Kejatuhan Kelas Menengah Indonesia, Makan Tabungan Jadi Pertanda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sinyal kuat jatuhnya kelas menengah di Indonesia yang terus merosot semakin terlihat, seiring banyaknya nasabah yang makan tabungan. Fakta ini diungkapkan oleh Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Santoso kemarin yang mengatakan, dalam 3 hingga 6 bulan terakhir terakhir terjadi fenomena makan tabungan yang dilakukan oleh para nasabah BCA.
Menurutnya, hal demikian terjadi lantaran kondisi makro ekonomi Indonesia yang belum cukup pulih. Sehingga banyak nasabah yang mengambil uang dari yang sebelumnya disimpan di Bank. Fenomena ini terjadi tidak hanya terjadi di masyarakat, tapi juga dilakukan oleh korporasi.
"Bisnis memang masih bekerja, namun pertumbuhannya mulai agak berat, karena kebanyakan, banyak pebisnis lingkup bisnisnya mengalami slow down," ujarnya dalam acara pengumuman program Gebyar Hadiah BCA Tahap I di Jakarta, Senin (23/9/2024).
"Tantangan kita ada di kelas menengah bawah, itu karena jumlah average bisnis mereka tidak banyak tumbuh, bahkan ada cenderung di segmen tertentu pertumbuhan rerata lebih rendah 6 bulan terakhir," kata Santoso.
"Sehingga kesimpulannya mereka dalam kondisi survive mode, mungkin ada yang terkena PHK, bisnis lagi sepi, itu adalah realita," pungkasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan drastis jumlah kelas menengah sejak pandemi, dari 21,54% pada 2019 menjadi hanya 17,44% di 2024. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi kelas menengah di Indonesia, yang mayoritas terdiri dari generasi muda.
Penurunan ini mencerminkan tren yang mengkhawatirkan, dengan makin banyak generasi muda yang turun kelas ke kelompok aspiring middle class, yaitu mereka yang berada di antara kelas bawah dan menengah. Kondisi ini juga menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi, mengingat bahwa kelas menengah selama ini menjadi motor utama konsumsi domestik.
Selain akibat dari efek domino dari pandemi dan tekanan ekonomi, penurunan kelas menengah di Indonesia juga disebabkan oleh perubahan prioritas pengeluaran kelas menengah.
Laporan Ekonomi dan Keuangan Mingguan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menunjukkan bahwa pengeluaran kelas menengah untuk kebutuhan produktif relatif menurun, sementara terjadi peningkatan untuk kebutuhan tersier seperti hiburan, barang mewah, hingga keperluan pesta. Akibatnya ruang untuk menabung semakin terbatas.
Presiden Direktur PT Krom Bank Indonesia Tbk, Anton Hermawan, menjelaskan dampak dari ketidakpastian ekonomi saat ini semakin nyata. Terutama bagi generasi muda dan kelas menengah. Tidak sedikit dari mereka yang kini harus mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan pada akhirnya menggerus aset mereka.
"Oleh karena itu, generasi muda perlu mengubah strategi keuangan mereka, yang bukan hanya berfokus pada menabung, tetapi sekaligus menumbuhkan aset secara berkelanjutan," kata Anton dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Apabila kejatuhan kelas menengah di Indonesia tidak segera diantisipasi, maka bisa berdampak buruh terhadap perekonomian nasional. Terlebih Indonesia sedang mengejar menjadi negara maju, dengan menggaungkan Indonesia Emas.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin meminta pemerintah untuk mewaspadai daya beli dan jumlah kelas menengah yang jumlahnya kian merosot.
Menurutnya, apabila hal ini terus dibiarkan maka berpotensi mengarah kepada revolusi. Demikian diungkapkan Bustanul lantaran melihat fenomena ini kerap terjadi di negara-negara Amerika Latin.
"Dalam beberapa pengalaman negara lain, terutama di Amerika Latin, kekosongan kelas menengah juga berdampak buruk. Jika menurun terlalu jauh dan menjadi kosong, kita khawatir akan terjadi revolusi," jelas Bustanul dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas," awal bulan September lalu.
