25 Retail Megashifts

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 09:10 WIB
loading...
25 Retail Megashifts
Foto/dok
A A A
Yuswohady
Managing Partner Inventure

#1. “Healthy, Safety, Sustainability” (HSS) Concept Gains Momentum


Ketika konsumen diliputi ketakutan terpapar virus Covid-19, maka higienitas dan keselamatan menjadi prioritas utama mereka dalam membeli dan mengonsumsi barang. Maka kesehatan, keamanan, dan kepedulian lingkungan di dunia ritel akan menjadi kenormalan baru yang bersifat permanen.

Ritel adalah sektor yang berada di posisi “front-end” yang langsung bersentuhan dan berinteraksi dengan konsumen. Karena itu, setiap peritel harus memosisikan dirinya sebagai “responsible brand” yang berkomitmen menjaga keselamatan konsumen dari paparan Covid-19. Di era pandemi, konsep healthy, safety, dan sustainability akan menemukan momentumnya. (Baca: Winning in The New Normal)

#2. Acceleration of E-commerce

Wabah Covid-19 membuat banyak orang berdiam diri di rumah sehingga toko daring menjadi salah satu pilihan untuk berbelanja. Belanja daring pun mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk yang sifatnya adalah kebutuhan (needs).

Karena itu, kami mengatakan Covid-19 telah membuat pola belanja konsumen secara online semakin melebar (widening). Konsumen mulai membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari (daily needs) secara daring seperti groceries. Tak hanya melebar dari hanya pembelian barang non-esensial ke barang esensial, Covid-19 juga memaksa konsumen melakukan pembelian daring lebih besar (deepening).

#3. Boost of Contactless Payment

Sejak WHO mengumumkan bahwa uang kertas berpotensi menyebarkan virus korona, dengan segera masyarakat berbondong-bondong beralih ke transaksi digital. Covid-19 memaksa masyarakat memilih opsi contactless payment saat bertransaksi karena alasan keamanan dan kebersihan. Mereka berupaya meminimalkan sentuhan keypad pada terminal pembayaran jika menggunakan kartu ATM dan uang tunai.

Pergeseran transaksi dari uang tunai ke dompet digital juga didukung dengan berkembangnya sektor elektronik menggunakan quick response code Indonesia standard (QRIS) di berbagai kanal yang memungkinkan masyarakat melakukan contactless transactions. Di era low-touch economy, transaksi tanpa kontak bakal menjadi the new industry standard. (Baca juga: Jelang Deklarasi, Dukungan Terhadap Koalisi Din Syamsuddin dkk Muncul)

#4. Official Store Become Mainstream

Peningkatan arus belanja online selama masa pandemi menjadi kesempatan bagi para produsen (principal) untuk memperlebarkan sayap perusahaan ke ranah digital. Mereka mulai berbondong-bondong membuka official store di berbagai e-commerce.

Ketika hand sanitizer diburu masyarakat tiga bulan lalu, Antis laku keras di pasar sehingga harganya meroket. Maka Enesis memanfaatkan official store di berbagai e-commerce sehingga dapat melakukan pembatasan pembelian per user dan menjamin harga yang diterima konsumen adalah harga normal.

BMW beberapa bulan lalu meluncurkan official store di Tokopedia dan berhasil mendapat antusiasme dari pelanggan mereka. Terbukti dari hasil penjualan BMW seri 3 Touring yang dikeluarkan hanya 25 unit di Tokopedia, sold out dalam waktu satu pekan.

#5. The Birth of New Retail

Covid-19 telah mempercepat pengaplikasian apa yang disebut sebagai ”new retail”. Model baru ini merupakan wajah baru ritel di masa depan dengan mengusung konsep penggabungan antara layanan daring ke luring. Contohnya adalah mitra Tokopedia, Warung Pintar, Wahyoo, atau Grabkios. (Baca juga: Tok, OJK Bekukan Kegiatan Usaha Asuransi Jiwa Kresna)

Ada dua alasan besar yang mendorong penerapan new retail memperoleh masa emasnya selama new normal. Pertama, adalah tingginya fokus penyedia layanan dalam memenuhi kebutuhan personal dari konsumen. Kedua, relaksasi PSBB membuat konsumen secara bertahap mulai berbelanja kembali secara offline. Alhasil, ritel fisik mulai kembali beroperasi namun dengan gaya yang berbeda. Ritel secara perlahan mulai terdigitalisasi, menyisipkan fitur digital ke dalam beberapa aspek bisnisnya. Meng-upgrade ritel konvensional menjadi lebih modern.

#6. Local Product, Local Supply-Chain

Terputusnya rantai pasokan ekonomi dalam skala global berdampak pada proses produksi dan distribusi barang yang terkendala. Di sisi lain, stok barang, terutama untuk produk kesehatan dan makanan mengalami penipisan, padahal permintaan barang terus mengalami kenaikan. Akibatnya stok barang kosong, terjadi kelangkaan, dan harga barang melambung tinggi.

Untuk alasan itu, baik perusahaan maupun konsumen menjadi lebih sadar mengenai sumber produksi barang, efeknya, preferensi konsumen mengalami pergeseran. Konsumen lebih memilih produk dengan stok barang yang terjangkau sehingga pengiriman lebih cepat dan barang masih dalam kondisi aman. Singkatnya, tren produk lokal akan mengalami peningkatan penjualan baik selama maupun setelah pandemi. (Baca juga: Ilmuwan Jepang Bangunkan Mikroba yang Tertidur Selama 100 Juta Tahun)

#18. Community-based Close Loop Commerce

Di saat PSBB diberlakukan, marak aktivitas penawaran atau jualan produk melalui aplikasi WhatsApp dengan cara membagikan informasi produk dagangannya di berbagai pesan grup yang mengandalkan tali pertemanan. Closed-loop commerce ini melibatkan jaringan pertemanan, di mana konsumen adalah sesama teman, kerabat, atau rekan kerja si penjual. Motifnya sederhana orang saling tolong-menolong selama masa sulit: saling menjual dan saling membeli.

Close-loop commerce atau jual beli antarteman melalui platform digital adalah bentuk survival para pelaku UKM di Tanah Air yang didukung munculnya tren empathic society. Ya, karena motif jual belinya tak melulu karena alasan bisnis tapi juga sosial. (Lihat videonya: Aksi Begal Asusila di Padang, Korban Mengalami Trauma)

Proses jual beli tersebut terbentuk sebagai bentuk kepedulian antarteman mengingat banyak kelompok masyarakat yang terkena lay-off atau bisnisnya tutup karena tidak lagi ada pembeli.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1716 seconds (0.1#10.140)