China Ingin Hidupkan Kembali Hubungan Ekonomi dengan Libya Usai Terkubur 13 Tahun
loading...
A
A
A
Ada pembicaraan antara Perdana Menteri Li Qiang dan Menteri Luar Negeri Wang Yi dengan Abdul Hamid Dbeibah di sela-sela Konferensi Tingkat Menteri ke-10 Forum Kerjasama China dan Negara-negara Arab, di mana mereka membahas pemulihan kerja sama politik dan ekonomi antara kedua negara.
Li mengatakan, China bersedia bekerja sama dengan Libya untuk memanfaatkan potensi di bawah kerangka Belt and Road Initiative atau jalur sutra modern China, memperkuat kerja sama di bidang-bidang seperti pembangunan infrastruktur dan memberikan lebih banyak dukungan untuk pembangunan Libya.
"Diharapkan Libya akan menyediakan lingkungan bisnis yang adil dan tidak diskriminatif bagi perusahaan-perusahaan China," kata Li.
Sementara itu, Wang juga menawarkan dukungan China. "Kami selalu mendukung stabilisasi dan pembangunan Libya ... dan proses transisi politik yang dipimpin Libya," katanya.
Sebagai imbalannya, Dbeibah mengatakan, pada pertemuan itu: "Libya sangat menghargai peran penting China dalam mendukung proses politik Libya dan rekonstruksi nasional."
Pertemuan itu juga membahas dimulainya proses bagi kedutaan China untuk melanjutkan operasi di ibukota, Tripoli, menurut media Libya.
Namun menurut David Shinn, seorang spesialis China-Afrika dan profesor di George Washington University's Elliott School of International Affairs menerangkan, ketidakstabilan politik yang berkelanjutan di Libya masih membayangi.
"China mendukung Libya bersatu dan mendorong dialog sebagai solusi untuk perbedaan mereka," kata Shinn.
Dia mengatakan, bahwa Libya mengekspor minyak senilai USD36 miliar pada tahun 2023 dan China menyumbang USD2,2 miliar dari total keseluruhan. China ingin terlibat kembali dalam memenangkan kontrak infrastruktur, tambahnya, sementara GNU ingin melihat kembalinya perusahaan-perusahaan China.
Lihat Juga: 3 Senjata China yang Lebih Canggih Daripada Senjata Amerika Serikat, Ada Laser hingga Drone
Li mengatakan, China bersedia bekerja sama dengan Libya untuk memanfaatkan potensi di bawah kerangka Belt and Road Initiative atau jalur sutra modern China, memperkuat kerja sama di bidang-bidang seperti pembangunan infrastruktur dan memberikan lebih banyak dukungan untuk pembangunan Libya.
"Diharapkan Libya akan menyediakan lingkungan bisnis yang adil dan tidak diskriminatif bagi perusahaan-perusahaan China," kata Li.
Sementara itu, Wang juga menawarkan dukungan China. "Kami selalu mendukung stabilisasi dan pembangunan Libya ... dan proses transisi politik yang dipimpin Libya," katanya.
Sebagai imbalannya, Dbeibah mengatakan, pada pertemuan itu: "Libya sangat menghargai peran penting China dalam mendukung proses politik Libya dan rekonstruksi nasional."
Pertemuan itu juga membahas dimulainya proses bagi kedutaan China untuk melanjutkan operasi di ibukota, Tripoli, menurut media Libya.
Namun menurut David Shinn, seorang spesialis China-Afrika dan profesor di George Washington University's Elliott School of International Affairs menerangkan, ketidakstabilan politik yang berkelanjutan di Libya masih membayangi.
"China mendukung Libya bersatu dan mendorong dialog sebagai solusi untuk perbedaan mereka," kata Shinn.
Dia mengatakan, bahwa Libya mengekspor minyak senilai USD36 miliar pada tahun 2023 dan China menyumbang USD2,2 miliar dari total keseluruhan. China ingin terlibat kembali dalam memenangkan kontrak infrastruktur, tambahnya, sementara GNU ingin melihat kembalinya perusahaan-perusahaan China.
Lihat Juga: 3 Senjata China yang Lebih Canggih Daripada Senjata Amerika Serikat, Ada Laser hingga Drone
(akr)