Rupiah Ditutup Melemah ke Rp15.742 per Dolar AS Sore Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah sore ini kembali ditutup melemah 38 poin ke level Rp15.742 setelah sebelumnya sempat turun 40 poin di level Rp15.704.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar AS menguat karena meningkatnya ketegangan geopolitik akibat konflik Israel-Hamas dan serangan Houthi terhadap pelayaran Laut Merah membuat kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi global akan meredup.
"Dalam beberapa komentar paling keras yang dilontarkan pemimpin senior AS, Wakil Presiden AS Kamala Harris pada Minggu menuntut kelompok militan Palestina Hamas menyetujui gencatan senjata segera selama enam minggu sambil dengan tegas mendesak Israel berbuat lebih banyak guna meningkatkan pengiriman bantuan ke Gaza," tulis Ibrahim dalam risetnya, Senin (4/3/2024).
Kemudian, data sentimen konsumen yang lebih lemah dari perkiraan dan data indeks harga PCE yang sejalan memicu anggapan ini selama seminggu terakhir. Spekulasi mengenai suku bunga menempatkan kesaksian Ketua Fed Jerome Powell yang akan datang menjadi fokus utama, di mana para analis memperkirakan dia akan menegaskan kembali bahwa suku bunga akan tetap bertahan dalam jangka pendek.
Fokus minggu ini juga tertuju pada data nonfarm payrolls untuk bulan Februari, yang akan dirilis pada hari Jumat, mengingat kekuatan pasar tenaga kerja juga merupakan salah satu pertimbangan utama The Fed untuk menyesuaikan suku bunga.
Selain itu, para pedagang menghindari taruhan besar menjelang Kongres Rakyat Nasional tahun 2024. Beijing diperkirakan akan meluncurkan lebih banyak langkah stimulus untuk mendukung pemulihan ekonomi yang melambat, terutama ketika negara tersebut bergulat dengan krisis pasar properti dan tren deflasi yang memburuk.
Dari sentimen domestik, Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Februari menyentuh skor 52,7, turun dari 52,9 pada Januari. Meski begitu, PMI Manufaktur tersebut masih tergolong ekspansif. Berdasarkan indeks S&P Global, skor PMI Manufaktur itu didukung produksi manufaktur yang cenderung naik pada Februari. Selain itu, tingkat pertumbuhan juga cenderung solid, meski mengalami penurunan dari Januari.
Berdasarkan rilis S&P, kenaikan itu didorong oleh jumlah pekerjaan baru yang masuk semakin besar, serta perbaikan kondisi permintaan. Hal ini pun merangsang permintaan baru yang naik selama sembilan bulan berturut-turut. Sebaliknya, permintaan asing terhadap produk manufaktur justru mengalami stagnasi. S&P mengungkap sebagian besar stok di beberapa konsumen negara tujuan ekspor masih cukup melimpah, sehingga tidak mendorong pesanan baru.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar AS menguat karena meningkatnya ketegangan geopolitik akibat konflik Israel-Hamas dan serangan Houthi terhadap pelayaran Laut Merah membuat kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi global akan meredup.
"Dalam beberapa komentar paling keras yang dilontarkan pemimpin senior AS, Wakil Presiden AS Kamala Harris pada Minggu menuntut kelompok militan Palestina Hamas menyetujui gencatan senjata segera selama enam minggu sambil dengan tegas mendesak Israel berbuat lebih banyak guna meningkatkan pengiriman bantuan ke Gaza," tulis Ibrahim dalam risetnya, Senin (4/3/2024).
Kemudian, data sentimen konsumen yang lebih lemah dari perkiraan dan data indeks harga PCE yang sejalan memicu anggapan ini selama seminggu terakhir. Spekulasi mengenai suku bunga menempatkan kesaksian Ketua Fed Jerome Powell yang akan datang menjadi fokus utama, di mana para analis memperkirakan dia akan menegaskan kembali bahwa suku bunga akan tetap bertahan dalam jangka pendek.
Fokus minggu ini juga tertuju pada data nonfarm payrolls untuk bulan Februari, yang akan dirilis pada hari Jumat, mengingat kekuatan pasar tenaga kerja juga merupakan salah satu pertimbangan utama The Fed untuk menyesuaikan suku bunga.
Selain itu, para pedagang menghindari taruhan besar menjelang Kongres Rakyat Nasional tahun 2024. Beijing diperkirakan akan meluncurkan lebih banyak langkah stimulus untuk mendukung pemulihan ekonomi yang melambat, terutama ketika negara tersebut bergulat dengan krisis pasar properti dan tren deflasi yang memburuk.
Dari sentimen domestik, Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Februari menyentuh skor 52,7, turun dari 52,9 pada Januari. Meski begitu, PMI Manufaktur tersebut masih tergolong ekspansif. Berdasarkan indeks S&P Global, skor PMI Manufaktur itu didukung produksi manufaktur yang cenderung naik pada Februari. Selain itu, tingkat pertumbuhan juga cenderung solid, meski mengalami penurunan dari Januari.
Berdasarkan rilis S&P, kenaikan itu didorong oleh jumlah pekerjaan baru yang masuk semakin besar, serta perbaikan kondisi permintaan. Hal ini pun merangsang permintaan baru yang naik selama sembilan bulan berturut-turut. Sebaliknya, permintaan asing terhadap produk manufaktur justru mengalami stagnasi. S&P mengungkap sebagian besar stok di beberapa konsumen negara tujuan ekspor masih cukup melimpah, sehingga tidak mendorong pesanan baru.