Menkeu Sri Mulyani Melihat Secercah Harapan di 2024, Bagaimana Proyeksi Ekonominya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan atau Menkeu, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ada secercah harapan untuk tetap optimis di perekonomian 2024 . Dia mengatakan, selama 15 bulan, suku bunga di negara-negara maju naiknya luar biasa ekstrem.
Jika berbicara soal suku bunga The Fed atau bank sentral Amerika Serikat (AS), naiknya melebihi 500 basis poin hanya dalam waktu kurang dari 12 bulan.
"Suatu perekonomian yang diberikan shock begitu besar hingga menaikkan suku bunga begitu drastis biasanya tidak bertahan, biasanya dia melemah atau bisa resesi. Eropa juga sama, yang tadinya suku bunganya negatif atau nol, kenaikannya 400 basis poin," ujar Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Outlook Perekonomian di Jakarta, Jumat (22/12/2023).
Sehingga, kedua mesin ekonomi dunia itu mengalami perlambatan. Namun untuk AS, muncul suatu harapan karena resiliensi perekonomiannya hingga akhir tahun ini.
"Maka perekonomian terbesar dunia setidaknya bisa bertahan dengan kenaikan suku bunga yang begitu besar juga. Sementara China di sisi lain menghadapi masalah yang cukup struktural," ungkap Sri.
Jika dilihat dari konstelasi perekonomian dunia, ekonomi-ekonomi terbesar dunia semuanya mengalami persoalan struktural dan menghadapi shock dari sisi policy-driven, seperti kenaikan suku bunga.
"Maka dari itu kita harus berhati-hati, waspada. Waktu itu, untuk bisa optimis saja kita perlu untuk mencari alasan, mungkin kita melihatnya dari sisi domestik, demand kita, dari sisi consumption. Ekspor kan kelihatan tahun ini mengalami negative growth," sambung Sri.
Tak hanya itu, impor Indonesia pun mengalami pertumbuhan negatif. Akan tetapi, PMI manufaktur Indonesia masih positif di antara beberapa negara yang disurvei meski ekspor dan impor Indonesia tumbuh negatif.
"Untuk 2024, dengan situasi tadi, kalau suku bunganya tinggi dan bertahan agak lama, walau sekarang diskusinya 'lamanya berapa lama?'. Tadinya ada yang bilang 24 bulan, 18 bulan, sekarang lebih pendek lagi, bahkan ada harapan penurunan suku bunga di second half next year," kata Sri.
Dia mengatakan, ini memberikan harapan, muncul optimisme. Karena ini menandakan shock terburuk dari kenaikan suku bunga sudah dilewati.
"Persoalan yang barangkali kita perlu lihat, lebih ke masalah fundamental, seperti aging di China itu kan tidak bisa di-reserve dengan policy immediately, kalau masalah properti dan NPL itu juga tidak bisa kalau dilakukan restructuring, tidak akan bisa immediately memberikan pengaruh terhadap growth. Jadi ini masalah fundamental," imbuh Sri.
Selanjutnya adalah masalah fragmentasi dan geopolitik. Ini yang mungkin menyebabkan perekonomian yang sangat terglobalisasi, investasi dan perdagangan tadinya bisa berlalu lalang dan menimbulkan mesin pertumbuhan, sekarang menjadi semakin terfragmentasi.
"Ini menimbulkan downside risks. Jadi kita harus menghadapi 2024 dengan kondisi eksternal yang tidak friendly dan masalah fundamental," tandas Sri.
Jika berbicara soal suku bunga The Fed atau bank sentral Amerika Serikat (AS), naiknya melebihi 500 basis poin hanya dalam waktu kurang dari 12 bulan.
"Suatu perekonomian yang diberikan shock begitu besar hingga menaikkan suku bunga begitu drastis biasanya tidak bertahan, biasanya dia melemah atau bisa resesi. Eropa juga sama, yang tadinya suku bunganya negatif atau nol, kenaikannya 400 basis poin," ujar Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Outlook Perekonomian di Jakarta, Jumat (22/12/2023).
Sehingga, kedua mesin ekonomi dunia itu mengalami perlambatan. Namun untuk AS, muncul suatu harapan karena resiliensi perekonomiannya hingga akhir tahun ini.
"Maka perekonomian terbesar dunia setidaknya bisa bertahan dengan kenaikan suku bunga yang begitu besar juga. Sementara China di sisi lain menghadapi masalah yang cukup struktural," ungkap Sri.
Jika dilihat dari konstelasi perekonomian dunia, ekonomi-ekonomi terbesar dunia semuanya mengalami persoalan struktural dan menghadapi shock dari sisi policy-driven, seperti kenaikan suku bunga.
"Maka dari itu kita harus berhati-hati, waspada. Waktu itu, untuk bisa optimis saja kita perlu untuk mencari alasan, mungkin kita melihatnya dari sisi domestik, demand kita, dari sisi consumption. Ekspor kan kelihatan tahun ini mengalami negative growth," sambung Sri.
Tak hanya itu, impor Indonesia pun mengalami pertumbuhan negatif. Akan tetapi, PMI manufaktur Indonesia masih positif di antara beberapa negara yang disurvei meski ekspor dan impor Indonesia tumbuh negatif.
"Untuk 2024, dengan situasi tadi, kalau suku bunganya tinggi dan bertahan agak lama, walau sekarang diskusinya 'lamanya berapa lama?'. Tadinya ada yang bilang 24 bulan, 18 bulan, sekarang lebih pendek lagi, bahkan ada harapan penurunan suku bunga di second half next year," kata Sri.
Dia mengatakan, ini memberikan harapan, muncul optimisme. Karena ini menandakan shock terburuk dari kenaikan suku bunga sudah dilewati.
"Persoalan yang barangkali kita perlu lihat, lebih ke masalah fundamental, seperti aging di China itu kan tidak bisa di-reserve dengan policy immediately, kalau masalah properti dan NPL itu juga tidak bisa kalau dilakukan restructuring, tidak akan bisa immediately memberikan pengaruh terhadap growth. Jadi ini masalah fundamental," imbuh Sri.
Selanjutnya adalah masalah fragmentasi dan geopolitik. Ini yang mungkin menyebabkan perekonomian yang sangat terglobalisasi, investasi dan perdagangan tadinya bisa berlalu lalang dan menimbulkan mesin pertumbuhan, sekarang menjadi semakin terfragmentasi.
"Ini menimbulkan downside risks. Jadi kita harus menghadapi 2024 dengan kondisi eksternal yang tidak friendly dan masalah fundamental," tandas Sri.
(akr)