Rupiah Tembus Lagi Level Rp15 Ribuan Saat AS Digoyang Resesi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan hari ini ditutup menguat 141,5 poin atau 0,88% ke level Rp15.893,5 setelah sebelumnya di Rp16.035 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat dibuka pada level Rp16.013 per dolar AS.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar melemah dipengaruhi investor yang sedang gundah gulana melirik prospek perekonomian Amerika Serikat (AS), seperti tingkat pengangguran yang masih tinggi, juga inflasi yang belum kunjung mereda, sampai ada kekhawatiran bahwa ekonomi AS terancam resesi.
"Investor pun mengharapkan Federal Reserve atau The Fed untuk segera menurunkan suku bunga acuan," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (8/8/2024).
Investor meningkatkan posisinya pada potensi The Fed untuk menurunkan suku bunga setelah pertemuan Bank Sentral AS tersebut secara mendadak pada Rabu pekan lalu. Pada pertemuan tersebut, Gubernur The Fed Jerome Powell mengisyaratkan penurunan suku bunga pada September 2024 dapat terjadi.
Pernyataan tersebut kemudian diikuti rilis data pasar tenaga kerja yang lemah pada hari Jumat pekan yang sama. Pasar swap memperkirakan penurunan suku bunga The Fed hampir 50 basis poin pada September 2024.
Peran tradisional dolar AS sebagai aset safe-haven akan selalu dapat kembali muncul jika pasar terus goyah atau ancaman geopolitik di Timur Tengah meningkat. Begitu pula dengan kembalinya fenomena Trump trade, yaitu menaruh dana pada aset seperti dolar AS atau Bitcoin yang dipandang mendapat manfaat dari kebijakan fiskal yang lebih longgar dan tarif yang lebih tinggi jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS.
Di Asia, para pembuat kebijakan BOJ, yang dirilis pada hari Kamis, menunjukkan bahwa anggota bank sentral masih melihat ruang untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut, dan bahwa suku bunga harus mencapai sekitar 1% untuk mencapai tingkat yang netral bagi perekonomian.
Selain itu, data perdagangan pada hari Rabu terus menggambarkan gambaran ekonomi yang suram, karena surplus perdagangan Tiongkok menyusut jauh lebih banyak dari yang diharapkan pada bulan Juli. Ekspor secara tak terduga menyusut setelah Uni Eropa mengenakan tarif tinggi pada kendaraan listrik China, sementara impor tembaga dan minyak Tiongkok juga turun tajam.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar melemah dipengaruhi investor yang sedang gundah gulana melirik prospek perekonomian Amerika Serikat (AS), seperti tingkat pengangguran yang masih tinggi, juga inflasi yang belum kunjung mereda, sampai ada kekhawatiran bahwa ekonomi AS terancam resesi.
"Investor pun mengharapkan Federal Reserve atau The Fed untuk segera menurunkan suku bunga acuan," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (8/8/2024).
Investor meningkatkan posisinya pada potensi The Fed untuk menurunkan suku bunga setelah pertemuan Bank Sentral AS tersebut secara mendadak pada Rabu pekan lalu. Pada pertemuan tersebut, Gubernur The Fed Jerome Powell mengisyaratkan penurunan suku bunga pada September 2024 dapat terjadi.
Pernyataan tersebut kemudian diikuti rilis data pasar tenaga kerja yang lemah pada hari Jumat pekan yang sama. Pasar swap memperkirakan penurunan suku bunga The Fed hampir 50 basis poin pada September 2024.
Peran tradisional dolar AS sebagai aset safe-haven akan selalu dapat kembali muncul jika pasar terus goyah atau ancaman geopolitik di Timur Tengah meningkat. Begitu pula dengan kembalinya fenomena Trump trade, yaitu menaruh dana pada aset seperti dolar AS atau Bitcoin yang dipandang mendapat manfaat dari kebijakan fiskal yang lebih longgar dan tarif yang lebih tinggi jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS.
Di Asia, para pembuat kebijakan BOJ, yang dirilis pada hari Kamis, menunjukkan bahwa anggota bank sentral masih melihat ruang untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut, dan bahwa suku bunga harus mencapai sekitar 1% untuk mencapai tingkat yang netral bagi perekonomian.
Selain itu, data perdagangan pada hari Rabu terus menggambarkan gambaran ekonomi yang suram, karena surplus perdagangan Tiongkok menyusut jauh lebih banyak dari yang diharapkan pada bulan Juli. Ekspor secara tak terduga menyusut setelah Uni Eropa mengenakan tarif tinggi pada kendaraan listrik China, sementara impor tembaga dan minyak Tiongkok juga turun tajam.