Utang Naik 3 Kali Lipat dari Masa SBY, Pengelolaan Fiskal Era Jokowi Disebut Serampangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menyebut tata kelola utang negara di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama dua periode sejak 2014 hingga 2024 terlampau serampangan. Akibatnya utang negara mencapai tiga kali lipat dibanding masa pemerintahan Presiden ke-enam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Jadi utang dari Jokowi itu meningkat dari warisan SBY Rp2.600 triliun menjadi Rp8.300 triliun, naik tiga kali lipat. Ini adalah kebijakan yang serampangan dalam kebijakan fiskal dan tidak bisa ditolerir," kata Didik dalam diskusi bertajuk "Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar" yang dilakukan Universitas Paramadina, Kamis (11/7/2024).
Beban utang yang sudah sangat berat akibat kebijakan keuangan negara yang dilakukan Jokowi, akan dirasakan pada saat pembayarannya. Dimana bukan hanya utang pokoknya, tapi juga bunga hutangnya yang terlanjur tinggi.
"Bayar bunganya itu Rp497 triliun, bunganya tinggi. Itu 10 kali (lipat) dengan tingkat bunga di Jepang dan negara lain. Siapa yang menikmati? Investor, orang-orang kaya, mereka mengeruk dari pajak masyarakat," tuturnya.
Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu memandang, seharusnya dalam menentukan kebijakan utang pemerintah mempertimbangkan beberapa hal pokok, terutama dalam segi kemampuan dan juga dampaknya.
"Harus dihitung juga kemampuan membayar, yaitu ekspor kita, cadangan devisa," jelas Didik.
"Jadi utang dari Jokowi itu meningkat dari warisan SBY Rp2.600 triliun menjadi Rp8.300 triliun, naik tiga kali lipat. Ini adalah kebijakan yang serampangan dalam kebijakan fiskal dan tidak bisa ditolerir," kata Didik dalam diskusi bertajuk "Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar" yang dilakukan Universitas Paramadina, Kamis (11/7/2024).
Beban utang yang sudah sangat berat akibat kebijakan keuangan negara yang dilakukan Jokowi, akan dirasakan pada saat pembayarannya. Dimana bukan hanya utang pokoknya, tapi juga bunga hutangnya yang terlanjur tinggi.
"Bayar bunganya itu Rp497 triliun, bunganya tinggi. Itu 10 kali (lipat) dengan tingkat bunga di Jepang dan negara lain. Siapa yang menikmati? Investor, orang-orang kaya, mereka mengeruk dari pajak masyarakat," tuturnya.
Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu memandang, seharusnya dalam menentukan kebijakan utang pemerintah mempertimbangkan beberapa hal pokok, terutama dalam segi kemampuan dan juga dampaknya.
"Harus dihitung juga kemampuan membayar, yaitu ekspor kita, cadangan devisa," jelas Didik.
(akr)