Netizen Protes THR 2024 Dipotong Pajak, Ini Penjelasan DJP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merespons ramainya protes warganet alias netizen ihwal besarnya potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya ( THR ) di Maret 2024. Protes ini ramai di sosial media sejak beberapa hari lalu.
Biang kerok penerapan skema baru penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang diterapkan sejak Januari lalu. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyebut terdapat metode penghitungan PPh pasal 21 pada bulan diterimanya tunjangan hari raya dengan skema tarif efektif rata-rata (TER).
Di mana, PPh 21 dihitung dengan menjumlahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan bersangkutan, kemudian dikali dengan tarif sesuai tabel TER. Hasilnya, potongan pada bulan diterimanya THR akan lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya.
"Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR memang akan lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar, sebab terdiri dari komponen gaji dan THR," ujar Dwi dikutip, di Jakarta, Sabtu (30/3/2024).
Adapun, THR yang diterima karyawan perusahaan termasuk objek PPh 21. Kebijakan ini diatur melalui Pasal 4 ayat 1 huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Lalu, pengenaan pajak THR diatur dalam Peraturan DIrektur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Namun, terdapat perubahan skema penghitungan PPh 21 dengan TER yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023. Beleid ini merupakan simplifikasi cara perhitungan PPh pasal 21 melalui Tarif Efektif Rata Rata.
Bila metode penghitungan sebelumnya pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif Pasal 17 yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR, maka dalam aturan baru pemberi kerja cukup menghitung penghasilan bruto sebulan dikali TER bulanan.
Komponen penghasilan bruto yang dimaksud mencakup gaji dan tunjangan teratur, termasuk uang lembur bonus, THR, jasa produksi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur, imbalan dari kegiatan yang digelar oleh pemberi kerja, pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan yang dibayarkan pemberi kerja, serta pembayaran premi asuransi yang dibayarkan pemberi kerja.
Sebagai contoh, seorang pegawai tetap belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp6,5 juta pada masa pajak Februari, maka penghitungan PPh 21 menggunakan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1 persen. Sementara pada masa pajak Maret, pegawai tersebut menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja sebesar Rp13 juta karena dijumlah dengan THR. Maka, tarif efektif bulanan PPh 21 yang digunakan adalah kategori A sebesar 5 persen.
Dwi menilai penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 masa pajak Januari hingga November.
Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan menghitung kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh Pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari sampai November sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.
Biang kerok penerapan skema baru penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang diterapkan sejak Januari lalu. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyebut terdapat metode penghitungan PPh pasal 21 pada bulan diterimanya tunjangan hari raya dengan skema tarif efektif rata-rata (TER).
Di mana, PPh 21 dihitung dengan menjumlahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan bersangkutan, kemudian dikali dengan tarif sesuai tabel TER. Hasilnya, potongan pada bulan diterimanya THR akan lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya.
"Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR memang akan lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar, sebab terdiri dari komponen gaji dan THR," ujar Dwi dikutip, di Jakarta, Sabtu (30/3/2024).
Adapun, THR yang diterima karyawan perusahaan termasuk objek PPh 21. Kebijakan ini diatur melalui Pasal 4 ayat 1 huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Lalu, pengenaan pajak THR diatur dalam Peraturan DIrektur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Namun, terdapat perubahan skema penghitungan PPh 21 dengan TER yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023. Beleid ini merupakan simplifikasi cara perhitungan PPh pasal 21 melalui Tarif Efektif Rata Rata.
Bila metode penghitungan sebelumnya pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif Pasal 17 yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR, maka dalam aturan baru pemberi kerja cukup menghitung penghasilan bruto sebulan dikali TER bulanan.
Komponen penghasilan bruto yang dimaksud mencakup gaji dan tunjangan teratur, termasuk uang lembur bonus, THR, jasa produksi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur, imbalan dari kegiatan yang digelar oleh pemberi kerja, pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan yang dibayarkan pemberi kerja, serta pembayaran premi asuransi yang dibayarkan pemberi kerja.
Sebagai contoh, seorang pegawai tetap belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp6,5 juta pada masa pajak Februari, maka penghitungan PPh 21 menggunakan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1 persen. Sementara pada masa pajak Maret, pegawai tersebut menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja sebesar Rp13 juta karena dijumlah dengan THR. Maka, tarif efektif bulanan PPh 21 yang digunakan adalah kategori A sebesar 5 persen.
Dwi menilai penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 masa pajak Januari hingga November.
Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan menghitung kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh Pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari sampai November sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.
(nng)