Dedolarisasi Diramal Jadi Bumerang, Pakar: Ide Bagus, tapi Sangat Menakutkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dedolarisasi yang terus menggema di banyak negara untuk mencoba bergeser dari dolar AS (USD) diramalkan bakal segera menjadi bumerang. Seorang analis komoditas dan pendiri CPM Group, Jeffrey Christian berpikir, bahwa dorongan dedolarisasi pada beberapa negara seperti Rusia, China, dan India dapat berakhir menjadi bumerang dan merugikan ekonomi negara-negara tersebut.
Terlepas dari pergerakan yang sedang berlangsung, dominasi dolar diyakini tidak akan hilang, mengingat betapa meluasnya greenback di pasar keuangan. Hal ini disampaikan oleh Jeffrey Christian kepada Business Insider dalam sebuah wawancara.
"Saya berpikir bahwa dedolarisasi adalah mimpi yang dimiliki beberapa dari kita," kata Christian.
"Ini adalah gagasan untuk pindah ke rezim mata uang multi-internasional. Ini ide yang bagus, tetapi logistik yang terjadi sangat menakutkan karena semua pemerintah dan negara harus mengubah cara mereka berurusan dengan mata uang," bebernya.
Christian adalah salah satu dari sekelompok skeptis terhadap dedolarisasi di Wall Street, yang telah mengesampingkan tren itu tidak lebih dari kata kunci. Dedolarisasi adalah "mitos", "tidak masuk akal", dan "lelucon buruk," kata Christian kepada klien dalam presentasi awal tahun ini.
Ia menambahkan, tidak menganggap ketakutan tentang dolar yang digantikan oleh mata uang lain sebagai sesuatu yang terlalu serius. Menurutnya untuk negara-negara yang bersikeras tidak menggunakan dolar bakal menghadapi serangkaian konsekuensi ekonomi.
Konflik pembayaran berasal dari fakta bahwa mata uang lain tidak selikuid dolar, karena greenback begitu banyak digunakan di pasar global dan dipegang di antara bank sentral.
Dolar dipakai dalam 88% dari semua transaksi mata uang harian pada April 2022, menurut Bank of International Settlements, dan menyumbang 54% dari semua cadangan devisa, berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF).
Terlepas dari pergerakan yang sedang berlangsung, dominasi dolar diyakini tidak akan hilang, mengingat betapa meluasnya greenback di pasar keuangan. Hal ini disampaikan oleh Jeffrey Christian kepada Business Insider dalam sebuah wawancara.
"Saya berpikir bahwa dedolarisasi adalah mimpi yang dimiliki beberapa dari kita," kata Christian.
"Ini adalah gagasan untuk pindah ke rezim mata uang multi-internasional. Ini ide yang bagus, tetapi logistik yang terjadi sangat menakutkan karena semua pemerintah dan negara harus mengubah cara mereka berurusan dengan mata uang," bebernya.
Christian adalah salah satu dari sekelompok skeptis terhadap dedolarisasi di Wall Street, yang telah mengesampingkan tren itu tidak lebih dari kata kunci. Dedolarisasi adalah "mitos", "tidak masuk akal", dan "lelucon buruk," kata Christian kepada klien dalam presentasi awal tahun ini.
Ia menambahkan, tidak menganggap ketakutan tentang dolar yang digantikan oleh mata uang lain sebagai sesuatu yang terlalu serius. Menurutnya untuk negara-negara yang bersikeras tidak menggunakan dolar bakal menghadapi serangkaian konsekuensi ekonomi.
Setidaknya ada 3 konsekuensi yang harus dihadapi bagi para pendukung dedolarisasi:
1. Masalah Pembayaran
Pertama, negara-negara dedolarisasi dibayangi risiko masalah pembayaran yang lebih tinggi, kata Christian. Dia merujuk kepada India, yang bersikeras membeli minyak Rusia dalam rupee dan dirham – mata uang UEA (Uni Emirate Arab) – tahun lalu. Para pedagang mengatakan, keputusan itu menyebabkan setidaknya tujuh kapal minyak menuju India kembali ke Rusia, seperti dilaporkan Reuters.Konflik pembayaran berasal dari fakta bahwa mata uang lain tidak selikuid dolar, karena greenback begitu banyak digunakan di pasar global dan dipegang di antara bank sentral.
Dolar dipakai dalam 88% dari semua transaksi mata uang harian pada April 2022, menurut Bank of International Settlements, dan menyumbang 54% dari semua cadangan devisa, berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF).