IMF: Kecerdasan Buatan Bakal Memukul 40% Pekerjaan dan Memperburuk Ketidaksetaraan

Senin, 15 Januari 2024 - 12:51 WIB
loading...
IMF: Kecerdasan Buatan...
Dana Moneter Internasional atau IMF dalam analisis terbarunya menyebutkan, bahwa Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bakal mempengaruhi hampir 40% dari semua pekerjaan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau IMF dalam analisis terbarunya menyebutkan, bahwa Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bakal mempengaruhi hampir 40% dari semua pekerjaan. Direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva mengatakan, AI kemungkinan juga akan memperburuk ketidaksetaraan secara keseluruhan.



Georgieva mengingatkan, para pembuat kebijakan harus bisa mengatasi tren tersebut, serta mencegah teknologi memicu ketimpangan sosial makin besar. Manfaat serta risiko dari kehadiran kecerdasan buatan telah lama menjadi sorotan.

IMF menyebutkan, AI kemungkinan mempengaruhi proporsi pekerjaan yang lebih besar sekitar 60% di negara maju. Namun setengahnya, pekerja bisa mendapatkan manfaat dari integrasi AI, dimana justru akan meningkatkan produktivitas mereka.



Dalam kasus berbeda, AI bisa mempunyai kemampuan untuk melakukan tugas-tugas utama yang saat ini dijalankan oleh manusia. Efeknya bisa menurunkan permintaan tenaga kerja, mempengaruhi upah dan bahkan menghapus beberapa jenis pekerjaan.

Sementara itu, IMF memproyeksikan, bahwa teknologi akan mempengaruhi hanya 26% pekerjaan di negara-negara berpenghasilan rendah.

"Banyak dari negara-negara ini tidak memiliki infrastruktur atau tenaga kerja terampil untuk memanfaatkan AI. Namun di sisi lain meningkatkan risiko bahwa seiring waktu teknologi dapat memperburuk ketidaksetaraan di antara negara-negara," ujar Georgieva.

Secara umum, pekerja dengan penghasilan tinggi dan berusia lebih muda mungkin melihat kenaikan upah yang tidak proporsional setelah mengadopsi AI. Sedangkan IMF meyakini, pekerja berpenghasilan rendah dan lebih tua bisa tertinggal.

"Sangat penting bagi negara-negara untuk membangun jaring pengaman sosial yang komprehensif dan menawarkan program pelatihan ulang untuk pekerja yang rentan," kata Georgieva.

"Dengan demikian, kita dapat membuat transisi AI lebih inklusif, melindungi mata pencaharian dan membatasi ketidaksetaraan," paparnya.

Analisis IMF diungkapkan, ketika para pemimpin bisnis dan politik global berkumpul di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. AI menjadi topik diskusi, menyusul lonjakan popularitas aplikasi seperti ChatGPT.

Teknologi ini sedang menghadapi peningkatan regulasi di seluruh dunia. Bulan lalu, Pejabat Uni Eropa mencapai kesepakatan sementara tentang undang-undang komprehensif pertama di dunia untuk mengatur penggunaan AI.

Parlemen Eropa akan memberikan suara pada proposal Undang-Undang AI awal tahun ini, tetapi undang-undang apa pun tidak akan berlaku sampai setidaknya 2025. Sementara itu, AS, Inggris, dan China belum menerbitkan pedoman AI mereka sendiri.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1273 seconds (0.1#10.140)