Penghargaan Menkeu Terbaik Dikritik, Ini Jawaban Tegas Kemenkeu

Senin, 08 April 2019 - 18:30 WIB
Penghargaan Menkeu Terbaik Dikritik, Ini Jawaban Tegas Kemenkeu
Penghargaan Menkeu Terbaik Dikritik, Ini Jawaban Tegas Kemenkeu
A A A
JAKARTA - Penghargaan dari lembaga internasional terhadap putra-putri Indonesia sudah sepatutnya mendapat apresiasi, terlepas dari kontestasi persaingan politik. Penghargaan internasional membuktikan bahwa putra-putri Indonesia memiliki daya saing global.

Salah satunya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Majalah keuangan Finance Asia menobatkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik untuk ketiga kalinya secara beruntun. Tetapi penghargaan internasional tersebut mendapat kritikan dari Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Gede Sandra.

Kritikan Gede Sandra dan beberapa pihak lain yang hanya bisa mencibir membuat Kementerian Keuangan merasa heran. "Ini cukup mengherankan mengapa kalau ada penghargaan internasional, ada pihak yang justru mencari-cari alasan dan kesalahan untuk melemahkan kita sendiri? Mental seperti itu adalah mental inferior dan pecundang. Mental seperti ini menjadi penghambat terbesar kemajuan Indonesia," ujar Kepala Komunikasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti di Jakarta, Senin (8/4/2019).

Nufransa pun menjelaskan tentang masalah ekonomi nasional, mulai dari tingkat suku bunga utang pemerintah, penerimaan pajak yang rendah, defisit neraca perdagangan, dan Net International Investment Position (NIIP) yang negatif.

"Pak Gede perlu tahu bahwa penentuan besar kecilnya yield (bunga) obligasi negara (Surat Utang Negara/SUN) sebagai instrumen pasar keuangan tidak dapat ditetapkan oleh seseorang maupun institusi. Penentuan yield SUN dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain supply dan demand, sentimen pasar domestik maupun global, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan ekonomi makro," terang Nufransa.

Dia pun menegaskan setelah berkali-kali dijelaskan, Gede Sandra tetap saja salah dalam melakukan analisis kerugian dengan hanya membandingkan yield obligasi satu negara dengan negara lain di kawasan saja. Membandingkan yield suatu obligasi, hendaknya dilakukan dengan obligasi yang memiliki tenor sama dan credit rating yang sama, sehingga bisa proporsional dan seimbang.

"Masing-masing negara juga memiliki karakter perekonomian yang berbeda, sehingga tidak bisa dibandingkan yield suatu negara dengan negara lain di kawasan," katanya.

Dalam menganalisis yield umumnya dilihat kecenderungan yang terjadi di pasar keuangan, dari kondisi global yang berpengaruh terhadap kondisi domestik. Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak 4 kali di 2018 (total 100 bps) mempengaruhi kenaikan yield US Treasury (UST) sekitar 29 bps atau 12,1% (UST tenor 10 tahun). Kenaikan ini kemudian ditransmisikan ke kenaikan BI 7 days-Reverse Repo Rate (BI-7 RRR) sebanyak 6 kali sebesar 175 bps, dari 4,25% menjadi 6,0%.

Kenaikan FFR dan BI-7 RRR mempengaruhi kenaikan yield SBN di tahun 2018 sebesar 26,92% (SUN 10 tahun). Kecenderungan peningkatan yield terutama di tahun 2018 juga terjadi di beberapa negara, dan bahkan lebih tinggi dibanding kenaikan yield SUN. Misalnya instrumen dengan tenor sama untuk Turki yang naik sebesar 39,74%, Argentina 32,01%, dan Rusia 30,41%.

Selain membandingkan kenaikan yield, yang juga umumnya dilakukan adalah membandingkan spread antara yield UST sebagai benchmark dengan yield suatu surat berharga. Jika dilihat dari spreadnya terhadap UST, Indonesia mengalami kenaikan sebesar 31% atau lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya, seperti Filipina (naik 60%), Spanyol (naik 75%), dan Irlandia (naik 52%).

Lalu NIIP yang mengindikasikan apakah suatu negara merupakan kreditur atau debitur. Jepang memang memiliki NIIP cukup tinggi. Namun jika dibandingkan dengan negara dengan perekonomian yang sama, berdasarkan data IMF per kuartal IV-2016, Amerika Serikat merupakan negara debitur terbesar di dunia saat ini dengan rasio utang 105,4% per akhir 2017.

