Malaysia Gabung BRICS, RI harus Ikut? Ini Kata Ekonom
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintahan Malaysia secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS. Permohonan ini langsung diungkapkan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim pada Minggu (28/7/2024).
Anwar mengatakan ambisi Malaysia bergabung dengan BRICS sudah disampaikannya langsung ketika Menteri Luar Negeri Rusia SergeyLavrovke pusat pemerintahan negeri jiran tersebut.
"Malaysia telah mengirim surat permohonan untuk bergabung dengan organisasi (BRICS) kepada Rusia sebagai ketua BRICS, selain menyatakan keterbukaan untuk berpartisipasi sebagai negara anggota atau mitra strategis," kata Anwardalam pernyataan resminya.
BRICS adalah blok ekonomi dunia yang terdiri atas Rusia, Brazil, India, China, dan Afrika Selatan. Agenda utama blok ini adalah memajukan inisiatif dedolarisasi dengan mengedepankan mata uang lokal. Tujuannya, untuk menurunkan dolar AS dari mata uang cadangan dunia.
Lalu apakah Indonesia harus mengikuti saudara serumpunnya?
Sejumlah pakar ekonomi menilai bahwa Indonesia lebih baik bergabung bersama Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dibandingkan dengan BRICS.
Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai Indonesia lebih baik bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), atau organisasi internasional yang bergerak dalam bidang ekonomi dan pembangunan.
Piter memandang OECD secara kapasitas, terdiri dari kumpulan negara-negara maju sehingga bisa memacu perkembangan Indonesia lebih baik lagi. Ia mengatakan potensi kerja sama ekonomi yang dibina oleh Indonesia dengan OECD, akan berdampak positif lebih jauh karena perlunya memenuhi standar negara maju.
"OECD itu diisi oleh negara-negara maju yang lebih well-established. Kalau kita (Indonesia) bergabung ke OECD, kita akan mengikuti aturan main dari negara-negara maju sehingga bisa mendorong kita lebih baik," ungkap Piter kepada Sindonews, Rabu (31/7/2024)
Piter melihat Indonesia cukup hanya bergabung dengan OECD dibandingkan dengan BRICS. Diketahui, BRICS merupakan negara berkembang yang yang dibentuk pada 2006 mampu mendorong perubahan paradigma dalam struktur kekuasaan global dari hierarki kekuasaan tradisional dan mengantarkan era baru multipolaritas di panggung dunia.
"Kita tidak perlu sebenarnya masuk ke organisasi BRICS, tapi jangan pula menjadi musuhnya. Kita harus menjalin hubungan baik sebagai kawan dengan BRICS. Jadi tidak perlu masuk bergabung dengannya, cukup berkawan saja," jelas Piter.
Lebih lanjut, Ia menilai, menjalin hubungan baik dengan negara-negara BRICS lantaran Indonesia sudah membangun hubungan partner dagang dengan negara anggotanya. Namun demikian, jika bergabung dengan BRICS, Piter menilai justru akan membahayakan Indonesia.
"BRICS ini kan kumpulan negara yang tengah mencoba untuk established di perekonomian global. Posisinya pun cenderung oposisi dengan negara-negara maju semisal Rusia, Tiongkok," tutur Piter.
Senada dengan Piter, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia belum urgen bergabung ke BRICS karena beberapa alasan. Pertama, hubungan dagang dan investasi Indonesia dengan China sudah sangat erat.
Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan Indonesia justru mempererat hubungan dagang dan investasi dengan negara maju.
"Tanpa bergabung ke BRICS, Indonesia tetap akan dilirik sebagai mitra strategis ekonomi politik China. Jadi OECD lebih cocok dibanding BRICS," kata Bhima
Kedua, sudah banyak perjanjian kerjasama dagang dan keuangan antara Indonesia dan China. Contohnya saja, Asean-China Free Trade Agreement, kemudian di bidang keuangan ada Local Currency Settlement antara yuan dan rupiah.
Ketiga, Indonesia sudah menjadi negara tertinggi penerima pinjaman Belt and Road Initiative terutama di era Jokowi, misalnya untuk proyek kereta cepat jakarta-bandung dan berbagai proyek hilirisasi nikel.