Apalagi di negara-negara Amerika Latin dengan struktur kelas yang sangat timpang itu sering mengalami tekanan dan guncangan akibat kekosongan kelas menengah.
"Lihat sejarah di Amerika Latin, seperti di Kolombia, Panama, dan Venezuela. Di sana, kelas menengahnya kosong. Jumlah tuan tanah besar, tetapi kelas menengahnya sedikit, dan mereka melompat ke kelas bawah yang informal. Ini sangat berbahaya," tegasnya.
Bustanul berpendapat jika struktur perekonomian mengalami kekosongan kelas menengah, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.
"Indonesia harus belajar banyak dari konteks negara-negara Amerika Latin. Demokrasi mereka semu. Apakah kita akan menuju ke sana dengan oligarki yang turun ke bawah?," pungkasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 36,89% penduduk kelas menengah merupakan Gen Z dan Generasi Alpha. Demikian tercantum dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024.
"Kalau kita lihat usia dari penduduk kelas menengah sekitar 1 dari 3 penduduk kelas menengah itu merupakan Gen Z dan Generasi Alpha," jelas Plt kepala BPS Amalia A Widyasanti.
Dalam paparannya, Amalia juga menyebutkan, bahwa mayoritas penduduk kelas menengah didominasi oleh Gen X sebesar 24,77%. Selanjutnya generasi Milenial 24,60%, dan Gen Z sebesar 24,12%. Sementara generasi Alpha dan pre boomers masing-masing 12,77% dan 12,62%.
Sementara itu, untuk penduduk menuju kelas menengah mayoritas merupakan Gen Z sebesar 25,45%, Milenial 24,06%, Gen X sebesar 21,55 persen, Gen Alpha 16,58% dan pre boomers 11,09%.
"Kalau kita lihat dari penduduk yang menuju kelas menengah maka 42 persen dari kelompok menuju kelas menengah merupakan generasi Z dan generasi Alpha," lanjutnya.
Amalia juga menambahkan, mayoritas kelas menengah berstatus pekerja formal. "Ternyata mayoritas pekerja kelas menengah dan kelompok menuju kelas menengah pekerjaannya berstatus formal. Dia berusaha dibantu buruh tetap atau dia memang sebagai buruh karyawan atau pegawai," pungkasnya.
Menurutnya, hal demikian terjadi lantaran kondisi makro ekonomi Indonesia yang belum cukup pulih. Sehingga banyak nasabah yang mengambil uang dari yang sebelumnya disimpan di Bank. Fenomena ini terjadi tidak hanya terjadi di masyarakat, tapi juga dilakukan oleh korporasi.
"Bisnis memang masih bekerja, namun pertumbuhannya mulai agak berat, karena kebanyakan, banyak pebisnis lingkup bisnisnya mengalami slow down," ujarnya dalam acara pengumuman program Gebyar Hadiah BCA Tahap I di Jakarta, Senin (23/9/2024).
"Tantangan kita ada di kelas menengah bawah, itu karena jumlah average bisnis mereka tidak banyak tumbuh, bahkan ada cenderung di segmen tertentu pertumbuhan rerata lebih rendah 6 bulan terakhir," kata Santoso.
"Sehingga kesimpulannya mereka dalam kondisi survive mode, mungkin ada yang terkena PHK, bisnis lagi sepi, itu adalah realita," pungkasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan drastis jumlah kelas menengah sejak pandemi, dari 21,54% pada 2019 menjadi hanya 17,44% di 2024. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi kelas menengah di Indonesia, yang mayoritas terdiri dari generasi muda.
Penurunan ini mencerminkan tren yang mengkhawatirkan, dengan makin banyak generasi muda yang turun kelas ke kelompok aspiring middle class, yaitu mereka yang berada di antara kelas bawah dan menengah. Kondisi ini juga menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi, mengingat bahwa kelas menengah selama ini menjadi motor utama konsumsi domestik.
Selain akibat dari efek domino dari pandemi dan tekanan ekonomi, penurunan kelas menengah di Indonesia juga disebabkan oleh perubahan prioritas pengeluaran kelas menengah.
