Saatnya Indonesia Beralih Menggunakan Energi Bersih

Senin, 31 Agustus 2020 - 20:44 WIB
loading...
Saatnya Indonesia Beralih...
Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pencemaran udara menjadi isu global yang terus menjadi perhatian Negara-negara di dunia. Hasil kajian International Energy Agency (IEA)menyebutkan, buruknya kualitas udara akibat pencemaran, menyebabkan kematian 6,5 juta jiwa per tahun yang mayoritas menimpa kota - kota di Asia dan Afrika. Angka ini diperkirakan bakal mengalami peningkatan drastis jika tidak ada langkah nyata untuk menyediakan energi bersih.

Emisi gas buang dari kendaraan bermotor, limbah pembakaran dari cerobong asap pabrik hingga pembangkit listrik yang masih menggunakan energi fosil menjadi penyumbang buruknya kualitas udara dan perubahan iklim.

Sektor transportasi darat baik berupa mobil pribadi, motor maupun kendaraan umum menyumbangkan 90% pencemaran udara dan perubahan iklim. Karenanya sejumlah negara sejak 15 tahun terakhir mulai mengembangkan kendaraan listrik yang salah satu tujuannya menghadirkan mobilitas yang ramah lingkungan.

Tak hanya negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), Jepang dan negara-negara Eropa saja, tetapi pengembangan mobil listrik juga dilakukan oleh Indonesia. Sebut saja, Toyota, Nissan, dan Mitsubishi yang serius menyiapkan mobil listrik di Indonesia. Kehadiran mobil listrik sejatinya memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk mengurangi emisi gas buang dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. (Baca Juga : Energi Terbarukan, di Luar Negeri Jadi Anak Emas di Sini Anak Tiri)

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai, mengurangi emisi gas buang harus dilakukan menyeluruh, tidak hanya dari mobilnya tapi juga dari sumber energi yang digunakan untuk memasok energi mobil tersebut, yakni energi listrik. Sumber energi listrik, harus berasal dari pembangkit listrik ramah lingkungan, dari energi terbarukan seperti dari tenaga angin, air, panasbumi, bukan dari batu bara.

Hal yang sama dikemukakan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) yang menilai, penerapan kendaraan listrik harus diimbangi pula dengan peningkatan jumlah pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan.

Menurut Direktrur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, sejatinya pengembangan mobil listrik adalah untuk mengurangi penggunaan energi fosil sehingga akan memberikan dampak pada turunnya polusi udara dan perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca yang dikeluarkan dari pembuangan kendaraan bermotor. "Pengembangan mobil listrik itu untuk mengurangi polusi dan climate change akibat efek gas rumah kaca. Namun demikian, hal itu perlu juga diimbangi dengan penyediaan listrik yang juga menggunakan energi bersih,"tegasnya kepada SINDOnews Senin (31/8/2020).

Penyediaan listrik yang dimaksud adalah dari sisi pembangkitan. Sebab, efek pengurangan polusi dan climate change akibat efek gas rumah kaca tersebut tidak akan terasa apabila dari sisi suplai tenaga listrik untuk pengisian energi kendaraan bermotor masih menggunakan energi fosil. Fabby menyebutkan, saat ini, sekitar 88% pembangkit listrik nasional masih menggunakan energi fosil seperti batubara, gas dan minyak. (Baca Juga : Pak Jokowi! Energi Terbarukan Nunggu Perpres Biar Nggak Lelet)

Persoalan kesiapan terhadap energi terbarukan menjadi penting. Sebab, jika pembangkit listrik masih menggunakan energi fosil semacam batu bara atau minyak maka efek polusi tak bisa dihindarkan. Apabila energi terbarukan khususnya penyediaan listrik belum dilakukan, maka tidak banyak efek positif untuk mengurangi polusi udara maupun perubahan iklim.

