Power Wheeling untuk EBT Perlu Diiringi Skema B2B Biaya Sewa yang Adil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana menerapkan konsep power wheeling untuk mendongkrak pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri, jika direalisasikan, dinilai perlu diikuti dengan skema business to business (B2B) yang jelas untuk menentukan biaya sewa antara produsen listrik dengan pemilik jaringan transmisi.
Praktisi energi terbarukan Mardani Surya Hutama mengatakan, hal itu penting untuk memastikan pemilik jaringan transmisi memperoleh kompensasi yang adil. Pasalnya, jelas dia, membangun jaringan transmisi selain sulit juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Tak hanya itu, pemilik jaringan juga harus menanggung risiko jika terjadi gangguan.
"Jadi jika mau bicara fair, pelanggan yang menikmati energi terbarukan juga perlu sadar bahwa itu bisa dinikmati berkat adanya jalur transmisi dan distribusi milik PLN," ujar Mardani di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Untuk diketahui, power wheeling adalah mekanisme yang membolehkan swasta atau independent power producer (IPP) membangun pembangkit, dan menjual listriknya secara langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Skema ini tengah didorong untuk diterapkan bagi pembangkit EBT guna mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Namun, kata Mardani, kendati pengembangan EBT penting, hal itu harusnya tidak lantas menafikan hak pemilik jaringan transmisi. Karena itu, tegas dia, pelaksanaan konsep power wheeling ini perlu memastikan biaya sewa penggunaan jaringan transmisi secaraB2B antara produsen dengan pemilik jaringan.
"Sangat tidak fair kalau pembangkit EBT menjual listrik tanpa membangun jaringan kabel transmisi dan distribusi. Sebab, risiko kelistrikan tetap larinya ke pemilik jaringan, termasuk risiko dari sifat intermitensi pembangkit EBT-nya," tuturnya.
Dengan menggunakan skema B2B, lanjut Mardani, biaya sewa bisa dipastikan dengan adil. Dengan begitu, produsen yang sudah bisa menghasilkan EBT bisa melakukan penjualan dan pemilik jaringan transmisi pun diuntungkan. "Win-win solutions jadinya, bukan pemaksaan sepihak saja," tandasnya.
Praktisi energi terbarukan Mardani Surya Hutama mengatakan, hal itu penting untuk memastikan pemilik jaringan transmisi memperoleh kompensasi yang adil. Pasalnya, jelas dia, membangun jaringan transmisi selain sulit juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Tak hanya itu, pemilik jaringan juga harus menanggung risiko jika terjadi gangguan.
"Jadi jika mau bicara fair, pelanggan yang menikmati energi terbarukan juga perlu sadar bahwa itu bisa dinikmati berkat adanya jalur transmisi dan distribusi milik PLN," ujar Mardani di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Untuk diketahui, power wheeling adalah mekanisme yang membolehkan swasta atau independent power producer (IPP) membangun pembangkit, dan menjual listriknya secara langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Skema ini tengah didorong untuk diterapkan bagi pembangkit EBT guna mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Namun, kata Mardani, kendati pengembangan EBT penting, hal itu harusnya tidak lantas menafikan hak pemilik jaringan transmisi. Karena itu, tegas dia, pelaksanaan konsep power wheeling ini perlu memastikan biaya sewa penggunaan jaringan transmisi secaraB2B antara produsen dengan pemilik jaringan.
"Sangat tidak fair kalau pembangkit EBT menjual listrik tanpa membangun jaringan kabel transmisi dan distribusi. Sebab, risiko kelistrikan tetap larinya ke pemilik jaringan, termasuk risiko dari sifat intermitensi pembangkit EBT-nya," tuturnya.
Dengan menggunakan skema B2B, lanjut Mardani, biaya sewa bisa dipastikan dengan adil. Dengan begitu, produsen yang sudah bisa menghasilkan EBT bisa melakukan penjualan dan pemilik jaringan transmisi pun diuntungkan. "Win-win solutions jadinya, bukan pemaksaan sepihak saja," tandasnya.
(fjo)