Asumsi Inflasi 1,5-3,5% di 2025, Ekonom Wanti-wanti Harga BBM dan Listrik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah telah menyampaikan rancangan awal Asumsi Dasar Makro Ekonomi 2025 berdasarkan perkembangan ekonomi dan kebijakan yang akan ditempuh. Salah satunya adalah inflasi yang ditetapkan di kisaran 1,5-3,5%.
Terkait asumsi inflasi tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai angkanya cukup realistis. Namun, imbuh dia, ada beberapa syarat agar asumsi tersebut tetap realistis.
"Kalau inflasi saya pikir masih bisa realistis, dengan catatan tidak ada kebijakan yang bisa mengatrol atau mendorong kenaikan harga-harga barang yang diatur oleh pemerintah atau administered price," ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (21/5/2024).
Faisal mengatakan, kebijakan itu misalnya menaikkan tarif listrik, menaikkan harga gas elpiji, serta harga BBM bersubsidi baik pertalite atau solar. "Tapi, kalau itu (menaikkan harga) dilakukan, maka inflasinya bisa lebih dari 3,5%," cetusnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa tarif listrik dan harga BBM dipastikan tidak naik hingga Juni 2024. Artinya, kebijakan tersebut bisa saja berubah setelah Juni 2024, mengikuti perkembangan harga energi.
Menurut Faisal, konflik geopolitik di Timur Tengah yang sulit diprediksi cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, hal itu sangat bisa mempengaruhi harga minyak dunia. Apabila konflik Israel-Palestina saat ini meluas dan sampai melibatkan negara yang memiliki peranan besar dalam pasokanenergi- seperti Iran, maka menurutnya akan sangat mungkin harga minyak terdampak.
"Kalau seandainya kemarin itu Iran membalas serangan Israel itu bisa mengatrol harga minyak dunia sampai USD100 per barel, yang artinya itu bisa direspons oleh pemerintah dengan menaikkan juga harga BBM subsidi dan itu sangat mungkin terjadi," tegasnya.
Di luar itu, Faisal juga mengkhawatirkan potensi inflasi yang disebabkah oleh komponen harga pangan yang bergejolak atau volatile food. Seperti diketahui, inflasi volatile food masih menjadi tantangan dalam pencapaian target inflasi pemerintah tahun ini.
"Tetapi menurut pandangan saya ada kemungkinan mereda ke depannya. Tapi kalau kemudian diikuti dengan kebijakan-kebijakan tadi yang mempengaruhi harga barang-barang yang diatur pemerintah, ini bisa tembus di atas 3,5% dan itu sangat mungkin terjadi," tandasnya.
Lihat Juga: Pendaftar LPG 3 Kg Capai 57 Juta NIK, Pertamina Patra Niaga Dukung Subsidi Tepat Sasaran
Terkait asumsi inflasi tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai angkanya cukup realistis. Namun, imbuh dia, ada beberapa syarat agar asumsi tersebut tetap realistis.
"Kalau inflasi saya pikir masih bisa realistis, dengan catatan tidak ada kebijakan yang bisa mengatrol atau mendorong kenaikan harga-harga barang yang diatur oleh pemerintah atau administered price," ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (21/5/2024).
Faisal mengatakan, kebijakan itu misalnya menaikkan tarif listrik, menaikkan harga gas elpiji, serta harga BBM bersubsidi baik pertalite atau solar. "Tapi, kalau itu (menaikkan harga) dilakukan, maka inflasinya bisa lebih dari 3,5%," cetusnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa tarif listrik dan harga BBM dipastikan tidak naik hingga Juni 2024. Artinya, kebijakan tersebut bisa saja berubah setelah Juni 2024, mengikuti perkembangan harga energi.
Menurut Faisal, konflik geopolitik di Timur Tengah yang sulit diprediksi cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, hal itu sangat bisa mempengaruhi harga minyak dunia. Apabila konflik Israel-Palestina saat ini meluas dan sampai melibatkan negara yang memiliki peranan besar dalam pasokanenergi- seperti Iran, maka menurutnya akan sangat mungkin harga minyak terdampak.
"Kalau seandainya kemarin itu Iran membalas serangan Israel itu bisa mengatrol harga minyak dunia sampai USD100 per barel, yang artinya itu bisa direspons oleh pemerintah dengan menaikkan juga harga BBM subsidi dan itu sangat mungkin terjadi," tegasnya.
Di luar itu, Faisal juga mengkhawatirkan potensi inflasi yang disebabkah oleh komponen harga pangan yang bergejolak atau volatile food. Seperti diketahui, inflasi volatile food masih menjadi tantangan dalam pencapaian target inflasi pemerintah tahun ini.
"Tetapi menurut pandangan saya ada kemungkinan mereda ke depannya. Tapi kalau kemudian diikuti dengan kebijakan-kebijakan tadi yang mempengaruhi harga barang-barang yang diatur pemerintah, ini bisa tembus di atas 3,5% dan itu sangat mungkin terjadi," tandasnya.
Lihat Juga: Pendaftar LPG 3 Kg Capai 57 Juta NIK, Pertamina Patra Niaga Dukung Subsidi Tepat Sasaran
(fjo)