Pengusaha Tekstil Pasrah, Upah Buruh Harus Naik Tahun Depan Saat Industri Lesu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengusaha tekstil mengaku pasrah terkait dengan keputusan pemerintah yang menaikkan upah minimum provinsi (UMP) di 2024, mendatang. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengaku, saat ini kondisi industri tekstil belum mengalami pertumbuhan yang positif.
Bahkan selama setahun, industri tekstil dan pakaian jadi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik atau BPS mengalami pertumbuhan negatif. Berdasarkan data BPS, industri tekstil pada kuartal 2 tahun 2022 tumbuh di angka 13,74%, kuartal 3 tumbuh 8,09%, dan kuartal 4 hanya tumbuh 3,61%.
Sedngkan pada tahun 2023 ini, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi di kuartal 1 tercatat -1,7% dan di kuartal 2 juga tumbuh negatif di angka -2,7%. Redma menilai kenaikan UMP tahun 2024 yang sudah diumumkan oleh Pemerintah ini akan menjadi beban baru bagi pelaku usaha terutama di industri tekstil dan pakaian jadi.
"UMK boleh tetap naik yaa, kita akan fight, tapi kita terserah pemerintah saja, mau naik berapa? ya kita ikut. Tapi satu hal, kalau kita mampu ya kita ikut. Tapi kalau kita tidak mampu, kita tidak ikut. Kalau kita tidak ikut, pemerintah mau kasih punishment, sudah pada pasrah ini industri," ujar Redma dalam Market Review IDXChannel, Rabu (22/11/2023).
Menurut Redma, kenaikan upah minimun ini memang menjadi salah satu instrumen untuk menjaga daya beli buruh itu sendiri. Namun di satu sisi kondisi industri terutama tekstil dan pakaian jadi saat ini menurutnya belum mengalami pemulihan.
Salah satu yang masih menjadi tantangan bagi pelaku industri tekstil dan pakaian jadi adalah maraknya importasi pakaian yang saat ini masih sulit dibendung pemerintah. Sehingga para pelaku industri saat ini masih susah mendapatkan pasar di dalam negeri karena ada barang impor, dan sulit melakukan ekspor karena permintaan pasar melemah.
Redma mengaku, kondisi pelemahan industri di sektor tekstil dan pakaian jadi ini juga sudah banyak dipahami oleh para pekerja. Bahkan menurutnya beberapa pekerja sebetulnya hanya butuh dipekerjakan, ketimbang harus mendapatkan upah yang naik, kemudian industrinya tidak bertahan lama.
"Kami memahami kalau kenaikan UMP ini untuk meningkatkan daya beli, tapi disatu sisi juga kemampuan kami untuk membayar, teman-teman karyawan sudah sangat paham. Kalau tidak naik pun, jaminan bekerja tidak ada jaminan," kata Redma.
"Sepertinya mereka lebih berharap bekerja dan dijamin tetap bekerja daripada kenaikan UMK, besok pabriknya tutup, di sektor tekstil ini biasanya sudah sama-sama mengerti," pungkasnya.
Bahkan selama setahun, industri tekstil dan pakaian jadi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik atau BPS mengalami pertumbuhan negatif. Berdasarkan data BPS, industri tekstil pada kuartal 2 tahun 2022 tumbuh di angka 13,74%, kuartal 3 tumbuh 8,09%, dan kuartal 4 hanya tumbuh 3,61%.
Sedngkan pada tahun 2023 ini, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi di kuartal 1 tercatat -1,7% dan di kuartal 2 juga tumbuh negatif di angka -2,7%. Redma menilai kenaikan UMP tahun 2024 yang sudah diumumkan oleh Pemerintah ini akan menjadi beban baru bagi pelaku usaha terutama di industri tekstil dan pakaian jadi.
"UMK boleh tetap naik yaa, kita akan fight, tapi kita terserah pemerintah saja, mau naik berapa? ya kita ikut. Tapi satu hal, kalau kita mampu ya kita ikut. Tapi kalau kita tidak mampu, kita tidak ikut. Kalau kita tidak ikut, pemerintah mau kasih punishment, sudah pada pasrah ini industri," ujar Redma dalam Market Review IDXChannel, Rabu (22/11/2023).
Menurut Redma, kenaikan upah minimun ini memang menjadi salah satu instrumen untuk menjaga daya beli buruh itu sendiri. Namun di satu sisi kondisi industri terutama tekstil dan pakaian jadi saat ini menurutnya belum mengalami pemulihan.
Salah satu yang masih menjadi tantangan bagi pelaku industri tekstil dan pakaian jadi adalah maraknya importasi pakaian yang saat ini masih sulit dibendung pemerintah. Sehingga para pelaku industri saat ini masih susah mendapatkan pasar di dalam negeri karena ada barang impor, dan sulit melakukan ekspor karena permintaan pasar melemah.
Redma mengaku, kondisi pelemahan industri di sektor tekstil dan pakaian jadi ini juga sudah banyak dipahami oleh para pekerja. Bahkan menurutnya beberapa pekerja sebetulnya hanya butuh dipekerjakan, ketimbang harus mendapatkan upah yang naik, kemudian industrinya tidak bertahan lama.
"Kami memahami kalau kenaikan UMP ini untuk meningkatkan daya beli, tapi disatu sisi juga kemampuan kami untuk membayar, teman-teman karyawan sudah sangat paham. Kalau tidak naik pun, jaminan bekerja tidak ada jaminan," kata Redma.
"Sepertinya mereka lebih berharap bekerja dan dijamin tetap bekerja daripada kenaikan UMK, besok pabriknya tutup, di sektor tekstil ini biasanya sudah sama-sama mengerti," pungkasnya.
(akr)