Dengan keseriusan pemerintah untuk pengembangan mobil listrik dalam rangka menghadirkan energi dan lingkungan yang bersih, maka perlu juga da langkah serius dari pemerintah dalam hal penggunaan energi bersih di sisi penyediaan listriknya (pembangkit). "Misalnya ditargetkan pada 2030 nanti sudah 50% pembangkit listrik kita menggunakan energi bersih,"cetusnya.

Selain dari sisi pembangkitan yang menjadi sumber energi untuk pengisian batre mobil listrik, perlu juga digunakan alternatif solar panel yang dipasang di rumah-rumah para pemilik mobil listrik. "Tetapi perlu ada review terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 khususnya terkait dengan harga net metering,"tegas Fabby.

Penyediaan energi bersih dinilai penting karena hasil kajian IEA menyebutkan energi bersih berpotensi menurunkan dampak negatif polusi udara hingga 50% pada 2040. IESR sendiri, telah melakukan kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi, dengan menganalisis rangkaian instrumen kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan peran kendaraan listrik untuk mencapai Persetujuan Paris.

Hasil kajian IESR yang dipublikasikan beberapa waktu lalu menyebutkan, masuknya kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi.

Untuk mewujudkan potensi tersebut, IESR menilai, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan dari pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun non fiskal seperti penyediaan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum. Yang tidak kalah penting adalah mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan supaya emisi gas rumah kaca tidak berpindah dari transportasi ke pembangkit listrik.

Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30% dari total emisi CO2, dimana emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat, yang berkontribusi pada 88% dari total emisi di sektor ini. Termasuk di dalamnya adalah mobil penumpang dan sepeda motor, yang tumbuh dengan pesat seiring dengan penggunaannya sebagai moda perjalanan utama di daerah perkotaan.

Menurut IESR, Indonesia harus mengambil tindakan mitigasi perubahan iklim secara drastis di sektor transportasi. Menurut proyeksi The Climate Action Tracker, total emisi Indonesia setara dengan 3,75 – 4% dari total emisi global pada tahun 2030.

Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengungkapkan, pengembangan mobil listrik oleh pabrikab global memang bertujuan untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan menghadirkan lingkungan yang bersih. "Karena itu, kami sependapat apabila dari sisi hulunya yakni penyediaan listriknya juga menggunakan energi yang bersih,"paparnya.

Bob memberikan contoh, di AS dan Vietnam, pasokan listrik yang juga digunakan untuk mengisi batre mobil listrik telah menggunakan energi bersih. "Untuk penyediaan energi bersih ini, Vietnam malah unggul dibandingkan Jepang,"tuturnya.

Mobil listrik (electric vehicle/EV) maupun Plug in Hybrid Electric Vehivcle (PHEV) memiliki tingkat emisi nol. Karenanya, mobil jenis ini merupakan mobil yang ramah lingkungan. Namun, dalam publikasi Departemen Energi AS yang bertajuk Energy Efficiency & Renewable Energy menyebutkan, emisi dapat dihasilkan dari sumber tenaga listrik seperti pembangkit listrik. Di wilayah geografis yang menggunakan sumber energi berpolusi rendah untuk pembangkit listrik, PHEV dan EV biasanya memiliki keunggulan emisi yang baik dibandingkan kendaraan konvensional serupa yang berbahan bakar bensin atau solar. Di wilayah yang sangat bergantung pada batu bara untuk pembangkit listrik, PEV mungkin tidak menunjukkan manfaat emisi yang kuat. (Baca Juga : Kemenperin Kembangkan Energi Terbarukan dengan Sistem 4.0)

Memastikan ketersediaan energi bersih yang dapat menjangkau seluruh Indonesia bukanlah perkara mudah. Apalagi, dari sisi geografis dan infrastruktur belum memadai dalam menerangi 17 ribu pulau - pulau yang ada di Indonesia. Karenanya, hingga 2025, Indonesia berambisi untuk meningkatkan sumber energi bersih dan terbarukan hanya 25%. Namun demikian, perlu kiranya pengembangan sumber energy bersih tersebut dalam jangka pendek diikuti dengan efisiensi energi yang berasal dari energi fosil.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1067 seconds (0.1#10.140)