"terakhir, secara geopolitik bergabungnya Indonesia ke BRICS mempersulit posisi dalam keseimbangan pengaruh dengan negara barat. Padahal politik Indonesia bebas aktif," terangnya
Anwar mengatakan ambisi Malaysia bergabung dengan BRICS sudah disampaikannya langsung ketika Menteri Luar Negeri Rusia SergeyLavrovke pusat pemerintahan negeri jiran tersebut.
"Malaysia telah mengirim surat permohonan untuk bergabung dengan organisasi (BRICS) kepada Rusia sebagai ketua BRICS, selain menyatakan keterbukaan untuk berpartisipasi sebagai negara anggota atau mitra strategis," kata Anwardalam pernyataan resminya.
BRICS adalah blok ekonomi dunia yang terdiri atas Rusia, Brazil, India, China, dan Afrika Selatan. Agenda utama blok ini adalah memajukan inisiatif dedolarisasi dengan mengedepankan mata uang lokal. Tujuannya, untuk menurunkan dolar AS dari mata uang cadangan dunia.
Lalu apakah Indonesia harus mengikuti saudara serumpunnya?
Sejumlah pakar ekonomi menilai bahwa Indonesia lebih baik bergabung bersama Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dibandingkan dengan BRICS.
Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai Indonesia lebih baik bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), atau organisasi internasional yang bergerak dalam bidang ekonomi dan pembangunan.
Piter memandang OECD secara kapasitas, terdiri dari kumpulan negara-negara maju sehingga bisa memacu perkembangan Indonesia lebih baik lagi. Ia mengatakan potensi kerja sama ekonomi yang dibina oleh Indonesia dengan OECD, akan berdampak positif lebih jauh karena perlunya memenuhi standar negara maju.
"OECD itu diisi oleh negara-negara maju yang lebih well-established. Kalau kita (Indonesia) bergabung ke OECD, kita akan mengikuti aturan main dari negara-negara maju sehingga bisa mendorong kita lebih baik," ungkap Piter kepada Sindonews, Rabu (31/7/2024)
Piter melihat Indonesia cukup hanya bergabung dengan OECD dibandingkan dengan BRICS. Diketahui, BRICS merupakan negara berkembang yang yang dibentuk pada 2006 mampu mendorong perubahan paradigma dalam struktur kekuasaan global dari hierarki kekuasaan tradisional dan mengantarkan era baru multipolaritas di panggung dunia.
"Kita tidak perlu sebenarnya masuk ke organisasi BRICS, tapi jangan pula menjadi musuhnya. Kita harus menjalin hubungan baik sebagai kawan dengan BRICS. Jadi tidak perlu masuk bergabung dengannya, cukup berkawan saja," jelas Piter.
Lebih lanjut, Ia menilai, menjalin hubungan baik dengan negara-negara BRICS lantaran Indonesia sudah membangun hubungan partner dagang dengan negara anggotanya. Namun demikian, jika bergabung dengan BRICS, Piter menilai justru akan membahayakan Indonesia.
"BRICS ini kan kumpulan negara yang tengah mencoba untuk established di perekonomian global. Posisinya pun cenderung oposisi dengan negara-negara maju semisal Rusia, Tiongkok," tutur Piter.
Senada dengan Piter, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia belum urgen bergabung ke BRICS karena beberapa alasan. Pertama, hubungan dagang dan investasi Indonesia dengan China sudah sangat erat.
Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan Indonesia justru mempererat hubungan dagang dan investasi dengan negara maju.
"Tanpa bergabung ke BRICS, Indonesia tetap akan dilirik sebagai mitra strategis ekonomi politik China. Jadi OECD lebih cocok dibanding BRICS," kata Bhima
Kedua, sudah banyak perjanjian kerjasama dagang dan keuangan antara Indonesia dan China. Contohnya saja, Asean-China Free Trade Agreement, kemudian di bidang keuangan ada Local Currency Settlement antara yuan dan rupiah.
Ketiga, Indonesia sudah menjadi negara tertinggi penerima pinjaman Belt and Road Initiative terutama di era Jokowi, misalnya untuk proyek kereta cepat jakarta-bandung dan berbagai proyek hilirisasi nikel.
"terakhir, secara geopolitik bergabungnya Indonesia ke BRICS mempersulit posisi dalam keseimbangan pengaruh dengan negara barat. Padahal politik Indonesia bebas aktif," terangnya
(fch)