Wall Street Berakhir Kebakaran Saat Inflasi AS Membara
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Wall Street mengalami koreksi pada penutupan Rabu (10/4) waktu Amerika Serikat (AS). Tingkat inflasi AS yang memanas melemahkan harapan bahwa Federal Reserve atau the Fed akan mulai memangkas suku bunga pada Juni mendatang.
Dow Jones Industrial Average turun 1,09%, menjadi 38.461,51, S&P 500 kehilangan 0,95% di 5.160,64. Sedangkan Nasdaq Composite melemah 0,84% di 16.170,36.
Dari 11 sektor utama di S&P 500, semua sektor kecuali energi berakhir di zona merah, dengan saham real estat mengalami penurunan paling tajam.
Sejak bel pembukaan indeks pasar modal AS merosot tajam, menyusul laporan Indeks Harga Konsumen (CPI) Departemen Tenaga Kerja mencatat tingkat inflasi AS mencapai 3,5% year-on-year (yoy), alias naik dari perkiraan pasar di level 3,4% yoy.
"Data inflasi yang panas menyebabkan aksi jual (di bursa saham). Kekecewaan ini menimbulkan tanda tanya bukan hanya kapan The Fed akan memotong suku bunga, melainkan seberapa banyak yang akan dipangkas,” kata Chief Market Strategies, Ryan Detrick, dilansir Reuters, Kamis pagi, (11/4).
Sejatinya kekhawatiran terhadap inflasi telah tercermin dalam rrisalah pertemuan pejabat The Fed pada periode Maret. Anggota bank sentral menilai ada peluang inflasi bakal kembali memanas, sehingga diperlukan pengetatan moneter lebih lanjut.
“Baru seminggu yang lalu (Gubernur Fed Jerome) Powell mengisyaratkan ada tiga pemotongan,” tambah Detrick. “Kita harus bertanya-tanya apakah pendapatnya telah berubah setelah adanya data ini (inflasi,” paparnya.
Tekanan terhadap bursa saham tak hanya datang dari sentimen makro, kenaikan benchmark imbal hasil Treasury, yang menembus 4,5% hingga menyentuh level tertinggi sejak November juga membebani selera risiko investor.
Pasar kini telah memperhitungkan kemungkinan penurunan suku bunga Fed sebesar 25 basis poin pada bulan Juni sebesar 16,5%, turun dari 56,0% sesaat sebelum rilis laporan tersebut, menurut indikator FedWatch.
Dow Jones Industrial Average turun 1,09%, menjadi 38.461,51, S&P 500 kehilangan 0,95% di 5.160,64. Sedangkan Nasdaq Composite melemah 0,84% di 16.170,36.
Dari 11 sektor utama di S&P 500, semua sektor kecuali energi berakhir di zona merah, dengan saham real estat mengalami penurunan paling tajam.
Sejak bel pembukaan indeks pasar modal AS merosot tajam, menyusul laporan Indeks Harga Konsumen (CPI) Departemen Tenaga Kerja mencatat tingkat inflasi AS mencapai 3,5% year-on-year (yoy), alias naik dari perkiraan pasar di level 3,4% yoy.
"Data inflasi yang panas menyebabkan aksi jual (di bursa saham). Kekecewaan ini menimbulkan tanda tanya bukan hanya kapan The Fed akan memotong suku bunga, melainkan seberapa banyak yang akan dipangkas,” kata Chief Market Strategies, Ryan Detrick, dilansir Reuters, Kamis pagi, (11/4).
Sejatinya kekhawatiran terhadap inflasi telah tercermin dalam rrisalah pertemuan pejabat The Fed pada periode Maret. Anggota bank sentral menilai ada peluang inflasi bakal kembali memanas, sehingga diperlukan pengetatan moneter lebih lanjut.
“Baru seminggu yang lalu (Gubernur Fed Jerome) Powell mengisyaratkan ada tiga pemotongan,” tambah Detrick. “Kita harus bertanya-tanya apakah pendapatnya telah berubah setelah adanya data ini (inflasi,” paparnya.
Tekanan terhadap bursa saham tak hanya datang dari sentimen makro, kenaikan benchmark imbal hasil Treasury, yang menembus 4,5% hingga menyentuh level tertinggi sejak November juga membebani selera risiko investor.
Pasar kini telah memperhitungkan kemungkinan penurunan suku bunga Fed sebesar 25 basis poin pada bulan Juni sebesar 16,5%, turun dari 56,0% sesaat sebelum rilis laporan tersebut, menurut indikator FedWatch.
(akr)