Kondisi NIIP Indonesia masih lebih baik dibandingkan India, Brasil, Meksiko, Turki, maupun Amerika Serikat.

Indonesia memang negara debitur, namun level utangnya tergolong sehat dengan rasio utang per PDB per akhir Desember 2018 sebesar 29,78%. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan Singapura (110,6%), Vietnam (61,5%), Malaysia (50,9%), Filipina (41,9%), dan Thailand (41,8%).

"Hingga saat ini, pemerintah tidak pernah gagal bayar. Karena kita mengelolanya secara hati-hati dan terukur," katanya.

Dalam hal ini, pemerintah memperhitungkan kemampuan membayar kita jauh lebih tinggi dibandingkan kewajiban di setiap jatuh tempo. Sementara defisit transaksi berjalan terkait neraca perdagangan, berdasarkan data yang dirilis oleh BPS, pada periode 2015-2017, neraca perdagangan tercatat surplus hingga USD11,4 miliar di tahun 2017.

Pada tahun 2018, Neraca Perdagangan mengalami defisit USD8,6 miliar, yang bersumber dari penurunan surplus neraca nonmigas hingga menjadi USD4,0 miliar, di tengah pelebaran defisit migas hingga menjadi USD12,5 miliar.

Peningkatan defisit Neraca Perdagangan dipengaruhi oleh tingginya kenaikan impor baik bahan baku, barang modal dan barang konsumsi sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi domestik, yang melebihi dari kenaikan ekspor.

Untuk itu, dalam rangka mendorong ekspor, pemerintah tidak tinggal diam dan telah menempuh kebijakan antara lain memberikan penambahan kuota produksi batu bara dan tanpa dikenakan kewajiban DMO (Domestic Market Obligation merupakan kewajiban produsen batu bara domestik untuk memasok produksi batu bara bagi kebutuhan PT PLN (Persero)), pemberian fasilitas dan insentif procedural (penyederhanaan dan kemudahan ekspor) serta melanjutkan kebijakan Penugasan Khusus Ekspor (National Interest Account/NIA).

Sementara untuk pengendalian impor dilakukan melalui reviu terhadap proyek-proyek infrastruktur pemerintah khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN), pengurangan impor BBM solar melalui penggunaan Biodiesel (B-20), baik PSO maupun Non PSO. Juga mendorong peningkatan penggunaan barang konsumsi produk dalam negeri melalui penyesuaian tariff PPh Impor atas Barang Konsumsi.

Lalu Rasio Pajak, yang mana pada tahun 2018 merupakan titik balik perbaikan kinerja Perpajakan. Selama sembilan tahun terakhir (2009-2017), Rasio Pajak Indonesia mengalami tren penurunan dan baru mulai meningkat di tahun 2018.

Peningkatan menjadi 11.42% di tahun 2018 tersebut diharapkan menjadi titik balik perbaikan kinerja perpajakan Indonesia dan akan berlanjut di tahun mendatang.

Dalam memberikan penilaian, lembaga tersebut tentu melihat kinerja Menteri Keuangan secara menyeluruh dan analisis yang mendalam atas keberhasilan beliau mengelola keuangan negara, tidak hanya sepotong-sepotong yang dilakukan dengan analisis yang tidak tepat.

Contohnya, lembaga Finance Asia dalam penghargaannya juga menyebutkan keberhasilan pengelolaan defisit APBN yang menurun tajam dan global Green Bond sukuk. Penurunan defisit APBN secara tajam, menggambarkan kemampuan kita mengelola global volatility untuk makin memperkuat dan menyehatkan APBN.

Dan sekaligus menjaga perekonomian Indonesia dari gejolak agar tetap stabil dan tetap kredibel. "Ini sangat kontras dengan negara berkembang seperti India, Turki, Brasil yang menjelang pemilu dan dalam situasi gejolak global menyebabkan kondisi APBN semakin besar defisitnya. Itu tanda Indonesia prudent dan efektif serta fleksibel. Dan tentu saja kita menjadi berdaya tahan tinggi dalam goncangan ekonomi.

Sedangkan global Green sukuk bonds juga menunjukkan kreativitas financing dan kepedulian kita mengenai masalah climate change. Ini menunjukkan pemikiran kreatif dan memperlebar investor base dari Government bonds.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7355 seconds (0.1#10.140)