Melawan Hegemoni Ekonomi AS, Negara Asia Berbondong-bondong Berminat Gabung BRICS

Kamis, 22 Agustus 2024 - 12:32 WIB
loading...
Melawan Hegemoni Ekonomi...
Negara-negara asal Asia Tenggara berbondong-bondong mengajukan minat untuk bergabung dengan BRICS yang awal berdirinya hanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Negara-negara asal Asia Tenggara berbondong-bondong mengajukan minat untuk bergabung dengan BRICS yang awal berdirinya hanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, blok negara berkembang itu semakin berusaha memposisikan dirinya sebagai suara dari apa yang disebut Global South.



Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan ekonomi berkembang pascakolonial. Ini adalah argumen yang meningkat sejak perang Rusia Ukraina pecah pada tahun 2022, lalu yang menyoroti kekuatan AS dalam sistem ekonomi global.

"Bagi beberapa negara, BRICS dapat menjadi penyeimbang terhadap hegemoni ekonomi AS ," kata Rahman Yaacob, seorang peneliti dalam program Asia Tenggara di Lowy Institute seperti dilansir Fortune.



Setelah 13 tahun tidak menambah anggota baru, BRICS akhirnya melakukan perluasan dengan menyambut Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Bahkan Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Naledi Pandor pernah mengklaim, bahwa lebih dari 30 negara ingin bergabung dengan kelompok internasional BRICS.

Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim sangat vokal tentang keinginan untuk bergabung dengan BRICS. Malaysia langsung bergerak cepat dengan melobi Rusia, China, dan minggu ini menyambangi India. Selanjutnya ada Thailand yang juga mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan blok BRICS pada Juni lalu, dan para pejabat berharap negara Asia Tenggara itu akan dapat bergabung dengan KTT BRICS di Rusia Oktober ini.

Bergabung dengan BRICS dinilai juga bisa menjadi cara untuk melakukan lindung nilai secara politik, karena persaingan yang semakin intensif antara Washington dan Beijing berisiko memecah dunia menjadi dua kelompok yang berlawanan.

"Jika dunia pecah menjadi blok, berada di dalam lebih mengalahkan bila kita berada di keluar," kata Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation.

Mengapa Malaysia dan Thailand Ingin Gabung BRICS?


"China sudah menjadi mitra dagang terbesar bagi Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dan juga merupakan sumber bantuan pembangunan terbesar buat beberapa negara di kawasan ini," kata Rahman.

Sementara itu bagi PM Malaysia Anwar Ibrahim, bergabung dengan BRICS bisa menjadi cara untuk mengamankan kesepakatan perdagangan atau investasi untuk negara Asia Tenggara itu.

"Niat untuk bergabung dengan BRICS dapat mendorong negara-negara Barat untuk meningkatkan investasi mereka di Malaysia, atau bahkan mendorong (Malaysia) mempertimbangkan agar mengajukan keanggotaan dalam aliansi yang bersekutu dengan Barat, seperti OECD," ucap Wen Chong Cheah, seorang analis Asia-Pasifik di Economist Intelligence Unit, menjelaskan.

Industri semikonduktor Malaysia juga bisa mendapat manfaat dari hubungan yang lebih dekat dengan China dan India, karena pasar raksasa dua konsumen tersebut dapat membeli lebih banyak elektronik buatan Malaysia, ungkap Cheah menjelaskan. Keanggotaan BRICS juga dapat memicu peningkatan pariwisata dari negara-negara anggota, terutama China dan India.

Thailand mungkin juga tertarik pada BRICS sebagai cara untuk mendongkrak ekonominya yang merosot. Pertumbuhan terpantau melambat baru-baru ini karena industri pariwisata negara itu masih berjuang untuk pulih dari pandemi Covid.

Apa itu BRICS?


Jim O'Neill, mantan kepala ekonom di Goldman Sachs, pada tahun 2001 berpendapat bahwa Brasil, Rusia, India, dan China akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi global, hingga terciptalah istilah "BRIC."

Keempat pemerintah mengadopsi nama itu ketika mereka secara resmi memulai organisasi lewat gelaran KTT 2009 di kota Yekaterinburg, Rusia. Kelompok ini menambahkan "S" ke namanya ketika Afrika Selatan bergabung pada tahun 2010, menjadi "BRICS."

Pada tahun 2014, grup ini mendirikan the New Development Bank. Sejak mulai beroperasi pada tahun 2015, bank secara kumulatif sudah menyetujui pinjaman lebih dari USD32 miliar yang ditujukan kepada negara-negara anggota. China berharap bank dapat mencairkan pinjaman lebih lanjut sebesar USD5 miliar tahun ini.

Kini kehadiran Malaysia dan Thailand diyakini akan berdamak besar bagi BRICS. Keduanya memiliki ekonomi yang dua kali ukuran Ethiopia, dan kira-kira ukurannya sama dengan Iran dan Mesir. PDB per kapita Malaysia hanya sedikit lebih rendah dari China.

Sebelum ekspansi tahun lalu, lima negara dalam BRICS sudah menyumbang sekitar 40% dari populasi dunia dan sekitar seperempat dari PDB global, menurut data Bank Dunia. Dan dengan masuknya UEA dan Arab Saudi, BRICS sekarang mencakup hampir setengah dari pasokan minyak dunia.

Bisakah BRICS bekerja?


Pada bulan Mei, seorang juru bicara pemerintah Thailand menyarankan, bergabung dengan BRICS akan membantu menciptakan "tatanan dunia baru." Namun BRICS masih memiliki sedikit pencapaian. Misalnya, blok tersebut tidak memiliki perjanjian perdagangan atau investasi formal.

China dan India yang sejauh ini menjadi dua ekonomi terbesar dalam BRICS, diketahui tidak bersahabat, terutama sejak bentrokan perbatasan yang mematikan pada tahun 2020. India juga merupakan anggota Quad, sebuah kelompok yang juga mencakup Jepang, AS, dan Australia. Para pejabat AS menunjuk India sebagai penyeimbang terhadap kebangkitan politik dan ekonomi China.

Cheah juga mengingatkan, Malaysia dan Thailand perlu hati-hati dalam menyeimbangkan keterlibatan mereka dengan BRICS yang di dalamnya ada rival AS seperti Rusia dan Iran (serta China).

Sedangkan Rahman mengungkpkan, tidak jelas apakah negara-negara di bawah sanksi AS, seperti Rusia, dapat menjadi mitra dagang yang dapat diandalkan dan penting.

BRICS sudah mengetahui betapa rumitnya menyeimbangkan hubungan antara AS dan China. Contohnya UEA yang memiliki kemitraan erat dalam bidang militer dengan AS, melihat startup AI G42 mendapat tekanan dari Washington untuk memutuskan hubungan teknologinya dengan perusahaan China. Startup tersebut akhirnya menyerah pada tekanan dan berpisah dengan Huawei.

Tetapi negara-negara seperti Malaysia dan Thailand mungkin berpikir soal keuntungan ekonomi dari bergabung dengan BRICS sepadan dengan risikonya. Terutama karena organisasi tersebut, seperti yang dicatat Elms, tidak memiliki persyaratan ketat untuk bergabung.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)