional dalam dolar dan euro, dan telah kehilangan akses ke sistem perbankan Barat.
Namun terlepas dari penurunan ekonomi Rusia karena pembatasan tahun lalu, sekarang sebagian besar diklaim telah pulih berkat pengalihan perdagangan ke Timur dan meningkatkan pangsa mata uang nasional secara lintas batas.
Sementara itu negara-negara Eropa terus berjuang dengan lonjakan inflasi, krisis biaya hidup, dan penurunan produksi industri - masalah ini semakin berat dengan adanya sanksi terhadap Moskow yang merampas pasokan energi Rusia. Banyak politisi Barat telah menyerukan diakhirinya sanksi, dengan alasan bahwa telah menjadi bumerang.
(akr)