Laporan Ekonomi dan Keuangan Mingguan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menunjukkan bahwa pengeluaran kelas menengah untuk kebutuhan produktif relatif menurun, sementara terjadi peningkatan untuk kebutuhan tersier seperti hiburan, barang mewah, hingga keperluan pesta. Akibatnya ruang untuk menabung semakin terbatas.
Presiden Direktur PT Krom Bank Indonesia Tbk, Anton Hermawan, menjelaskan dampak dari ketidakpastian ekonomi saat ini semakin nyata. Terutama bagi generasi muda dan kelas menengah. Tidak sedikit dari mereka yang kini harus mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan pada akhirnya menggerus aset mereka.
"Oleh karena itu, generasi muda perlu mengubah strategi keuangan mereka, yang bukan hanya berfokus pada menabung, tetapi sekaligus menumbuhkan aset secara berkelanjutan," kata Anton dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Kejatuhan Kelas Menengah
Apabila kejatuhan kelas menengah di Indonesia tidak segera diantisipasi, maka bisa berdampak buruh terhadap perekonomian nasional. Terlebih Indonesia sedang mengejar menjadi negara maju, dengan menggaungkan Indonesia Emas.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin meminta pemerintah untuk mewaspadai daya beli dan jumlah kelas menengah yang jumlahnya kian merosot.
Menurutnya, apabila hal ini terus dibiarkan maka berpotensi mengarah kepada revolusi. Demikian diungkapkan Bustanul lantaran melihat fenomena ini kerap terjadi di negara-negara Amerika Latin.
"Dalam beberapa pengalaman negara lain, terutama di Amerika Latin, kekosongan kelas menengah juga berdampak buruk. Jika menurun terlalu jauh dan menjadi kosong, kita khawatir akan terjadi revolusi," jelas Bustanul dalam diskusi publik bertajuk "Kelas Menengah Turun Kelas," awal bulan September lalu.
Apalagi di negara-negara Amerika Latin dengan struktur kelas yang sangat timpang itu sering mengalami tekanan dan guncangan akibat kekosongan kelas menengah.
"Lihat sejarah di Amerika Latin, seperti di Kolombia, Panama, dan Venezuela. Di sana, kelas menengahnya kosong. Jumlah tuan tanah besar, tetapi kelas menengahnya sedikit, dan mereka melompat ke kelas bawah yang informal. Ini sangat berbahaya," tegasnya.
Bustanul berpendapat jika struktur perekonomian mengalami kekosongan kelas menengah, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.
"Indonesia harus belajar banyak dari konteks negara-negara Amerika Latin. Demokrasi mereka semu. Apakah kita akan menuju ke sana dengan oligarki yang turun ke bawah?," pungkasnya.
Gen Z dan Alpha Dominasi Kelas Menengah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 36,89% penduduk kelas menengah merupakan Gen Z dan Generasi Alpha. Demikian tercantum dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024.
"Kalau kita lihat usia dari penduduk kelas menengah sekitar 1 dari 3 penduduk kelas menengah itu merupakan Gen Z dan Generasi Alpha," jelas Plt kepala BPS Amalia A Widyasanti.
Dalam paparannya, Amalia juga menyebutkan, bahwa mayoritas penduduk kelas menengah didominasi oleh Gen X sebesar 24,77%. Selanjutnya generasi Milenial 24,60%, dan Gen Z sebesar 24,12%. Sementara generasi Alpha dan pre boomers masing-masing 12,77% dan 12,62%.
Sementara itu, untuk penduduk menuju kelas menengah mayoritas merupakan Gen Z sebesar 25,45%, Milenial 24,06%, Gen X sebesar 21,55 persen, Gen Alpha 16,58% dan pre boomers 11,09%.
"Kalau kita lihat dari penduduk yang menuju kelas menengah maka 42 persen dari kelompok menuju kelas menengah merupakan generasi Z dan generasi Alpha," lanjutnya.
Amalia juga menambahkan, mayoritas kelas menengah berstatus pekerja formal. "Ternyata mayoritas pekerja kelas menengah dan kelompok menuju kelas menengah pekerjaannya berstatus formal. Dia berusaha dibantu buruh tetap atau dia memang sebagai buruh karyawan atau pegawai," pungkasnya.
(akr)