Revisi UU Minerba Bikin Happy Taipan Batu Bara

Kamis, 30 April 2020 - 15:44 WIB
loading...
Revisi UU Minerba Bikin Happy Taipan Batu Bara
Ekonom menilai revisi UU Minerba hanya mengakomodir keinginan konglomerat batubara agar bisa mengeruk batu bara untuk dieskpor ke luar negeri. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak agar revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batu bara (Minerba) yang saat ini sedang dikebut di DPR tidak sekedar menyenangkan alias bikin happy para taipan batubara dalam upaya melanggengkan bisnisnya.

Indikasi itu tertuang di dalam pasal revisi UU Minerba terkait jaminan perpanjangan izin perusahaan Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B).

“Kalau waktunya selesai 30 tahun ya seharusnya selesai, bukan diberikan jaminan perpanjangan sampai 10 tahun. Di Indonesia ini sering terjadi tidak ada limitasi, sehingga mereka mudah mencari celah untuk melakukan perpanjangan,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Kamis (30/4/2020).

Menurut dia, ruang pemberian jaminan perpanjangan di dalam revisi UU Minerba menunjukkan tidak adanya kepastian hukum berinvestasi di Indonesia sehingga merendahkan nilai tawar pemerintah di depan investor.

Untuk itu, pemerintah sebagai regulator seharusnya mulai merubah pola pikir supaya Pemerintah Indonesia mempunyai nilai tawar lebih tinggi di depan investor.

Pasalnya, posisi tawar investasi pertambangan di Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan 50 tahun silam. Begitu pun dengan eksistensi BUMN di sektor pertambangan, secara pembiayaan maupun teknologi sudah jauh lagi baik.

“Kita harus punya bergaining position yang tinggi. Menjadi regulator itu harus tegas dan konsisten dalam menjalankan aturan hukum. Begitu juga di negara lain seperti Amerika Serikat ataupun China investor harus mengikuti aturan negara bukan mereka yang mendikte,” tandas dia.

Tidak hanya itu, posisi tawar tinggi juga harus ditunjukkan kepada investor asing khususnya bagi pemegang Kontrak Karya (KK). Pihaknya menandaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak serta merta memberikan jaminan perpanjangan melalui perubahan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di pada revisi UU Minerba sebagai alasan menggairahkan investasi. Tanpa adanya kejelasan batasan operasi menunjukkan bahwa posisi tawar pemerintah berada di bawah investor.

“Tidak mungkin investor kemudian pergi pindah ke Vietnam atau Thailand, karena mereka belum tentu diberikan berkah yang sama seperti di Indonesia. Dengan demikian, tentu regulator harus berpihak kepada negara. Saya minta ini tegas karena berkaitan dengan pengusahaan tambang,” jelasnya.

Hal senada juga sempat diungkapkan oleh Ekonom Senior Indef Faisal Basri. Menurut dia, revisi UU Minerba hanya mengakomodir keinginan konglomerat batubara agar bisa mengeruk batu bara sebesar-besarnya untuk di eskpor ke luar negeri.

Apalagi, bisnis batu bara memang menggiurkan lantaran proses produksi tidak perlu modal besar hanya dikeruk kemudian masuk tongkang, lalu dieskpor ke luar negeri.

Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini pun menyebut, sepanjang tahun lalu produksi batubara mencapai 616 juta ton dengan nilai ekspor meningkat tajam mencapai USD19 miliar.

“Itu tertinggi sepanjang sejarah. Apalagi tahun pemilu produksi dan ekspornya naik. Nah, sekarang digelar lagi dua lapis karpet merah dengan rencana mengesahkan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law dan RUU Minerba,” kata dia.

Faisal mengungkapkan, paling tidak ada tujuh perusahaan batubara yang saat ini menguasai 70% produksi nasional. Menurut dia, sejumlah perusahaan tersebut PKP2B - nya akan berakhir pada periode 2020-2025 sehingga butuh perpanjangan di rezim ini.

Bahkan, Faisal tak tanggung-tanggung menyebut, sejumlah perusahaan itu memiliki andil besar dalam menentukan terpilihnya presiden, gubernur hingga walikota.

“Mereka itu bisa menentukan siapa presiden, gubernur hingga walikota. Demokrasi memang jalan, tapi pengendali antara lain kaum taipan batubara untuk memperkokoh terjadinya korporatokrasi di Indonesia,” cetusnya.

Dia pun membeberkan sejumlah pasal di RUU Minerba yang tujuannya untuk melanggengkan bisnis tambang batu bara. Sejumlah pasal tersebut di antaranya pasal 1 ayat 69a dan pasal 83. Terkait dengan pasal 1 ayat 69a pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B diberikan jaminan penuh perpanjangan walaupun telah habis kontrak.

Adapun jaminan tersebut diakomodir oleh pemerintah malalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui perubahan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi dengan sejumlah ketentuan.

Perpanjangan tersebut dijamin penuh melalui dua kali perpanjangan izin usaha operasi produksi masing-masing 10 tahun setelah berakhirnya KK dengan dalih meningkatkan penerimaan negara.

Lalu berkaitan dengan Pasal 83, dalihnya batubara digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik di dalam negeri walaupun hanya 10% dari program 35.000 megawatt (MW). Semisal produksi batubara sebesar 85 juta ton dengan kebutuhan 35.000 MW kira-kira hanya sebesar 10%.

Dengan ketentuan itu, imbuhnya, pengusaha batu bara mendapatkan jaminan perpanjangan 10 tahun setelah memenuhi persyaratan ketentuan perpanjangan mayoritas ekspor. Ekspor bisa diperpanjang 10 tahun dan ketentuan memasok kebutuhan dalam negeri selama 10 tahun.

Berdasarkan laporan, ada tujuh PKP2B generasi pertama yang kontraknya bakal habis di medio 2020-2025. Sejumlah perusahaan itu antara lain PT Berau Coal akan berakhir di 2025, PT Kideco Jaya Agung akan berakhir pada 2023, PT Multi Harapan Utama akan berakhir di 2022.

Selain itu, PT Adaro Energy Tbk akan berakhir pada 2022, PT Kaltim Prima Coal akan berakhir pada 2022, PT Kendilo Coal Indonesia akan berakhir pada 2021 dan PT Arutmin Indonesia akan berakhir pada 2020 ini.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1207 seconds (0.1#10.140)