Beras Kian Mahal, Berpotensi Munculkan Kaum Miskin Baru

Kamis, 22 Februari 2024 - 13:26 WIB
loading...
Beras Kian Mahal, Berpotensi...
Melonjaknya harga beras dinilai berpotensi memunculkan kaum miskin baru. FOTO/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pengamat pangan dan pertanian Khudori mewanti-wanti kemungkinan munculnya kaum miskin baru jika harga beras tak terkendali. Mereka adalah kelompok yang selama ini hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan.

"Buat warga miskin, mereka tidak perlu khawatir karena sudah ada PKH, Program Sembako, bantuan pangan beras 10 kg/keluarga/bulan, bahkan ada BLT Mitigasi Risiko Pangan yang dirapel 3 bulan Rp600 ribu/keluarga. Bantuan pangan beras yang sempat dihentikan penyalurannya jelang Pilpres, per 15 Februari lalu mulai disalurkan lagi," ujarnya, Kamis (22/2/2024).

Menurut dia, yang juga perlu menjadi perhatian saat ini adalah kelompok yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan. Jika harga beras dan pangan terus naik, maka kelompok ini potensial menjadi kaum miskin baru. "Karena mereka belum tersentuh aneka bantuan sosial dan jaring pengaman sosial itu," jelasnya.



Khudori mengatakan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memang telah menugaskan Bulog untuk menggencarkan operasi pasar yang bernama SPHP (stabilisasi pasokan dan harga pangan). Beras SPHP ini menurutnya bisa menjadi pilihan warga miskin/rentan karena harganya lebih terjangkau yaitu, Rp11.500 sampai 11.800/kg, jauh di bawah harga pasar. "Perlu dipastikan, beras SPHP ini bisa menjangkau seluas mungkin warga," tandasnya.

Dia menambahkan, pemerintah dalam beberapa hari terakhir juga menggandeng Food Station (FS) yang akan mencampur beras lokal dengan beras impor dan menjualnya dengan harga beras premium Rp13.900/kg dengan memanfaatkan merek FS. Aneka beras bermerek punya FS itu bisa ditemukan di jejaring ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret.

Menurut dia, cara-cara ini bisa dilakukan untuk menjangkau lebih banyak warga. Kendati demikian, Khudori menilai masih akan ada kelangkaan karena Bulog dan FS belum bisa menjangkau semua.

"Saya tidak punya informasi memadai seperti yang disampaikan Aprindo bahwa para pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang enggan mengemas ulang beras SPHP dari Bulog dengan kemasan 5 kg untuk dijual dalam bentuk eceran," tuturnya.

Namun, lanjutnya, jika informasi ini benar, maka pemerintah lewat Bulog sebaiknya memasok beras ke Pasar Induk Beras Cipinang dalam bentuk kemasan 5 kg, seperti beras SPHP yang dijual di berbagai outlet selama ini. Sebab saat ini harga gabah di pasar sedang tinggi.

"Info dari Jatim misalnya, harga antara Rp8.400-Rp8.800/kg gabah kering panen. Ini amat tinggi. Untuk jadi beras setidaknya harganya antara Rp15.850-Rp16.600/kg dengan rendemen 53%. Di Jalur, Sumsel, harga gabah kering panen hari2 ini Rp7.500/kg. Untuk jadi beras sudah di harga Rp14.200/kg. Sementara HET beras premium jauh di bawah itu, Rp13.900/kg. Ini yang membuat pedagang beras dan penggilingan padi menjerit," paparnya.

Khudori juga menyebutkan bahwa pedagang dan penggilingan padi tidak lagi memasok ke ritel-ritel modern karena merugi. Di sisi lain, pengelola ritel modern tidak berani melanggar HET. Sehingga, jika pedagang dan penggilingan tetap ingin menjual produknya di ritel/pasar modern, rata-rata pengelola ritel meminta/membeli harga di bawah HET Rp13.900/kg agar tidak merugi.

"Kalau peritel modern ambil untung Rp200/kg berarti terima dari pedagang atau penggilingan Rp13.700/kg. Jika untung peritel lebih gede dari itu, harga dari pedagang atau penggilingan lebih rendah lagi. Alias kerugian pedagang/penggilingan lebih besar lagi," paparnya.

Daripada merugi, sambung Khudori, pedagang dan penggilingan saat ini lebih banyak menjual beras di pasar tradisional. Karena itu, jika diperiksa di pasar tradisional sepertinya tidak ada masalah pasokan. Juga tidak ada pembatasan pembelian seperti di pasar modern. Hal ini karena di pasar tradisional sejak ada HET, beleid itu tak pernah dipatuhi.



Khudori menambahkan, oleh karena itu, penting bagi pemerintah lewat Badan Pangan Nasional untuk menimbang ulang HET beras. Kebijakan yang sudah berlaku sejak September 2017 itu perlu dievaluasi efektivitasnya di pasar seperti apa, termasuk dampaknya pada ndustri perberasan secara keseluruhan.

"Dalam waktu yang sama, tidak ada salahnya buat Badan Pangan Nasional untuk menghitung ulang biaya produksi padi. Jangan-jangan harga gabah yang tinggi dan terus naik itu lantaran struktur ongkos produksi memang sudah berubah," pungkasnya.

Terkait tren harga beras yang merangkak naik, Khudori mengungkapkan bahwa biang keroknya adalah lantaran pasokan yang terbatas. Menurut dia, produksi beras domestik memang tengah terbatas. Saat ini masih paceklik dan diperkirakannya sampai April 2024. Khudori menilai, panen besar kemungkinan baru akhir April atau awal Mei 2024.

"Ini memang krusial karena Maret ada Ramadan dan April ada Idul Fitri. Penting buat pemerintah untuk memastikan pasokan beras dalam jumlah memadai. Jika tidak, harga potensial terus naik dan bisa menimbulkan kegaduhan, bahkan mengguncang kondisi sosial-politik," tandasnya.
(fjo)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1233 seconds (0.1#10.140)