Dedolarisasi Diramal Jadi Bumerang, Pakar: Ide Bagus, tapi Sangat Menakutkan

Rabu, 31 Juli 2024 - 08:50 WIB
loading...
Dedolarisasi Diramal...
Dedolarisasi yang terus menggema di banyak negara untuk mencoba bergeser dari dolar AS (USD) diramalkan bakal segera menjadi bumerang. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Dedolarisasi yang terus menggema di banyak negara untuk mencoba bergeser dari dolar AS (USD) diramalkan bakal segera menjadi bumerang. Seorang analis komoditas dan pendiri CPM Group, Jeffrey Christian berpikir, bahwa dorongan dedolarisasi pada beberapa negara seperti Rusia, China, dan India dapat berakhir menjadi bumerang dan merugikan ekonomi negara-negara tersebut.



Terlepas dari pergerakan yang sedang berlangsung, dominasi dolar diyakini tidak akan hilang, mengingat betapa meluasnya greenback di pasar keuangan. Hal ini disampaikan oleh Jeffrey Christian kepada Business Insider dalam sebuah wawancara.

"Saya berpikir bahwa dedolarisasi adalah mimpi yang dimiliki beberapa dari kita," kata Christian.

"Ini adalah gagasan untuk pindah ke rezim mata uang multi-internasional. Ini ide yang bagus, tetapi logistik yang terjadi sangat menakutkan karena semua pemerintah dan negara harus mengubah cara mereka berurusan dengan mata uang," bebernya.



Christian adalah salah satu dari sekelompok skeptis terhadap dedolarisasi di Wall Street, yang telah mengesampingkan tren itu tidak lebih dari kata kunci. Dedolarisasi adalah "mitos", "tidak masuk akal", dan "lelucon buruk," kata Christian kepada klien dalam presentasi awal tahun ini.

Ia menambahkan, tidak menganggap ketakutan tentang dolar yang digantikan oleh mata uang lain sebagai sesuatu yang terlalu serius. Menurutnya untuk negara-negara yang bersikeras tidak menggunakan dolar bakal menghadapi serangkaian konsekuensi ekonomi.

Setidaknya ada 3 konsekuensi yang harus dihadapi bagi para pendukung dedolarisasi:

1. Masalah Pembayaran

Pertama, negara-negara dedolarisasi dibayangi risiko masalah pembayaran yang lebih tinggi, kata Christian. Dia merujuk kepada India, yang bersikeras membeli minyak Rusia dalam rupee dan dirham – mata uang UEA (Uni Emirate Arab) – tahun lalu. Para pedagang mengatakan, keputusan itu menyebabkan setidaknya tujuh kapal minyak menuju India kembali ke Rusia, seperti dilaporkan Reuters.

Konflik pembayaran berasal dari fakta bahwa mata uang lain tidak selikuid dolar, karena greenback begitu banyak digunakan di pasar global dan dipegang di antara bank sentral.

Dolar dipakai dalam 88% dari semua transaksi mata uang harian pada April 2022, menurut Bank of International Settlements, dan menyumbang 54% dari semua cadangan devisa, berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF).

Sementara itu mata uang lain, seperti yuan China, terikat oleh kontrol modal yang ketat, yang juga membuatnya kurang likuid dan karenanya menjadi kurang menarik daripada dolar. Christian juga mengutarakan, sulit untuk dengan cepat meningkatkan likuiditas mata uang tanpa memicu inflasi yang tinggi.

"Ada banyak orang yang ragu-ragu untuk berdagang dan memegang cadangan, kekayaan serta rekening bank dalam yuan karena itu bukan mata uang yang sepenuhnya bergerak bebas. Jadi ada batasan di dalamnya," tambahnya.

2. Perdagangan Terbatas

Kedua, negara-negara yang mencoba menghapus dolar dapat menghambat impor dan ekspor mereka. Sekali lagi, itu karena dolar adalah mata uang yang paling banyak diperdagangkan di dunia – dan tidak menggunakan mata uang itu dapat membatasi ruang lingkup mitra dagang suatu negara. Ungkap Christian, hal itu pada akhirnya juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Rusia dijadikan olehnya sebagai salah satu contohnya. Negara itu membuang dolar setelah ditampar dengan sanksi Barat pada tahun 2022. Tetapi meninggalkan greenback hanya mengisolasi negara itu lebih banyak dari pasar internasional, disampaikan seorang ekonom UC-Berkeley, yang bisa melemahkan ekonominya lebih jauh.

3. Kehilangan Nilai

Dampak ketiga yaitu bank sentral berisiko membuat "investasi buruk" dengan memegang mata uang lain, karena dolar adalah penyimpan nilai yang unggul, kata Christian.

Menurutnya indeks dolar AS, yang menilai bobot greenback terhadap sekelompok mata uang asing telah terapresiasi sekitar 40% sejak jatuh pada tahun 2011. Sementara itu, mata uang seperti yuan telah terdepresiasi terhadap dolar selama satu dekade terakhir.

"Dolar menjadi sangat kuat dalam 20 tahun terakhir. Jadi, Anda melakukan investasi yang buruk," kata Christian tentang bank sentral yang memilih untuk melepaskan cadangan dolar mereka.

Christian juga melihat tidak "terlalu banyak" negara di dunia yang melakukan dedolarisasi dalam skala luas, dengan pengecualian seperti Rusia, di mana ketegangan geopolitik dengan AS telah beralih ke dalam kebijakan ekonomi.

Alasannya karena dolar begitu banyak digunakan di pasar keuangan, sehingga dia memperkirakan akan memakan waktu beberapa dekade bagi dolar untuk digeser jika itu terjadi. Hal ini mirip dengan pandangan yang dipegang oleh pakar mata uang lainnya, yang mengatakan petahana dolar akan memakan waktu lama untuk digulingkan karena reputasinya yang aman.

"Anda memiliki hambatan besar untuk bergerak menuju rezim mata uang internasional yang kurang bergantung pada dolar. Bukan tidak mungkin, tetapi itu akan memakan waktu beberapa dekade untuk dieksekusi atau baru akan datang pada akhir keruntuhan ekonomi dan keuangan global yang sangat besar yang saya tidak melihat akan terjadi," kata Christian.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1576 seconds (0.1#10.140)